Sabtu, 06 September 2014

Menata Kabinet untuk Mewujudkan Nawa Cita

Menata Kabinet untuk Mewujudkan Nawa Cita

Agus Dwiyanto  ;   Kepala Lembaga Administrasi Negara
MEDIA INDONESIA, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PENATAAN kabinet menjadi wacana untuk mengurangi fragmentasi pemerintahan. Kekuasaan pemerintah terbagi ke dalam banyak lembaga secara tumpang-tindih dan berbenturan satu dengan lainnya, baik secara sektoral, fungsional, maupun spasial. Bahkan, fragmentasi terjadi bukan hanya antarkementerian/lembaga (K/L), melainkan juga terjadi di internal K/L.

Beberapa kerugian dari struktur pemerintahan yang terfragmentasi ialah sebagai berikut. Pertama, alokasi kewenangan yang tumpang-tindih membuat proses tata kelola pemerintahan menjadi kompleks. Dalam sebuah urusan pemerintahan tertentu seperti UKM, pertanahan, maritim, dan kelautan, perizinan selalu melibatkan belasan K/L. Struktur ini menciptakan kerugian ganda. Antara lain menciptakan kebutuhan melakukan koordinasi, yang sebenarnya dapat dihindari.

Kerugian kedua, lemahnya institusi dan mekanisme pengintegrasian rencana dan kegiatan pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Setelah lebih dari satu dekade melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah belum mampu menyinergikan kegiatan pemerintah pusat dan daerah. Mekanisme musrenbang dari tingkat bawah sampai dengan tingkat nasional terbukti tidak efektif.

Kesulitan menyinergikan kebijakan pusat dan daerah membuat potensi nasional tidak bisa dikonsolidasikan untuk memerangi musuh bersama seperti pengangguran, kemiskinan, dan kebodohan. Bahkan ironisnya, ketika pada tingkat regional kita mendorong integrasi ASEAN melalui ASEAN Economic Community, pada tingkat nasional kita masih mengalami kesulitan mengintegrasikan kegiatan pemerintah pusat dengan daerah. Hal itu dapat menimbulkan masalah baru ketika ASEAN Economic Community diberlakukan pada 2015.

Ketiga, disintegrasi fungsi manajemen pemerintahan, utamanya antara fungsi perencanaan dan penganggaran.

Menata kembali kabinet

Melihat kompleksnya fragmentasi kekuasaan baik sektoral maupun vertikal, penataan kabinet dan lembaga pemerintah menjadi keniscayaan. Pertanyaannya tentu bagaimana Jokowi-JK dapat menata kabinet tanpa harus terlalu banyak terkuras energi untuk mengelola ekses dan dampak dari perombakan kabinet?

Penataan kabinet bukan persoalan jumlah kementerian, melainkan menata alokasi kewenangan yang dimandatkan kepada setiap kementerian agar terkonsolidasi. Dengan konsolidasi kewenangan, kebutuhan koordinasi, sosialisasi, dan sinkronisasi dapat ditekan seminimal mungkin. Konsolidasi juga mengurangi konflik dan rebutan peran antar-K/L.Adapun perampingan adalah konsekuensi logis dari konsolidasi fungsi K/L.

Penataan kelembagaan membutuhkan arsitektur yang jelas. Arsitektur itu menggambarkan struktur lembaga pemerintah mendatang dan interkoneksinya. Penataan kelembagaan sesuai dengan arsitektur dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas politik yang dimiliki. Dalam mengembangkan arsitektur kabinet, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, tentang nilai yang mendasari pembentukan lembaga pemerintah. Tentu banyak nilai yang perlu dipertimbangkan di samping visi dan misi presiden. Di antaranya yang penting adalah: efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Mengukur efisiensi tidak terbatas pada berapa rupiah yang dihemat dari berkurangnya tunjangan struktural dari berkurangnya jumlah menteri dan eselon I, tetapi juga mencakup berapa ruang kantor, fasilitas kerja, staf protokol dll.
Yang lebih penting, penataan kabinet dan lembaga dilakukan untuk memperbaiki efektivitas penyelenggaraan pemerintah. Jumlah lembaga yang banyak dengan kewenangan yang tumpang-tindih dan berbenturan justru mempersulit kerja kabinet dan birokrasinya.

Kedua, menempatkan kewenangan untuk mengelola satu urusan pemerintahan dari hulu ke hilir kepada satu K/L tertentu. Bahkan jika perlu, beberapa urusan yang interkoneksinya sangat tinggi pengelolaannya dapat diserahkan kepada satu K/L tertentu.

Ketiga, arsitektur kabinet mesti mempertimbangkan kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Keempat, arsitektur kabinet sebaiknya menggambarkan penguatan kantor kepresidenan. Untuk mendukung pelaksanaan sistem presidensial, presiden perlu didukung oleh kantor pendukung yang kuat agar presiden dapat melaksanakan fungsi manajemen pemerintahan secara efektif.

Menentukan prioritas

Tantangan yang dihadapi Presiden Jokowi ialah pertama, memastikan bahwa dalam periode lima tahun mendatang kabinet dan birokrasinya bisa bekerja secara efektif mewujudkan janji kepada rakyat. Jika karena pertimbangan politik dan birokrasi struktur kabinet yang ada akan dipertahankan, Jokowi-JK dapat memberi prioritas pada penataan K/L yang terkait dengan Nawa Cita. Misalnya, K/L yang terkait dengan otonomi daerah, kedaulatan pangan, kelautan dan maritim, pendidikan karakter dan budaya, serta kesehatan dan sosial. Nomenklatur kementerian dapat diubah dan fungsinya dikonsolidasikan agar dapat bekerja tanpa harus direcoki kementerian lain. Sementara itu, konsolidasi sektor lainnya dapat dilakukan secara bertahap.

Kedua, penguatan efektivitas fungsi manajemen pemerintahan melalui penguatan kapasitas kantor presiden. Hal itu dapat dilakukan melalui integrasi antara fungsi perencanaan dan penganggaran, peningkatan kapasitas monev kinerja K/L dengan pengintegrasian sebagian fungsi BPKP dengan UKP4, dan pengelolaan urusan desentralisasi. Keinginan pemerintah Jokowi-JK untuk membangun melalui daerah dan mewujudkan desentralisasi asimetris dapat dipercepat de ngan mengambil alih fungsi DPOD dan menempatkannya di kantor presiden. DPOD di bawah Kementerian Dalam Negeri selama ini menga lami disfungsional.

Ketiga, menata kembali fungsi Kementerian Dalam Negeri dengan mengalihkan fungsi binwas kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Kemendagri fokus pada fungsi binwas pemerintah provinsi dan gubernur sebagai wakil pemerintah. Gubernur menjalankan fungsi sebagai budget optimizer dengan menyinergikan kegiatan K/L dan kegiatan kabupaten dan kota. Dengan demikian, para pejabat K/L tidak perlu gentayangan ke daerah dan sebaliknya, para pejabat kabupaten/kota juga tidak perlu keluyuran ke Jakarta.

Pemerintah dapat menggunakan skema ini sekaligus untuk merampingkan birokrasi dan fungsi-fungsi di Kemendagri dan K/L yang sebagian besar urusannya sudah diserahkan kepada daerah. Dengan memperjelas institusi dan mekanisme konsolidasi dan integrasi pemerintah pusat dan daerah, pemerintah dapat mempercepat terintegrasinya potensi dan sumber daya pusat dan daerah, yang diperlukan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Pemerintahan Jokowi-JK memiliki peluang emas untuk membentuk pemerintah yang efektif dan efisien yang diperlukan untuk membawa Indonesia memasuki globalisasi. Hal itu dapat dilakukan kalau pemerintah yang dipimpinnya menata kabinet dan lembaga pemerintah terkait.

Penataan dapat dilakukan dengan melalui tiga cara: (1) konsolidasi dan penajaman fungsi kementerian terutama yang terkait dengan implementasi Nawa Cita, (2) konsolidasi fungsi manajemen pemerintahan di kantor presiden, utamanya fungsi perencanaan dengan penganggaran, dan (3) menjadikan gubernur selaku wakil pemerintah sebagai intermediary institution dan sekaligus budget optimizer kegiatan pusat dan daerah. Jika semuanya dapat dilakukan, pemerintah Jokowi-JK dapat membangun pemerintah yang bukan hanya secara sektoral dan fungsional solid, melainkan secara hierarkis terintegrasi dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar