Senin, 22 September 2014

Mobil

Mobil

Purnawan Andra  ;   Peminat Kajian Sosial-Budaya Masyarakat
KORAN TEMPO, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Presiden terpilih Joko Widodo menolak rencana pemerintah pimpinan Presiden SBY untuk membelikan mobil mewah baru bagi menteri pemerintah pimpinan Jokowi mendatang. Daripada memakai mobil baru, ia lebih memilih memakai mobil dinas yang lama. Jokowi bertekad mengedepankan pelayanan publik daripada meningkatkan fasilitas pejabat.

Sejak awal abad ke-20, mobil memang telah menjadi simbol kekuasaan, kekayaan, dan kemodernan. Pengamat budaya, Bandung Mawardi, mencatat bahwa pada 1907 Raja Pakubuwana X bermobil Daimler-Benz ketika pelesir.

Mobil, yang dulu berperan sebagai alat migrasi atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, berkembang maknanya dalam konteks ekonomi, kelas sosial, gaya hidup, hingga politik. Pejabat dan penguasa menunjukkan eksistensi dengan mobilnya. Semakin banyak mobil, apalagi dengan ragam dan kebaruannya, membuktikan keberhasilannya. Semakin kuat dan berpengaruh posisi pejabat, kenyamanan dan keamanan kendaraannya menjadi keharusan dan amat vital.

Mobil juga diidentikkan dengan keberhasilan pembangunan. Pemerintah berhasil meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakatnya. Pembangunan jalan (raya, layang, dan tol) menjadi bukti dan memfasilitasi peningkatan kuantitas mobil yang dimiliki masyarakat.

Pada saat yang sama, mobil juga menjadi urusan keluarga dalam iklan-iklan di majalah, koran, dan televisi. Kita mengenal istilah-istilah "mobil sebagai sahabat keluarga", "mobil untuk keluarga Indonesia", atau "mobil pilihan keluarga Indonesia". Semua iklan mobil ingin membuat publik menerima pemahaman: mobil penting bagi keluarga. Keluarga Indonesia "mesti" bermobil agar tampak harmonis dan terhormat (Mawardi, 2014).

Namun mobil juga terlibat dalam kontes politik. Perkara mobil pernah menjadi isu penting dalam era Orde Baru. Mobil menjadi ajang politik bisnis yang bersumber dari fasilitas kekuasaan. Mobil bahkan dilibatkan dalam agenda setting identitas nasional yang berujung pada kekayaan dan kemakmuran oknum dan pihak tertentu yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Mobil juga menjadi bagian dalam tindak kejahatan kerah putih yang terkuak belakangan ini. Para politikus memiliki koleksi mobil-mobil mewah dan eksklusif hasil korupsi dan pencucian uang. Dalam kasus-kasus rasuah yang tersingkap, mobil-mobil berharga selangit itu tidak hanya menandakan kepemilikan properti kaum elite. Hal itu pun menjadi modus dalam tindak suap dan lobi-lobi tender politik, korupsi, pencucian uang, hingga berkaitan dengan perkara syahwat ketika menjadi hadiah bagi artis-artis dan teman dekat wanitanya. Makna mobil mengalami peyorasi karena sikap mental orang-orang semacam ini.

Untuk itu, kita berharap langkah Jokowi tersebut merupakan wujud nyata revolusi mental yang selama ini didengungkan. Secara riil, pejabat publik jangan mengambil keuntungan di tengah penderitaan rakyat, tapi justru melayani rakyat dengan memberi keteladanan dari segi penghematan dana dan kesederhanaan. Mengubah mental boros menjadi hemat dan berpihak kepada rakyat harus dipahami sebagai salah satu usaha dalam mewujudkan salah satu Trisakti, yaitu membangun kemandirian dalam bidang ekonomi. Kriwikan dadi grojogan, mengubah perkara penting dari hal yang kecil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar