Nasib
Reforma Agraria
Gutomo Bayu Aji ;
Peneliti
Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
|
KOMPAS,
20 September 2014
KETIKA
kementerian agraria diumumkan dalam susunan kabinet Jokowi-JK
mendatang, ada harapan segera dipecahkannya peti es yang membekukan
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 selama setengah abad ini.
Ada harapan agar masalah-masalah agraria
yang selama ini dibiarkan terurai dan agenda pembaruan agraria, termasuk yang
mendesak yaitu land reform atau penataan penguasaan tanah, segera dilakukan.
Harapan-harapan itu wajar karena setelah
setengah abad kita baru akan memiliki kementerian agraria lagi. Keberanian
ini patut diapresiasi.
Pembaruan
agraria
Walaupun dalam visi-misi Jokowi-JK tertulis
jelas agenda pembaruan agraria, termasuk land reform, hal itu seperti tabu
diperbincangkan terbuka. Hampir belum terdengar perdebatan mengenai hal itu
di lingkaran Jokowi-JK ataupun elite politik.
Tema yang lebih mengemuka yang tampaknya
akan menjadi pencapaian besar dalam agenda pembaruan agraria adalah
kedaulatan pangan. Hal ini juga terkait dengan rencana besar penggabungan
beberapa kementerian menjadi satu kementerian kedaulatan pangan.
Pada beberapa kesempatan, termasuk dalam
kuliah umum di LIPI, Jokowi mengatakan pentingnya riset untuk mendukung
kedaulatan pangan. Ia menekankan bahwa untuk mencapai swasembada pangan,
beras, perlu meningkatkan produksi melalui temuan varietas yang bisa
menghasilkan 8-12 ton gabah per hektar (Kompas, 17/9/14).
Keinginan untuk menata produksi ini mirip
dengan gagasan revolusi hijau tahun 1970-an, yaitu pemerintah saat itu
menargetkan swasembada beras dengan cara meningkatkan produksi melalui temuan
varietas baru, penataan kelembagaan, irigasi, subsidi pupuk, dan pestisida.
Tidak ada land reform saat itu, tetapi
swasembada beras tercapai untuk pertama kali tahun 1984. Hal ini semakin
meyakinkan kalangan teknokrat bahwa swasembada pangan, antara lain beras,
dapat dicapai tanpa harus melakukan land reform.
Pandangan ini mendominasi paradigma pikir
pemerintah saat ini yang kalau tak disikapi secara kritisi bisa mengurangi
substansi pembentukan kementerian agraria. Kita tahu, swasembada beras itu
telah gagal dan Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar
ketiga di dunia.
Pembentukan kementerian agraria harus
mengatasi masalah mendasar pada tingkat basis produksi, memberikan landasan
bagi kementerian kedaulatan pangan, selain keadilan agraria yang selama ini
diperjuangkan.
Tantangan
Jokowi-JK
Dua tantangan besar terkait agraria dan
kedaulatan pangan adalah, pertama, luas lahan pertanian Indonesia yang sangat
terbatas, sekitar 21 juta hektar, tidak cukup untuk memenuhi seluruh
kebutuhan pangan.
Pertambahan luas lahan pertanian tidak
sebanding dengan percepatan kebutuhan pangan, sebaliknya lahan pertanian yang
tersisa terus menyusut karena konversi lahan.
Apabila pemerintah mendatang tidak membuka
lahan pertanian baru, mencetak sawah baru, lahan pertanian yang ada saat ini
tidak akan cukup untuk mencapai kedaulatan pangan. Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono pernah melakukan redistribusi lahan (telantar) 1,2 juta
hektar, tetapi belum mengatasi masalah.
Jokowi-JK harus berani melakukan terobosan
dengan mengajukan pelepasan kawasan hutan negara yang potensial untuk
pengembangan lahan pertanian. Saat ini UKP4 mempercepat proses tata batas
kawasan hutan negara hingga 68 persen sehingga tim transisi bisa
berkoordinasi.
Kedua, lahan pertanian yang ada saat ini
perlu diatur batas-batas penguasaan maksimum dan minimumnya, selain bagi
hasil dan pengupahan yang berlaku di dalam sistem penguasaan itu.
Batas minimum-maksimum yang diatur dalam
UUPA 1960 adalah 2 hektar-5 hektar berdasarkan produktivitas lahan saat itu.
Saat ini, 1 hektar lahan sawah bisa menghasilkan 5 ton-7 ton gabah, apalagi
kalau Jokowi ingin meningkatkan produksi hingga 8 ton-12 ton gabah per
hektar, perlu dihitung kembali batas minimum-maksimum ideal saat ini.
Penataan batas minimum-maksimum penguasaan
lahan sawah bisa dilakukan dengan cara membeli lahan-lahan sawah yang
melampaui batas maksimum dan membagikannya kepada petani penggarap dan buruh
tani berdasarkan penghitungan batas minimum, sistem bagi hasil, dan
pengupahan. Anggaran pembeliannya bisa dibebankan pada APBN dan APBD.
Negara-negara maju, seperti Korea Selatan,
Jepang, dan Taiwan, telah melakukan land reform sebagai bagian dari
kedaulatan pangan. Maka, pemerintahan mendatang jangan sampai terjebak
paradigma teknokratis bahwa swasembada pangan dapat dicapai tanpa land
reform. Tanpa itu, bukan hanya swasembada pangan tidak tercapai, melainkan
juga pemerataan kesejahteraan petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar