Quo
Vadis Pilkada?
Ma’mun Murod Al-Barbasy ;
Dosen
Program Studi Ilmu Politik
Universitas
Muhammadiyah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 16 September 2014
Imbas
ketegangan pilpres tampak masih berlanjut. Perbedaannya, jika menjelang dan
saat pilpres ketegangan terjadi di arena pilpres, ketegangan pascapilpres
beralih ke lembaga wakil rakyat: DPR RI. Ketegangan politik terkini terlihat
dalam pembahasan RUU Pilkada.
Sebelumnya
ketegangan sudah terlihat saat pembahasan RUU MD3 yang disahkan 8 Juli 2014,
sehari menjelang pilpres. Dalam rapat paripurna ini, tiga fraksi pendukung
Jokowi-JK (PDIP, Hanura, dan PKB) walk out dari sidang karena tidak setuju
dengan isinya, terutama mengenai mekanisme pemilihan pimpinan DPR termasuk
alat kelengkapannya yang dipilih langsung secara paket. Ini berbeda dengan UU
sebelumnya di mana ketua DPR menjadi hak partai pemenang pemilu legislatif.
Pembahasan
RUU Pilkada juga menggambarkan terjadinya ketegangan antara kubu Koalisi
Merah Putih dengan kubu Jokowi-JK. Ketegangan terjadi terkait dengan
mekanisme pemilihan bupati/wali kota. Kubu Koalisi Merah Putih menginginkan
pemilihan bupati/ wali kota dilakukan melalui pemilihan di DPRD. Sementara
kubu Jokowi-JK menghendaki pemilihan bupati/wali kota tetap dilakukan secara
langsung.
Das Sollen Pilkada
Secara
normatif, bila merujuk pada pendekatan klasik ilmu politik, kehadiran negara
atau dalam lingkup lokal disebut sebagai pemerintah daerah (kabupaten/ kota)
secara das sollen bertujuan untuk
mewujudkan “kebaikan bersama” (public
good, maslahat-i aliammah). Kalau konsisten dengan misi mulia kehadiran
negara, mekanisme pemilihan bupati/wali kota harusnya sejalan dengan semangat
tujuan hadirnya negara. Mekanismenya harus dibuat seideal mungkin untuk bisa
menghasilkan pemimpin ideal, bersih, dan tidak korup.
Bukan
hanya itu, sistemnya pun harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang baik
dan mampu mendorong partisipasi politik publik. Mengenai RUU Pilkada, ada dua
model pemilihan yang menjadi bahan perdebatan, yaitu model perwakilan yang
dilakukan di DPRD dan model pemilihan langsung dengan melibatkan rakyat untuk
memilihnya. Dua model ini sebenarnya ideal dan sejalan dengan nilai-nilai
demokrasi. Dengan ber-khusnuzan bahwa
partai merupakan institusi sah dalam demokrasi yang berfungsi menyiapkan
kadernya untuk duduk sebagai anggota DPRD,
mampu
melakukan rekrutmen politik dengan baik sehingga dapat menghasilkan wakil
rakyat yang baik pula, diyakini bila pemilihan bupati/wali kota dilakukan
oleh DPRD pun akan menghasilkan bupati/wali kota yang ideal sesuai dengan
kehendak masyarakat. Begitu juga kalau kita ber-khusnuzan bahwa rakyat Indonesia sudah cerdas dan dewasa
berpolitik dan paham akan peran serta tanggung jawab politiknya, pemilihan
langsung pun diyakini akan menghasilkan bupati/wali kota yang ideal,
aspiratif, dan sejalan dengan kehendak rakyat.
Artinya
kalau kedua model ini berjalan di atas proses dan mekanisme politik yang benar
dan demokratis, apa pun model pemilihan yang dipakai akan sama-sama
menghasilkan bupati/wali kota yang baik di mata rakyat. Karenanya
mempertentangkan keduanya jadi tidak penting. Sebaliknya, jika dua model ini
tidak dikawal dengan baik, dua model pemilihan ini pun diyakini akan
sama-sama menjadi model yang tidak ideal.
Realitas Praksis
Dua
model pemilihan ini pernah dan tengah diterapkan di Indonesia. Model
perwakilan berlangsung pada masa Orde Baru sampai awal Reformasi, tepatnya
sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang mengubah
pemilihan tak langsung menjadi pemilihan langsung. Sementara model pemilihan
langsung diterapkan sejak UU Pemda disahkan sampai saat ini. Faktanya, dua
model ini ternyata lebih sering menelurkan pemimpin yang tidak ideal dan
korup.
Terbukti
ratusan bupati/wali kota produk pemilihan tak langsung maupun pemilihan
langsung mendekam di penjara. Pada era Orde Baru, pemilihan menggunakan model
perwakilan, tentu dalam pengertian yang serbaformalistis dan dimaksudkan
untuk memperkuat hegemoni politik rezim. DPRD tak lebih hanya menjadi
penyetuju atas calon pilihan rezim. Praktik model pemilihan ini berlanjut
hingga awal Reformasi. Meski dengan model pemilihan yang sama, praktiknya
begitu paradoks.
Bila
era Orde Baru pemilihan tak langsung menghasilkan bupati/wali kota yang
relatif lebih baik, meski kebanyakan dari militer, sebaliknya di era
Reformasi justru tak sedikit menghasilkan bupati/wali kota yang tidak ideal.
Praktiknya juga begitu kotor, sarat money
politics dengan beragam modus, mulai dari karantina anggota DPRD oleh
kandidat tertentu, pembagian handphone
oleh calon tertentu untuk memastikan pilihan sampai pada pembagian uang
secara demonstratif. Karena model pemilihan perwakilan dinilai merusak,
sebagai antitesis UU Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan perubahan model pemilihan
menjadi pilkada langsung.
Kebanyakan
daerah saat ini telah melaksanakan pilkada langsung sebanyak dua kali.
Hasilnya, pilkada langsung juga tidak selalu mampu menghasilkan pemimpin yang
baik. Bahkan lebih banyak mafsadat
ketimbang maslahat-nya. Dengan
logika bahwa pemilihan tak langsung di DPRD cenderung tidak demokratis dan
rawan terjadi praktik money politicskarena hanya melibatkan sedikit orang,
pilkada langsung pun dinilai menjadi solusi. Namun ternyata praktiknya tidak
lebih baik dari pemilihan tak langsung. Praktik money politics tetap terjadi
dan bahkan dalam bentuk yang lebih masif. Masyarakat pun telah dirusak oleh
dan menjadi terbiasa dengan uang (suap). Bukan hanya itu, konflik vertikal
juga kerap terjadi. Begitu juga konflik horizontal hampir selalu terjadi di banyak
daerah.
Perlu Perbaikan
Menyeluruh
Fakta
bahwa dua model pemilihan yang das sollensebenarnya bagus ini, dalam
praktiknya sama-sama negatif dan merusak. Kenapa bisa terjadi? Rendahnya
mentalitas negarawan dari sebagian besar politisi menjadi faktor determinan.
Tentu berbeda antara politisinegarawan yang dalam melakukan aktivitas politik
selalu berpikir yang terbaik untuk bangsa dan negara dan politisi bukan
negarawan yang dalam beraktivitas politik selalu mengedepankan kepentingan
politik individu, golongan, dan bersifat sesaat. Saya yakin politisi
(Senayan) menyadari karut-marutnya sistem politik, tetapi tak juga tergerak
untuk memperbaikinya secara menyeluruh. Selalu saja perubahan (bukan
perbaikan) sistem politik dilakukan parsial dan sarat kepentingan politik
yang bersifat sesaat.
Gaduhnya
pembahasan RUU Pilkada menjadi cermin nyata rendahnya mentalitas negarawan.
Politisi (Senayan) tampak tak terlihat mempunyai kemauan politik (political will) untuk melakukan
perbaikan sistem politik dan sebaliknya justru terjebak pada praktik politik
yang terkadang dan bahkan lebih sering secara diametral berhadapan dengan
kepentingan politik publik. Kalau benar politisi (Senayan) mempunyai
political will untuk melakukan perbaikan sistem politik, lakukan secara
menyeluruh dengan secara fundamental berubah seluruh undang-undang politik
agar senapas dengan upaya perbaikan sistem politik.
Karenanya,
tidak hanya RUU Pilkada yang diributkan, tapi UU Partai Politik, UU MD3, UU
Pemilu, UU Penyelenggara Pemilu, dan undang- undang lain yang mempunyai
kaitan dengan politik juga harus diubah dan disinergikan. Semangatnya harus
sama ke arah perbaikan sistem politik. Upaya ini harus dilakukan. Kalau
tidak, jangan harap terjadi perbaikan kehidupan politik. Kalau upaya ini
dinafikan, pemilihan bupati/wali kota memakai model apa pun tak akan bisa
mengubah kehidupan politik lokal ke arah yang lebih baik, lebih bermartabat,
mampu menekan praktik korupsi dan money
politics.
Semoga
ini menjadi perhatian serius politisi (Senayan) dalam membahas RUU Pilkada.
Mereka tidak sekadar gaduh membahas model pemilihan: langsung dipilih rakyat
atau melalui perwakilan di DPRD, tapi UU Pilkada juga harus mampu menjawab
pelbagai soal yang timbul selama pelaksanaan pilkada, baik ketika masih
menganut pemilihan tak langsung di DPRD maupun ketika pilkada langsung. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar