Jumat, 05 September 2014

Santun dan Keharmonisan

Santun dan Keharmonisan

Nurul Latiffah  ;   Guru Pendamping pada Olifant Elementary School, Yogyakarta
REPUBLIKA, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Salah satu fenomena di Kota Yogyakarta mutakhir, semakin menguatkan sinyal bahwa pendidikan kesantunan merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan. Florence Sihombing, yang tercatat sebagai mahasiswi S-2 di salah satu perguruan tinggi terkemuka Kota Yogyakarta, telah "melesatkan" makian buruk di jejaring sosial Path terhadap Kota Yogyakarta.

Makian terhadap Kota Budaya meskipun dalam keluh di media sosial, praktis menyisakan ketidaknyamanan bagi warga Yogyakarta. Sangat disayangkan, pelaku pun merupakan kaum terpelajar yang semestinya memiliki kontrol diri dan pemahaman yang bijaksana mengenai hal-hal yang kurang menyenangkan dalam episode kehidupannya.

Tentu saja, dalam perguruan tinggi pun pendidikan karakter santun dan bersahabat sangatlah diperlukan. Diharapkan, pendidikan bukan hanya merupakan mesin "manusia cerdas", melainkan juga sosok terpelajar yang mampu membaca kondisi dan menampilkan perfoma sikap terbaik dalam setiap peristiwa kehidupan.

Kesantunan merupakan pilar penyangga kewibawaan dan kebijaksanaan. Semakin seorang pembelajar memiliki banyak ilmu, semestinya ia mampu untuk memandang peristiwa yang tidak nyaman dalam berbagai perspektif sehingga hal ini membuahkan alternatif-aternatif sikap dan pilihan kata yang lebih positif.

Dalam paradigma psikologi, seseorang boleh saja memiliki perasaan negatif, misalnya, marah, ingin berkelahi, dan ingin memaki. Akan tetapi, perasaan harus diolah untuk menghasilkan perilaku atau sikap yang santun dan diizinkan. Dalam bahasa ringkasnya, setiap perasaan boleh saja dimiliki, tetapi tidak semua perasaan harus diwujudkan dalam perbuatan fisik. Manusia memiliki mekanisme pertahanan untuk mengalihkan perasaan negatif menuju tindakan lain yang lebih positif.

Pendidikan kesantunan dan karakter bersahabat merupakan hal yang sangat penting. Ini merupakan aset kekayaan mental pendidikan yang seharusnya dapat dirawat dan diinternalisasikan kepada siswa. Selanjutnya, pendidikan karakter ini memang harus dirawat sejak pendidikan usia dini, dasar, menengah, dan seterusnya. Para orang tua pun harus ikut merawat benih pendidikan karakter dengan cara memberikan iklim yang kondusif dan hangat dalam keluarga.

Tidak sulit untuk mengawal pendidikan kesantunan dan karakter bersahabat. Ia bukan merupakan pelajaran hafalan yang dapat menambah beban kognitif siswa. Namun, pendidikan kesantunan dan karakter bersahabat dapat dimulai dari pembiasaan sikap-sikap positif untuk memahami etika sosial dan menerapkan aturan-aturan sosial dalam setting budaya kelas.

Misalnya, sejak dini anak sudah diajarkan untuk mengucapkan kata maaf apabila bersalah. Hal ini sepintas terlihat sepele. Akan tetapi, ibarat benang-benang sikap, jika secara konsisten kebiasaan baik dibina, benang-benang sikap yang "kecil" itu akan menjadi kain yang menakjubkan, indah, dan memberikan "kewibawaan" pekerti bagi pemiliknya.

Diperlukan keteladanan dan kepekaan para pendidik bersama para orang tua. Pendidikan kesantunan dan karakter bersahabat dalam bingkai gotong royong dan semangat menjaga keharmonisan merupakan pilar penyangga keutuhan bersama. Praktis, hal ini dapat dimulai dengan baik melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal. Tidak hanya itu, pendidikan daya juang dan kesabaran pun perlu ditanamkan agar kecerdasan emosi pun terasah sehingga motivasi belajar dan sikap positif terpupuk alamiah.

Rasulullah SAW bahkan mengemukakan keteladanan sikap santun yang dapat merawat keharmonisan masyarakat. "Sesungguhnya Allah SWT memberi (keutamaan) pada kesantunan, yang tidak diberikan-Nya pada kekasaran, dan tidak juga diberikan-Nya pada sifat-sifat yang lain." (HR Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kesantunan tidak melekat kepada sebuah pribadi kecuali sebagai perhiasan dan tidak tercerabut darinya kecuali sebagai aib." (HR Muslim).

Kesantunan merupakan produk alamiah pada jiwa yang matang. Bahkan pada suatu kesempatan, Rasulullah SAW tengah duduk bersama Aisyah RA. Lalu, melintaslah sekelompok orang Yahudi di hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Rasulullah SAW dengan memelesetkan ungkapan "Assalamu’alaikum" menjadi "Assamu'alaika" (kebinasaan atasmu, hai Muhammad).

Mendengar serapah orang-orang Yahudi itu, Aisyah RA naik pitam dan balik memaki mereka. Namun, Rasulullah SAW segera menenangkan Aisyah RA dan memintanya tak mengotori mulut serta hatinya dengan kekasaran dan kebencian. Lalu, Rasulullah SAW memberikan alasan, "Sesungguhnya Allah SWT Mahasantun dan menyukai kesantunan dalam segala hal." (HR al-Bukhari).

Demikianlah, kasus Florence pada gilirannya menjadi cermin nyata bagi dunia pendidikan. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa ada banyak sikap positif dalam pendidikan yang harus diasah seiring dengan proses belajar. Kesadaran ini harus kita pertajam. Harapannya, pada masa kini dan akan datang, akan bertambah energi semangat untuk semakin menguatkan karakter-karakter positif dalam pendidikan. Indonesia sudah memiliki tokoh yang santun dan memiliki kecerdasan kenabian. Kini, kita tinggal berupaya untuk memupuk budaya santun dalam pendidikan. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar