RUU
Rahasia Negara
Al Araf ;
Direktur
Program Imparsial
|
KOMPAS,
17 September 2014
PADA
masa waktu anggota DPR periode 2009-2014 yang tak lama lagi berakhir, publik
dikejutkan dengan pembahasan RUU Rahasia Negara yang dilakukan kembali oleh
parlemen. Padahal, pembahasan RUU Rahasia Negara sempat terhenti pada 2009
karena penolakan yang kuat dari masyarakat.
Rencana
pemerintah dan parlemen yang ingin membuat undang-undang rahasia negara pada
saat ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Jangan sampai pada akhir masa
periode parlemen ini terjadi penelikungan terhadap demokrasi dengan membangun
kembali rezim yang tertutup melalui pengesahan RUU Rahasia Negara.
Hak konstitusional
Dalam
sistem politik demokrasi, keterbukaan informasi publik merupakan aspek yang
sangat fundamental. Demokrasi yang esensinya mengandung makna pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tentu sangat membutuhkan
keterbukaan informasi sebagai instrumen dan sarana kontrol rakyat terhadap
kekuasaan. Melalui kontrol sosial itu, proses demokrasi diharapkan dapat
melahirkan pemerintahan yang demokratis.
Keterbukaan
informasi telah menjadi pilar utama dalam membangun partisipasi publik di
negara yang demokratis. Partisipasi masyarakat secara langsung perlu
dilakukan mengingat para wakil rakyat di parlemen tidak selalu dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Melalui keterbukaan
informasi dan partisipasi rakyat dalam mengontrol kekuasaan, diharapkan
pemerintahan bisa berjalan secara terbuka, baik, dan bersih.
Mengingat
sangat pentingnya keterbukaan informasi, konstitusi mempertegas bahwa hak
atas informasi adalah bagian dari hak asasi manusia. Pasal 28F UUD 1945
menyatakan bahwa ”setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Hak
atas informasi sebagai hak asasi manusia juga dijamin dalam Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi
Pemerintah Indonesia pada 2005.
Pengecualian informasi
Meski
hak atas informasi adalah hak konstitusional warga, disadari bahwa setiap hak
asasi manusia memiliki batasan, kecuali untuk hak-hak yang digolongkan dalam
rumpun non-derogable rights. Dalam konstitusi, batasan ini tertuang dalam
Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.
Batasan
atas hak itu juga berlaku terhadap hak atas informasi. Demi kepentingan
keamanan dan ketertiban umum, negara dapat membatasi hak atas informasi
publik. Informasi publik yang dibatasi itulah yang negara sering kali sebut
sebagai rahasia negara. Jadi, rahasia negara sebenarnya merupakan informasi
publik yang untuk sementara waktu dikecualikan atau dirahasiakan kepada
publik. Meski demikian, pembatasan atas hak itu harus dilakukan melalui
undang-undang, bersifat limitatif, proporsional, berlaku pada jangka waktu
tertentu, melalui uji publik, dan mempertimbangkan berbagai prinsip lain
tentang pembatasan hak.
Pengecualian
atas informasi atau yang negara sebut sebagai rahasia negara sebenarnya sudah
diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14
Tahun 2008. Di dalam Pasal 17 UU KIP, ruang lingkup pengecualian atas
informasi itu meliputi bidang penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, kekayaan
alam Indonesia, ketahanan ekonomi nasional, hubungan luar negeri, rahasia
pribadi, hak atas kekayaan intelektual, perlindungan dari persaingan usaha
tidak sehat, dan lain-lain.
Konstruksi
politik hukum dalam mengatur
keterbukaan informasi publik dan pengecualian atas informasi (rahasia
negara) di dalam satu perundang-undangan yang sama, yakni UU KIP itu, sangat
tepat dan sejalan dengan logika konstitusi. Pengaturan tentang informasi yang
dikecualikan (rahasia negara) di dalam rezim hukum keterbukaan informasi
publik mengandung satu paradigma dan prinsip penting bahwa dalam negara
demokrasi, keterbukaan informasi publik perlu dilakukan semaksimal mungkin
dan pengecualian informasi seminimal mungkin (maximum disclosure and limited exemption).
Jangan disahkan
Kehadiran
RUU Rahasia Negara di tengah situasi politik saat ini yang tidak kondusif
tentu akan menjadi persoalan baru dalam kehidupan demokrasi. Secara politik
situasi pembahasan legislasi di parlemen saat ini cenderung konservatif
sebagaimana terlihat dari kehendak sebagian besar wakil rakyat yang ingin
mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD melalui RUU Pilkada.
Dalam
situasi politik yang tidak pro rakyat itu, pembahasan RUU Rahasia Negara
dikhawatirkan akan menjadi arena untuk membangun rezim pemerintahan yang
tertutup. Pembahasan dan pengesahan RUU Rahasia Negara pada saat ini justru
berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan informasi, kebebasan pers, dan
tentu akan menjadi penghambat dalam pemberantasan korupsi.
Tanpa
RUU Rahasia Negara, pemerintah dan DPR sebenarnya tidak perlu khawatir
tentang kekosongan hukum di dalam mengatur informasi yang bersifat rahasia.
Karena secara normatif, negara bisa menggunakan UU KIP sebagai pijakan hukum
untuk mengatur informasi yang bersifat rahasia. Pengecualian beberapa
informasi yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP dapat menjadi landasan hukum bagi
negara untuk mengatur informasi yang bersifat rahasia.
Dengan
demikian, alangkah sangat bijak jika pembahasan RUU Rahasia Negara di
parlemen jangan sampai berujung pada pengesahannya. Langkah maju parlemen dan
pemerintah yang sudah mengesahkan UU Keterbukaan Informasi Publik sebaiknya
jangan dicederai dengan mengesahkan RUU Rahasia Negara pada saat ini.
Penulis
berharap semoga sebagian anggota DPR Komisi I yang selama ini memiliki
integritas dalam memajukan demokrasi dan hak-hak asasi manusia tidak akan
mengambil langkah mundur bagi demokrasi dengan mendorong dan mempercepat
proses pembahasan serta pengesahan RUU Rahasia Negara oleh parlemen.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar