Jumat, 05 September 2014

Keras “No”, Disiplin “Yes”

Keras “No”, Disiplin “Yes”

Hartono Sri Danan Djoyo  ;   Hipnoterapis, Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Dibanding undangan dari penyelenggara berbeda, saya merasa lebih tersanjung ketika menerimanya dari sekolah/kampus. Pasalnya, saya ’’bekas’’ siswa sehingga bila memasuki gerbang sekolah/kampus serasa ”travelling” ke masa lalu. Terbayang banyak hal: keceriaan, kenakalan, guru-guru yang baik, hingga ibu kantin yang menyajikan masakan murah meriah.

Namun pagi itu saya tidak menikmati memori indah lebih lama karena seorang guru bimbingan konseling (BK) tergopoh-gopoh menjemput, tergesa menuntun saya ke ruang UKS. Di sana terbaring seorang anak merasakan kesakitan di kepala. Mulut kecilnya terus merintih. Setelah memeriksa guratan tangan (biometri), saya yakin secara fisik ia tak bermasalah.

Setelah melakukan proses induksi dan mendapati anak masuk dalam kondisi trance, persoalan anak itu segera saya ketahui. Dia mengalami perlakuan ”kurang nyaman” dari guru. Pengalaman traumatis itu rupanya berakar dari kejadian yang sama semasa di kelas III SD dalam usia 10 tahun. Lewat tulisan ini saya menyampaikan hormat kepada guru yang peduli terhadap pendidikan karakter anak. Karenanya, diskusi  perihal ”ketidaknyamanan” yang dialami anak lebih baik diarahkan pada pemahaman kejiwaan seputar anak demi hasil positif yang lebih baik.

Perlu membedakan antara keras dan disiplin. Kekerasan berbahan dasar emosi negatif (merusak), sedangkan kedisiplinan bermuatan emosi positif membangun.

Dampak yang ditimbulkan berbeda diametral. Kekerasan menghasilkan berkurangnya hak anak, sedangkan kedisiplinan justru menjamin terpenuhinya hak. Forum ini perlu sedikit menguak pemahaman kasus yang seringkali menjadi pangkal sengketa antara pihak yang berkepentingan, masyarakat dan sekolah.

Berdasarkan hipnoterapi, tidak ada kejadian yang lepas dari ingatan karena semua rapi tersimpan. Sewaktu ”dibutuhkan” maka kejadian apa pun (diinginkan atau tidak) bisa dimunculkan. Kasus destruktif  biasanya terjadi di luar kesadaran pribadi pelaku. Masalah berasal dari kejadian awal bermuatan muatan negatif dari sumber pelaku, initial sensitizing event (ISE). Kejadian yang masuk oleh internal filter diberi makna dan  kemudian ditabung sebagai faktor keyakinan (destruktif).

Aksi destruktif benar-benar terjadi ketika faktor merusak (ISE) telah berubah menjadi subsequent sensitizing event (SSE). Artinya ISE mengalami pengulangan, menebal jadi keyakinan hingga cukup untuk untuk memutuskan (bawah sadar) merusak. Andai singgungan asosiatif antara stimuli merusak dari luar sering terjadi  (SSE), kerusakan yang ditimbulkan tak sebatas terhadap diri tapi bisa meluas hingga lingkungan

Berakibat Kematian

Tak hanya frustrasi atau sakit fisik, tapi bisa berakibat kematian. Contoh kematian dramatis dialami Kagetora Matsutake, remaja SMP Jepang (tribunnews.com, 27/5/14). Rencana bunuh diri disebarkan di jejaring media sosial. Setidak-tidaknya ada tiga posting: dari mengabarkan rencana bunuh diri, persiapan bunuh diri, hingga kata ”selamat tinggal”. Penyelidikan menjelaskan dia bunuh diri lantaran kasus ijime (olok-olok) yang dialami. Kekerasan psikologis yang dialami telah mengalami pengulangan.

Olokan pertama (ISE) menjadi catatan, olokan kedua hingga ke sekian membentuk keyakinan dirinya memang buruk dan pantas diolok-olok. Ketika pola bergerak lurus tanpa interupsi maka sampailah dia pada keputusan untuk mengakhiri hidup. Di negara kita, hal sama terjadi. Beberapa di antara mereka  adalah Tri Wandi, SMA 12 Padang karena ditagih SPP; Wahyu Ningsih, siswi SMKN di Muaro Jambi karena gagal UN; Briyan Andika, siswa SMK Surabaya; Riki siswa SMP swasta di Jakarta karena dilarang mengikuti Kejar Paket.
Lainnya, Miftahul Jannah siswi SMP di Gresik karena ditagih SPP dan Basyar, murid SD Pasar Minggu Jakarta karena belum membayar LKS dan SPP. Menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mencegah kejadian sama tidak terulang lagi: sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar