Mobil
Purnawan Andra ;
Peminat
Kajian Sosial-Budaya Masyarakat
|
KORAN
TEMPO, 20 September 2014
Presiden terpilih Joko Widodo menolak
rencana pemerintah pimpinan Presiden SBY untuk membelikan mobil mewah baru
bagi menteri pemerintah pimpinan Jokowi mendatang. Daripada memakai mobil
baru, ia lebih memilih memakai mobil dinas yang lama. Jokowi bertekad
mengedepankan pelayanan publik daripada meningkatkan fasilitas pejabat.
Sejak awal abad ke-20, mobil memang telah
menjadi simbol kekuasaan, kekayaan, dan kemodernan. Pengamat budaya, Bandung
Mawardi, mencatat bahwa pada 1907 Raja Pakubuwana X bermobil Daimler-Benz
ketika pelesir.
Mobil, yang dulu berperan sebagai alat
migrasi atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, berkembang maknanya
dalam konteks ekonomi, kelas sosial, gaya hidup, hingga politik. Pejabat dan
penguasa menunjukkan eksistensi dengan mobilnya. Semakin banyak mobil,
apalagi dengan ragam dan kebaruannya, membuktikan keberhasilannya. Semakin
kuat dan berpengaruh posisi pejabat, kenyamanan dan keamanan kendaraannya
menjadi keharusan dan amat vital.
Mobil juga diidentikkan dengan keberhasilan
pembangunan. Pemerintah berhasil meningkatkan taraf hidup dan daya beli
masyarakatnya. Pembangunan jalan (raya, layang, dan tol) menjadi bukti dan
memfasilitasi peningkatan kuantitas mobil yang dimiliki masyarakat.
Pada saat yang sama, mobil juga menjadi
urusan keluarga dalam iklan-iklan di majalah, koran, dan televisi. Kita
mengenal istilah-istilah "mobil sebagai sahabat keluarga",
"mobil untuk keluarga Indonesia", atau "mobil pilihan keluarga
Indonesia". Semua iklan mobil ingin membuat publik menerima pemahaman:
mobil penting bagi keluarga. Keluarga Indonesia "mesti" bermobil
agar tampak harmonis dan terhormat (Mawardi,
2014).
Namun mobil juga terlibat dalam kontes
politik. Perkara mobil pernah menjadi isu penting dalam era Orde Baru. Mobil
menjadi ajang politik bisnis yang bersumber dari fasilitas kekuasaan. Mobil
bahkan dilibatkan dalam agenda setting identitas nasional yang berujung pada
kekayaan dan kemakmuran oknum dan pihak tertentu yang berada dalam lingkaran
kekuasaan.
Mobil juga menjadi bagian dalam tindak
kejahatan kerah putih yang terkuak belakangan ini. Para politikus memiliki
koleksi mobil-mobil mewah dan eksklusif hasil korupsi dan pencucian uang.
Dalam kasus-kasus rasuah yang tersingkap, mobil-mobil berharga selangit itu
tidak hanya menandakan kepemilikan properti kaum elite. Hal itu pun menjadi
modus dalam tindak suap dan lobi-lobi tender politik, korupsi, pencucian
uang, hingga berkaitan dengan perkara syahwat ketika menjadi hadiah bagi
artis-artis dan teman dekat wanitanya. Makna mobil mengalami peyorasi karena
sikap mental orang-orang semacam ini.
Untuk itu, kita berharap langkah Jokowi
tersebut merupakan wujud nyata revolusi mental yang selama ini didengungkan.
Secara riil, pejabat publik jangan mengambil keuntungan di tengah penderitaan
rakyat, tapi justru melayani rakyat dengan memberi keteladanan dari segi
penghematan dana dan kesederhanaan. Mengubah mental boros menjadi hemat dan
berpihak kepada rakyat harus dipahami sebagai salah satu usaha dalam
mewujudkan salah satu Trisakti, yaitu membangun kemandirian dalam bidang
ekonomi. Kriwikan dadi grojogan, mengubah perkara penting dari hal yang kecil.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar