Sandera
Kurikulum 2013
Doni Koesoema A ;
Pemerhati
Pendidikan
|
KOMPAS,
20 September 2014
PEMERINTAHAN Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah pasti akan
tersandera dengan Kurikulum 2013. Pernyataan Hasto Kristiyanto, Deputi Tim
Transisi Jokowi-JK, yang tidak berencana mengganti Kurikulum 2013 (Kompas,
10/9) merupakan indikator yang menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi-JK tak
akan mampu melawan arus salah kaprah dalam implementasi Kurikulum 2013.
Ada skenario untuk mengarahkan isu
persoalan Kurikulum 2013 menjadi sekadar persoalan teknis, ekonomis, dan
politis sehingga betapapun karut-marutnya implementasi Kurikulum 2013, apa
yang sudah dimulai harus tetap dilaksanakan.
Argumentasinya, implementasi bisa
disempurnakan dengan berjalannya waktu, biaya yang sudah dikeluarkan untuk
mencetak buku dan melatih guru sudah begitu besar, dan anggaran pendidikan
2014-2015 sudah didesain untuk melanjutkan Kurikulum 2013 yang sarat masalah.
Bahkan, sudah mulai ada diseminasi ide bahwa Kurikulum 2013 sesuai dengan
konsep revolusi mental Jokowi-JK.
Agamanisasi
kurikulum
Argumentasi di atas melupakan persoalan
fundamental yang sudah sejak awal dikritik oleh akademisi dan praktisi
pendidikan, yaitu kekacauan dalam memahami kompetensi disiplin ilmu dengan
kompetensi karakter. Kekacauan konseptual seperti ini tidak akan mungkin
dibereskan dengan berjalannya waktu karena sistem pemikiran yang mendasarinya
sudah salah sejak awal. Pemaksaan integrasi antara kompetensi pendidikan
karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta
kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk
pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi
kurikulum.
Apabila Kurikulum 2013 terlahir untuk
menjawab lemahnya pembentukan karakter siswa Indonesia dan gagalnya proses
pendidikan yang sekadar mengajarkan pengetahuan kognitif tingkat rendah, atau
memerangi metode pengajaran untuk tes yang selama ini jadi biang keladi
rendahnya kualitas siswa kita, kekacauan dalam memahami dan mendesain
Kompetensi Inti bisa menjadi penyebab kegagalan seluruh reformasi pendidikan.
Satu kekeliruan fundamental dalam Kurikulum
2013 adalah usaha untuk spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap
mata pelajaran akan dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya
Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual), Kompetensi Inti 2 (sikap sosial),
Kompetensi Inti 3 (pengetahuan), dan Kompetensi Inti 4 (keterampilan).
Kompetensi Inti 3 dan 4 sesungguhnya sudah ada dalam kurikulum sebelumnya.
Praktis tidak banyak perubahan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana
menilai kompetensi spiritual dan sosial dalam setiap mata pelajaran?
Penilaian kompetensi spiritual dalam
Kurikulum 2013 sering kali ditandai indikator yang sangat ritualistik dan
reduktif, seperti siswa berdoa sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran, atau
indikator aneh, seperti siswa dapat bersyukur atas anugerah bahasa Indonesia.
Bagaimana menilai rasa syukur seperti ini?
Rubrik penilaian untuk kompetensi sosial
berupa sikap-sikap yang dinilai juga tak lepas dari sekadar amatan luar yang
bisa jadi tidak mencerminkan laku sikap sesungguhnya dari siswa. Adanya tujuh
komponen sikap yang dinilai dalam setiap proses tatap muka membuat proses
pembelajaran menjadi berat dengan muatan proses penilaian ketimbang proses
pengajaran.
Gambaran sederhananya seperti ini. Untuk
dapat memberikan penilaian sikap terhadap seorang siswa dalam satu tatap
muka, seorang guru harus menilai sikap siswa melalui lembar penilaian
observasi, penilaian diri dan penilaian rekan sebaya.
Untuk lembar penilaian observasi, komponen
sikap yang harus dinilai oleh guru adalah tanggung jawab, jujur, peduli,
kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Guru harus mengamati tujuh
sikap agar dapat mengisi setiap kolom penilaian. Apabila dalam satu kelas
guru memiliki 30 siswa, berarti ada 210 kolom yang harus diisi oleh guru
untuk menilai kompetensi sikap siswa. Mungkinkah guru mampu mengisi secara
mendalam penilaian sikap ini dalam dua atau tiga jam tatap muka?
Persoalannya bukanlah apakah guru mampu
atau tidak menilai sikap siswa. Akan tetapi, kecenderungan memasukkan
penilaian spiritual dan sikap dalam setiap tatap muka melalui
indikator-indikator yang tidak dapat dikuantifikasi inilah yang membuat
proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya, yaitu akuisisi ilmu
pengetahuan.
Ada dua kemungkinan sikap guru terkait
proses penilaian sikap. Guru lebih mengutamakan proses pembelajaran untuk
penguasaan materi pelajaran dan mengesampingkan proses penilaian spiritual
dan sikap, atau jika ingin mengutamakan keduanya, akhirnya pendalaman materi
pembelajaran yang terabaikan.
Banyak guru memilih mengutamakan
pembelajaran ketimbang sibuk mengamati perilaku spiritual dan sosial siswa.
Akibatnya, penilaian sikap spiritual dan sosial yang dianggap sebagai
kekuatan Kurikulum 2013 hanya menjadi formalitas tanpa isi.
Sekadar
jargon
Kegagalan reformasi pendidikan inilah yang
kita saksikan hari-hari ini. Kekacauan dalam implementasi Kurikulum 2013 bukanlah
semata-mata persoalan teknis, seperti masalah percetakan dan distribusi buku
dan belum berhasilnya program pelatihan guru, melainkan karena pijakan
teoretis-konseptual Kurikulum 2013 tidak kokoh dan secara praksis pun
bermasalah.
Akibatnya, pendidikan hanya menjadi bahan
kampanye politisi, entah mengatasnamakan revolusi mental atau apa pun. Namun,
ketika tiba waktunya untuk mengoreksi kekeliruan fundamental ini, mereka tak
berani mengambil sikap. Alih-alih mencoba memahami mengapa implementasi Kurikulum
2013 gagal, politisi lebih suka memilih zona aman dengan argumentasi
pinggiran yang jauh dari persoalan utama Kurikulum 2013.
Revolusi mental yang menjadi kata-kata
mujarab kampanye Jokowi seharusnya melawan proses pembentukan mental dan
karakter yang salah kaprah seperti yang terjadi dalam Kurikulum 2013.
Melakukan secara terus-menerus sebuah intervensi pendidikan yang secara
konseptual keliru tidak akan membawa proses pembelajaran menjadi lebih baik.
Bahkan, kita malah akan mengalami kerugian ganda, yaitu hilangnya biaya,
tenaga, dan waktu sia-sia.
Pemerintahan Jokowi-JK akan tersandera
dengan Kurikulum 2013 apabila tidak berani mengambil keputusan tegas untuk
menghentikan praksis salah Kurikulum 2013. Pernyataan Tim Transisi Jokowi-JK
sesungguhnya mengukuhkan kenyataan ini. Tampaknya, revolusi mental dalam
bidang pendidikan hanya akan sekadar menjadi jargon dan bualan kampanye. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar