Keras
“No”, Disiplin “Yes”
Hartono Sri Danan Djoyo ; Hipnoterapis,
Tinggal di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 04 September 2014
Dibanding
undangan dari penyelenggara berbeda, saya merasa lebih tersanjung ketika
menerimanya dari sekolah/kampus. Pasalnya, saya ’’bekas’’ siswa sehingga bila
memasuki gerbang sekolah/kampus serasa ”travelling” ke masa lalu. Terbayang
banyak hal: keceriaan, kenakalan, guru-guru yang baik, hingga ibu kantin yang
menyajikan masakan murah meriah.
Namun
pagi itu saya tidak menikmati memori indah lebih lama karena seorang guru
bimbingan konseling (BK) tergopoh-gopoh menjemput, tergesa menuntun saya ke
ruang UKS. Di sana terbaring seorang anak merasakan kesakitan di kepala.
Mulut kecilnya terus merintih. Setelah memeriksa guratan tangan (biometri),
saya yakin secara fisik ia tak bermasalah.
Setelah
melakukan proses induksi dan mendapati anak masuk dalam kondisi trance,
persoalan anak itu segera saya ketahui. Dia mengalami perlakuan ”kurang
nyaman” dari guru. Pengalaman traumatis itu rupanya berakar dari kejadian
yang sama semasa di kelas III SD dalam usia 10 tahun. Lewat tulisan ini saya
menyampaikan hormat kepada guru yang peduli terhadap pendidikan karakter anak.
Karenanya, diskusi perihal
”ketidaknyamanan” yang dialami anak lebih baik diarahkan pada pemahaman
kejiwaan seputar anak demi hasil positif yang lebih baik.
Perlu
membedakan antara keras dan disiplin. Kekerasan berbahan dasar emosi negatif
(merusak), sedangkan kedisiplinan bermuatan emosi positif membangun.
Dampak
yang ditimbulkan berbeda diametral. Kekerasan menghasilkan berkurangnya hak
anak, sedangkan kedisiplinan justru menjamin terpenuhinya hak. Forum ini
perlu sedikit menguak pemahaman kasus yang seringkali menjadi pangkal
sengketa antara pihak yang berkepentingan, masyarakat dan sekolah.
Berdasarkan
hipnoterapi, tidak ada kejadian yang lepas dari ingatan karena semua rapi
tersimpan. Sewaktu ”dibutuhkan” maka kejadian apa pun (diinginkan atau tidak)
bisa dimunculkan. Kasus destruktif
biasanya terjadi di luar kesadaran pribadi pelaku. Masalah berasal
dari kejadian awal bermuatan muatan negatif dari sumber pelaku, initial
sensitizing event (ISE). Kejadian yang masuk oleh internal filter diberi makna
dan kemudian ditabung sebagai faktor
keyakinan (destruktif).
Aksi
destruktif benar-benar terjadi ketika faktor merusak (ISE) telah berubah
menjadi subsequent sensitizing event
(SSE). Artinya ISE mengalami pengulangan, menebal jadi keyakinan hingga cukup
untuk untuk memutuskan (bawah sadar) merusak. Andai singgungan asosiatif
antara stimuli merusak dari luar sering terjadi (SSE), kerusakan yang ditimbulkan tak
sebatas terhadap diri tapi bisa meluas hingga lingkungan
Berakibat Kematian
Tak
hanya frustrasi atau sakit fisik, tapi bisa berakibat kematian. Contoh
kematian dramatis dialami Kagetora Matsutake, remaja SMP Jepang (tribunnews.com, 27/5/14). Rencana
bunuh diri disebarkan di jejaring media sosial. Setidak-tidaknya ada tiga
posting: dari mengabarkan rencana bunuh diri, persiapan bunuh diri, hingga
kata ”selamat tinggal”. Penyelidikan menjelaskan dia bunuh diri lantaran
kasus ijime (olok-olok) yang
dialami. Kekerasan psikologis yang dialami telah mengalami pengulangan.
Olokan
pertama (ISE) menjadi catatan, olokan kedua hingga ke sekian membentuk
keyakinan dirinya memang buruk dan pantas diolok-olok. Ketika pola bergerak
lurus tanpa interupsi maka sampailah dia pada keputusan untuk mengakhiri
hidup. Di negara kita, hal sama terjadi. Beberapa di antara mereka adalah Tri Wandi, SMA 12 Padang karena
ditagih SPP; Wahyu Ningsih, siswi SMKN di Muaro Jambi karena gagal UN; Briyan
Andika, siswa SMK Surabaya; Riki siswa SMP swasta di Jakarta karena dilarang
mengikuti Kejar Paket.
Lainnya,
Miftahul Jannah siswi SMP di Gresik karena ditagih SPP dan Basyar, murid SD
Pasar Minggu Jakarta karena belum membayar LKS dan SPP. Menjadi tanggung
jawab semua pihak untuk mencegah kejadian sama tidak terulang lagi: sekolah, masyarakat, dan keluarga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar