Kamis, 18 September 2014

RUU Rahasia Negara

RUU Rahasia Negara

Al Araf  ;   Direktur Program Imparsial
KOMPAS, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PADA masa waktu anggota DPR periode 2009-2014 yang tak lama lagi berakhir, publik dikejutkan dengan pembahasan RUU Rahasia Negara yang dilakukan kembali oleh parlemen. Padahal, pembahasan RUU Rahasia Negara sempat terhenti pada 2009 karena penolakan yang kuat dari masyarakat.
Rencana pemerintah dan parlemen yang ingin membuat undang-undang rahasia negara pada saat ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Jangan sampai pada akhir masa periode parlemen ini terjadi penelikungan terhadap demokrasi dengan membangun kembali rezim yang tertutup melalui pengesahan RUU Rahasia Negara.

Hak konstitusional

Dalam sistem politik demokrasi, keterbukaan informasi publik merupakan aspek yang sangat fundamental. Demokrasi yang esensinya mengandung makna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tentu sangat membutuhkan keterbukaan informasi sebagai instrumen dan sarana kontrol rakyat terhadap kekuasaan. Melalui kontrol sosial itu, proses demokrasi diharapkan dapat melahirkan pemerintahan yang demokratis.

Keterbukaan informasi telah menjadi pilar utama dalam membangun partisipasi publik di negara yang demokratis. Partisipasi masyarakat secara langsung perlu dilakukan mengingat para wakil rakyat di parlemen tidak selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Melalui keterbukaan informasi dan partisipasi rakyat dalam mengontrol kekuasaan, diharapkan pemerintahan bisa berjalan secara terbuka, baik, dan bersih.

Mengingat sangat pentingnya keterbukaan informasi, konstitusi mempertegas bahwa hak atas informasi adalah bagian dari hak asasi manusia. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa ”setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Hak atas informasi sebagai hak asasi manusia juga dijamin dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 2005.

Pengecualian informasi

Meski hak atas informasi adalah hak konstitusional warga, disadari bahwa setiap hak asasi manusia memiliki batasan, kecuali untuk hak-hak yang digolongkan dalam rumpun non-derogable rights. Dalam konstitusi, batasan ini tertuang dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Batasan atas hak itu juga berlaku terhadap hak atas informasi. Demi kepentingan keamanan dan ketertiban umum, negara dapat membatasi hak atas informasi publik. Informasi publik yang dibatasi itulah yang negara sering kali sebut sebagai rahasia negara. Jadi, rahasia negara sebenarnya merupakan informasi publik yang untuk sementara waktu dikecualikan atau dirahasiakan kepada publik. Meski demikian, pembatasan atas hak itu harus dilakukan melalui undang-undang, bersifat limitatif, proporsional, berlaku pada jangka waktu tertentu, melalui uji publik, dan mempertimbangkan berbagai prinsip lain tentang pembatasan hak.

Pengecualian atas informasi atau yang negara sebut sebagai rahasia negara sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008. Di dalam Pasal 17 UU KIP, ruang lingkup pengecualian atas informasi itu meliputi bidang penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, kekayaan alam Indonesia, ketahanan ekonomi nasional, hubungan luar negeri, rahasia pribadi, hak atas kekayaan intelektual, perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, dan lain-lain.

Konstruksi politik hukum dalam mengatur  keterbukaan informasi publik dan pengecualian atas informasi (rahasia negara) di dalam satu perundang-undangan yang sama, yakni UU KIP itu, sangat tepat dan sejalan dengan logika konstitusi. Pengaturan tentang informasi yang dikecualikan (rahasia negara) di dalam rezim hukum keterbukaan informasi publik mengandung satu paradigma dan prinsip penting bahwa dalam negara demokrasi, keterbukaan informasi publik perlu dilakukan semaksimal mungkin dan pengecualian informasi seminimal mungkin (maximum disclosure and limited exemption).

Jangan disahkan

Kehadiran RUU Rahasia Negara di tengah situasi politik saat ini yang tidak kondusif tentu akan menjadi persoalan baru dalam kehidupan demokrasi. Secara politik situasi pembahasan legislasi di parlemen saat ini cenderung konservatif sebagaimana terlihat dari kehendak sebagian besar wakil rakyat yang ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD melalui RUU Pilkada.

Dalam situasi politik yang tidak pro rakyat itu, pembahasan RUU Rahasia Negara dikhawatirkan akan menjadi arena untuk membangun rezim pemerintahan yang tertutup. Pembahasan dan pengesahan RUU Rahasia Negara pada saat ini justru berpotensi menjadi ancaman bagi kebebasan informasi, kebebasan pers, dan tentu akan menjadi penghambat dalam pemberantasan korupsi.

Tanpa RUU Rahasia Negara, pemerintah dan DPR sebenarnya tidak perlu khawatir tentang kekosongan hukum di dalam mengatur informasi yang bersifat rahasia. Karena secara normatif, negara bisa menggunakan UU KIP sebagai pijakan hukum untuk mengatur informasi yang bersifat rahasia. Pengecualian beberapa informasi yang diatur dalam Pasal 17 UU KIP dapat menjadi landasan hukum bagi negara untuk mengatur informasi yang bersifat rahasia.

Dengan demikian, alangkah sangat bijak jika pembahasan RUU Rahasia Negara di parlemen jangan sampai berujung pada pengesahannya. Langkah maju parlemen dan pemerintah yang sudah mengesahkan UU Keterbukaan Informasi Publik sebaiknya jangan dicederai dengan mengesahkan RUU Rahasia Negara pada saat ini.

Penulis berharap semoga sebagian anggota DPR Komisi I yang selama ini memiliki integritas dalam memajukan demokrasi dan hak-hak asasi manusia tidak akan mengambil langkah mundur bagi demokrasi dengan mendorong dan mempercepat proses pembahasan serta pengesahan RUU Rahasia Negara oleh parlemen.

Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar