Demokrasi
Bukan Kado
Budiarto Shambazy ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
20 September 2014
TIAP kali pilkada, pileg, atau pilpres,
pikiran kita rakyat otomatis tergiring ke apa yang disebut ”pesta demokrasi”.
Jadi yang berpesta adalah kita rakyat, bukan mereka wakil-wakil kita yang
kita pilih itu. Pemilihan merupakan pesta yang jarang terjadi, cuma diadakan
sekali dalam beberapa tahun khusus bagi kita rakyat untuk memilih bupati/wali
kota, gubernur, anggota parlemen, dan presiden yang kita percayai.
Demokrasi berasal dari dua kata Yunani
kuno, ”demos” (rakyat) dan ”kratos” (kekuasaan). Demokrasi menempatkan rakyat
sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi, atau dalam istilah populer, ”dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
Itulah kenikmatan demokrasi yang kita
rasakan bersama-sama sejak Reformasi 1998 sampai kini. Kita sudah memilih dua
presiden secara langsung, empat kali memilih anggota parlemen secara bebas,
dan juga memilih ratusan kepala daerah, juga secara langsung.
Kita sudah meninggalkan masa suram enam
kali pemilu Orde Baru yang tidak luber dan jurdil, pasrah menerima saja tiap
lima tahun sekali MPR mencalonkan Soeharto sebagai presiden. Berkali-kali
kita diperdaya seolah hanya Soeharto yang mampu menjadi presiden sebagai
mandataris MPR, lembaga yang konon mewakili kita.
Namun, tiba-tiba kini kita rakyat diancam
marabahaya kembalinya sistem pemilihan Orde Baru itu. Koalisi Merah Putih
ingin memaksakan pilkada dilakukan secara tak langsung alias melalui DPRD
seperti dulu. Kita rakyat dilecehkan. Sebab, kata mereka, pilkada langsung
terbukti gagal karena boros biaya, menjadi sumber politik uang, dan
menimbulkan konflik horizontal.
Ketika rakyat mengkritisi pemborosan, partai-partai
menjawab, ”Demokrasi memang mahal.” Maraknya politik uang bersumber dari
siasat sebagian calon pejabat publik menyiapkan ”gizi” untuk membeli suara.
Dan, konflik horizontal pecah lebih banyak karena persekongkolan di elite
partai, bukan karena rakyat bersengketa. Alhasil, tak ada satu pun dari
ketiga dalih itu yang layak ditudingkan kepada rakyat sebagai biang keladi
kegagalan demokrasi langsung.
Rakyat dianggap belum mampu berdemokrasi.
Namun, lihatlah bagaimana sebagian partai dan politisi yang ikut pilkada,
pileg, dan pilpres, yang memanfaatkan semua cara untuk berkuasa. Bukan
rahasia lagi ada caleg mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membeli suara
di Pemilu 2014. Lima tahun lalu, entah berapa triliun rupiah dana hasil
korupsi Bank Century digelontorkan untuk memenangkan pihak-pihak tertentu.
Pada kampanye Pilpres 2014, kubu-kubu
tertentu melancarkan fitnah kejam untuk menjatuhkan capres Joko Widodo. Ia
bukan cuma dikabarkan telah wafat, tetapi juga konon berdarah Tiongkok dengan
ayah berasal dari Singapura dan beragama Kristen.
Masih segar dalam ingatan bagaimana kurang
ikhlasnya mereka yang kalah Pilpres 2014. Mereka menggunakan cara-cara tidak
terpuji dalam melayangkan protes, antara lain mengancam akan menculik Ketua
KPU dan menabrakkan kendaraan-kendaraan militer ke barikade polisi yang
menjaga gedung Mahkamah Konstitusi.
Sekali lagi, apakah itu semua harus
dipersalahkan kepada rakyat, seolah kita belum layak berdemokrasi langsung?
Padahal, negara-negara sahabat justru memuji rakyat Indonesia yang telah
menentukan pilihan melalui Pemilu-Pilpres 2014 yang kredibel, jurdil, dan
luber.
Kalau mengilas balik ke belakang sejak
Reformasi 1998, kita telah menjalani proses demokratisasi dengan segala suka
dan duka sehingga semakin hari semakin matang. Tak lama setelah kerusuhan Mei
1998, disusul pengunduran diri Soeharto yang digantikan BJ Habibie, transisi
dan konsolidasi demokrasi relatif stabil dan aman.
Kita kehilangan Timor Timur. Namun,
setidaknya tidak tercerai-berai akibat transisi dan konsolidasi demokrasi
yang labil dan tidak aman, seperti di Uni Soviet, Eropa Timur, atau di
negara-negara Magribi. Memang ada upaya dari beberapa provinsi yang menuntut
kemerdekaan, tetapi akhirnya mau menerima agenda reformasi tentang otonomi
daerah yang diperluas.
Sementara itu, lihatlah apa yang dilakukan
para politisi dan partai-partai yang tiada henti melakukan ”transisi dan
konsolidasi korupsi” di cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, bahkan
yudikatif. Lihat pula korupsi yang dilakukan di kementerian-kementerian
selama sepuluh tahun terakhir yang tidak dilakukan oleh rakyat.
Upaya memberlakukan kembali pilkada tidak
langsung merupakan salah satu cara yang tidak demokratis yang masih mempunyai
pengikut di negeri ini. Sejarah kita, juga setiap bangsa, memperlihatkan
selalu saja ada upaya politisi/pemimpin/ partai/kelompok/elite untuk mematikan
demokrasi—setidaknya menghambat langkah menuju advanced democracy.
Soekarno melakukannya lewat Dekrit 5 Juli
1959 dengan embel-embel Demokrasi Terpimpin. Soeharto memilih jalan yang semu
melalui Demokrasi Pancasila dengan membonsaikan partai hanya menjadi tiga dan
Golkar wajib menjadi pemenang pemilu. Abdurrahman Wahid pernah mencoba
memberlakukan dekrit.
Selalu ada kaum fanatik yang ingin
melakukan democratic reversal tidak akan tinggal diam, termasuk meniadakan
pilkada langsung. Patut dicamkan, demokrasi pasca Reformasi 1998 bukanlah
kado yang diberikan dari seorang presiden, partai, atau rezim. Kitalah yang
berjuang mati-matian merebut demokrasi dan tentu tidak akan rela jika ada
yang mau merampasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar