Problem
Pangan dan BBM
Edy Purwo Saputro ; Dosen
FEB Universitas Muhammadiyah Solo
|
REPUBLIKA,
04 September 2014
Pemerintahan
baru di era Jokowi–JK tampaknya harus langsung berhadapan dengan kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM). Indikasi ini terlihat dari sinyal bahwa harga
BBM akan naik yang terbukti dari ketidakmampuan menjaga kuota BBM pada APBN
sehingga target besaran subsidi jebol.
Oleh
karena itu, kebijakan pembatasan konsumsi BBM diberlakukan. Hal ini
berpengaruh positif terhadap alokasi kuota BBM, di sisi lain, justru memicu
ancaman sosial karena terjadi antrean panjang calon pembeli BBM di berbagai
daerah. Konsekuensinya tentu terjadi panic buying dan ancaman terhadap
penimbunan BBM akan terjadi. Bahkan, kasus kebakaran salah satu saluran pipa
solar belum lama ini juga diindikasikan karena perilaku pencurian.
Dilema
kebijakan kenaikan harga BBM memang sangat pelik karena tidak hanya aspek
finansial terhadap anggaran negara, tetapi juga implikasi pada mata rantai
dampak yang ditimbulkannya. Artinya, setiap kenaikan harga BBM jelas akan
memberikan efek berantai dan ancaman terhadap inflasi tidak bisa dihindari.
Oleh karena itu, penentuan besaran kenaikan harga BBM pastilah dihitung
secara cermat oleh pemerintah. Relevan dengan hal ini, tentu tidak bisa
mengelak dari fakta konsumsi riil rata-rata Premium yang mencapai 30 juta
kiloliter per tahun.
Sistematis
Pemerintah
menyadari bahwa persoalan BBM sangat pelik dan implikasi setiap kenaikan
harga BBM Rp 1.000 akan memacu inflasi 0,2–0,3 persen. Besaran ini tentu
menimbulkan ancaman serius terhadap kesejahteraan sosial dan kalangan
menengah–bawah yang paling merasakan dampak kenaikan harga BBM.
Padahal,
salah satu faktor yang langsung berhubungan erat dengan kenaikan harga BBM
adalah terjadinya kenaikan harga pangan. Indikasi ini kemudian menjadi
argumen terkait fakta ancaman kemiskinan. Kondisi ini semakin diperparah
ketika daya beli masyarakat kian tidak terjangkau terhadap pemenuhan
kebutuhan pangan.
Problem
pelik harga BBM dan imbasnya terhadap sektor pangan pada dasarnya menjadi
acuan penentuan anggaran negara. Padahal, Tim Transisi pemerintahan Jokowi–JK
menegaskan jika harga minyak dunia dipatok 105 dolar AS, harga Premium
seharusnya Rp 10.461 per liter. Artinya, dengan kondisi riil sekarang ketika
Premium dijual Rp 6.500, besaran subsidi yang dibayar pemerintah mencapai Rp
3.961 per liter. Kalkulasi nilai subsidi yang dibayar anggaran negara relatif
cukup besar dan anggaran pada APBN Perubahan 2014 mencapai Rp 5 triliun.
Ironi
dari problem pangan dan BBM menjadi indikasi kuat bahwa pemerintahan baru di
era Jokowi–JK akan menaikkan harga BBM dan hal ini sedang menjadi kajian oleh
Tim Transisi. Paling tidak, kenaikan harga lebih mencerminkan realitas yang
harus dihadapi masyarakat, terutama terkait kemampuan daya belinya.
Artinya,
kenaikan harga lebih menjamin kepastian ketersediaan BBM daripada model
kebijakan yang telah dilakukan pemerintah melalui pembatasan pembelian
konsumsi BBM yang justru kian menambah panjang antrean BBM di berbagai
daerah. Padahal, langkah ini secara tidak langsung juga memicu panic buying
dan menghambat aktivitas perdagangan, termasuk juga suplai pangan ke berbagai
daerah.
Relevan
dengan dampak sosial dari kebijakan harga BBM, maka beralasan jika saat ini
pemerintah juga sedang menghitung besaran kompensasi yang harus dikeluarkan.
Nilai besaran kompensasi khusus untuk desa pada APBN 2015 diperkirakan naik
mencapai Rp 500 juta per desa. Harapan dari alokasi ini adalah meningkatkan
kegiatan ekonomi di desa yang selama ini masih diyakini sebagai salah satu
sumber produksi pangan. Hal ini juga diperkuat komitmen pemerintah
membangkitkan ekonomi kreatif yang berbasis potensi sumber daya lokal. Jika
dicermati, sinergi antara dana ekonomi desa dan ekonomi kreatif adalah tindak
lanjut dari model kebijakan era otonomi daerah yang memungkinkan daerah
mengembangkan potensi ekonominya.
Berkelanjutan
Hal
yang justru menjadi persoalan, yaitu apakah dengan besaran dana desa tersebut
mampu mereduksi ancaman sosial dari dampak kenaikan harga BBM? Pertanyaan ini
wajar saja mengemuka karena dampak simultan dari setiap kenaikan harga BBM
cenderung sangat kompleks dan inflasi menjadi konsekuensi yang tidak bisa
dihindari.
Artinya,
ancaman terhadap harga pangan menjadi problem serius dan tentu akan memicu
sentimen negatif terhadap akumulasi kemiskinan. Padahal, jumlah penduduk
miskin pada 2013 mencapai 28,55 juta jiwa. Meski terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin dibanding pada 2010 yang mencapai 31,02 juta jiwa, dengan
target pertumbuhan 5,7 persen pada 2014, problem kemiskinan tampaknya masih
menjadi isu krusial jika dikaitkan dengan dampak kenaikan harga BBM nantinya.
Mencermati
kalkulasi dampak sosial-ekonomi dari kenaikan harga BBM, maka besaran subsidi
dan kompensasi juga perlu dicermati. Oleh karena itu, pemerintahan baru di
era Jokowi-JK harus lebih cermat melihat persoalan ini karena taruhannya
adalah legitimasi pemerintahan yang baru dihasilkan dari pemilu kemarin.
Memang tidak mudah melihat persoalan ini dan kebijakan harus diambil oleh
Jokowi–JK, apa pun itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar