Santun
dan Keharmonisan
Nurul Latiffah ; Guru
Pendamping pada Olifant Elementary School, Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
04 September 2014
Salah
satu fenomena di Kota Yogyakarta mutakhir, semakin menguatkan sinyal bahwa
pendidikan kesantunan merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan.
Florence Sihombing, yang tercatat sebagai mahasiswi S-2 di salah satu
perguruan tinggi terkemuka Kota Yogyakarta, telah "melesatkan"
makian buruk di jejaring sosial Path terhadap Kota Yogyakarta.
Makian
terhadap Kota Budaya meskipun dalam keluh di media sosial, praktis menyisakan
ketidaknyamanan bagi warga Yogyakarta. Sangat disayangkan, pelaku pun
merupakan kaum terpelajar yang semestinya memiliki kontrol diri dan pemahaman
yang bijaksana mengenai hal-hal yang kurang menyenangkan dalam episode
kehidupannya.
Tentu
saja, dalam perguruan tinggi pun pendidikan karakter santun dan bersahabat
sangatlah diperlukan. Diharapkan, pendidikan bukan hanya merupakan mesin
"manusia cerdas", melainkan juga sosok terpelajar yang mampu
membaca kondisi dan menampilkan perfoma sikap terbaik dalam setiap peristiwa
kehidupan.
Kesantunan
merupakan pilar penyangga kewibawaan dan kebijaksanaan. Semakin seorang
pembelajar memiliki banyak ilmu, semestinya ia mampu untuk memandang
peristiwa yang tidak nyaman dalam berbagai perspektif sehingga hal ini
membuahkan alternatif-aternatif sikap dan pilihan kata yang lebih positif.
Dalam
paradigma psikologi, seseorang boleh saja memiliki perasaan negatif,
misalnya, marah, ingin berkelahi, dan ingin memaki. Akan tetapi, perasaan
harus diolah untuk menghasilkan perilaku atau sikap yang santun dan
diizinkan. Dalam bahasa ringkasnya, setiap perasaan boleh saja dimiliki,
tetapi tidak semua perasaan harus diwujudkan dalam perbuatan fisik. Manusia
memiliki mekanisme pertahanan untuk mengalihkan perasaan negatif menuju
tindakan lain yang lebih positif.
Pendidikan
kesantunan dan karakter bersahabat merupakan hal yang sangat penting. Ini
merupakan aset kekayaan mental pendidikan yang seharusnya dapat dirawat dan
diinternalisasikan kepada siswa. Selanjutnya, pendidikan karakter ini memang
harus dirawat sejak pendidikan usia dini, dasar, menengah, dan seterusnya.
Para orang tua pun harus ikut merawat benih pendidikan karakter dengan cara
memberikan iklim yang kondusif dan hangat dalam keluarga.
Tidak
sulit untuk mengawal pendidikan kesantunan dan karakter bersahabat. Ia bukan
merupakan pelajaran hafalan yang dapat menambah beban kognitif siswa. Namun, pendidikan
kesantunan dan karakter bersahabat dapat dimulai dari pembiasaan sikap-sikap
positif untuk memahami etika sosial dan menerapkan aturan-aturan sosial dalam
setting budaya kelas.
Misalnya,
sejak dini anak sudah diajarkan untuk mengucapkan kata maaf apabila bersalah.
Hal ini sepintas terlihat sepele. Akan tetapi, ibarat benang-benang sikap,
jika secara konsisten kebiasaan baik dibina, benang-benang sikap yang
"kecil" itu akan menjadi kain yang menakjubkan, indah, dan
memberikan "kewibawaan" pekerti bagi pemiliknya.
Diperlukan
keteladanan dan kepekaan para pendidik bersama para orang tua. Pendidikan
kesantunan dan karakter bersahabat dalam bingkai gotong royong dan semangat
menjaga keharmonisan merupakan pilar penyangga keutuhan bersama. Praktis, hal
ini dapat dimulai dengan baik melalui jalur pendidikan, baik formal maupun
nonformal. Tidak hanya itu, pendidikan daya juang dan kesabaran pun perlu
ditanamkan agar kecerdasan emosi pun terasah sehingga motivasi belajar dan
sikap positif terpupuk alamiah.
Rasulullah
SAW bahkan mengemukakan keteladanan sikap santun yang dapat merawat
keharmonisan masyarakat. "Sesungguhnya
Allah SWT memberi (keutamaan) pada kesantunan, yang tidak diberikan-Nya pada
kekasaran, dan tidak juga diberikan-Nya pada sifat-sifat yang lain."
(HR Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kesantunan tidak
melekat kepada sebuah pribadi kecuali sebagai perhiasan dan tidak tercerabut
darinya kecuali sebagai aib." (HR Muslim).
Kesantunan
merupakan produk alamiah pada jiwa yang matang. Bahkan pada suatu kesempatan,
Rasulullah SAW tengah duduk bersama Aisyah RA. Lalu, melintaslah sekelompok
orang Yahudi di hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Rasulullah SAW
dengan memelesetkan ungkapan "Assalamu’alaikum"
menjadi "Assamu'alaika"
(kebinasaan atasmu, hai Muhammad).
Mendengar
serapah orang-orang Yahudi itu, Aisyah RA naik pitam dan balik memaki mereka.
Namun, Rasulullah SAW segera menenangkan Aisyah RA dan memintanya tak
mengotori mulut serta hatinya dengan kekasaran dan kebencian. Lalu,
Rasulullah SAW memberikan alasan, "Sesungguhnya
Allah SWT Mahasantun dan menyukai kesantunan dalam segala hal." (HR
al-Bukhari).
Demikianlah,
kasus Florence pada gilirannya menjadi cermin nyata bagi dunia pendidikan.
Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa ada banyak sikap positif dalam pendidikan
yang harus diasah seiring dengan proses belajar. Kesadaran ini harus kita
pertajam. Harapannya, pada masa kini dan akan datang, akan bertambah energi
semangat untuk semakin menguatkan karakter-karakter positif dalam pendidikan.
Indonesia sudah memiliki tokoh yang santun dan memiliki kecerdasan kenabian.
Kini, kita tinggal berupaya untuk memupuk budaya santun dalam pendidikan. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar