Aborsi,
Ketika Sains dan Politik Bertemu
Nurul Inayah ; Seorang
Dokter
|
SINAR
HARAPAN, 23 September 2014
Dalam ilmu
kedokteran, aborsi didefinisikan sebagai berhentinya kehamilan sebelum usia
kehamilan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, disengaja ataupun
tidak.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita biasa menggunakan istilah “aborsi” untuk satu jenis
dari aborsi, yang dalam kedokteran diistilahkan sebagai induced abortion. Ada
jenis aborsi lain, yaitu spontaneous abortion, terbiasa disebut masyarakat
sebagai keguguran. Jadi, menggugurkan secara sengaja inilah yang dimaksud
aborsi dalam bahasa Indonesia.
Dalam catatan
sejarah, praktik aborsi telah dikenal sejak ribuan tahun silam dengan
berbagai teknik dan cara. Sayangnya, perkembangan sains kedokteran hingga
abad ke-19 belum mampu memberi pelayanan yang memadai bagi para perempuan
yang “perlu” menggugurkan kandungannya.
Tingginya
angka kematian perempuan korban aborsi menjadi catatan sejarah yang
menyeramkan. Karena itulah, di Eropa atau Amerika Serikat (AS), kelompok yang
menamakan dirinya kaum feminis angkat bicara. Mereka menyuarakan gerakan antiaborsi
karena dinilai merugikan dan membahayakan jiwa kaum perempuan.
Hingga abad
ke-20—saat dunia kedokteran memasuki era antibiotik—sejarah kedokteran
berubah amat drastis, termasuk di dalamnya soal aborsi. Angka kematian
perempuan oleh praktik aborsi tidak steril menurun pula.
Bukan hanya
soal penemuan antibiotik, hal ini didukung dengan perkembangan kedokteran
obstetri dan ginekologi. Aborsi menjadi tindakan medis yang “aman”. Ia tidak
lagi menjadi suatu tindakan yang ditakuti dampak serta akibat lanjutannya.
Itulah
perkembangan sains kedokteran. Namun, masalah tidak otomatis tuntas,
khususnya dalam kemasyarakatan yang terkait cara perkembangan sains tersebut
digunakan. Hal ini melibatkan aspek legalitas dari negara yang di dalamnya
menggambarkan cara pandang suatu masyarakat atau cara pandang yang diadopsi
guna membentuk suatu masyarakat.
Selama ini,
bagi Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 299, 341-343, 346-349; aborsi dikategorikan sebagai tindakan
kriminal.
Pelaku dan
pihak yang terlibat dalam “pembunuhan” secara sengaja akan dihukum. Selain
itu, bagi profesi dokter di Indonesia, membantu aborsi berarti melanggar
sumpahnya sendiri. "Saya akan
menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan," demikian
salah satu lafal sumpah Hippocrates.
Sekalipun
terlarang, selama ini praktik ilegal tersebut kian marak terjadi. Ini seiring
bertambahnya kehamilan yang tak diinginkan.
Menurut Kepala
Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional Jawa Tengah, dr Hartono Hadisaputro,
di Indonesia diperkirakan ada 2,5 juta kasus aborsi tiap tahun. Artinya, ada
6.944-7000 perempuan yang melakukan aborsi setiap hari (Kompas, 20 September 2013).
Tetapi, ini
bukan “prestasi” Indonesia. Kondisi serupa jauh hari sebelumnya telah menjadi
masalah bagi masyarakat Eropa, seperti Inggris dan AS. Keadaan tersebut telah
membalikkan hati kaum feminis. Aborsi yang sebelumnya ditentang, sekarang
balik diperjuangkan dalam judul “aborsi legal dan aman”.
Ini
diperjuangkan oleh mereka dan dipandang sebagai sebuah kebutuhan dan hak
setiap perempuan. Kaum perempuan, menurut mereka, berhak memilih (pro-choice)
melanjutkan atau mengurungkan kehamilan. Untuk menjalani kehamilan mereka
berhak mendapatkan rasa aman, demikian pula aborsi.
Mereka
memandang negara wajib memberikan layanan aborsi secara terbuka, dengan
tenaga yang terlatih dan anggaran dari kas negara. Inilah “hak aborsi” yang
kaum feminis perjuangkan sekarang.
Di AS
misalnya, menurut situs femist.com, tuntutan hak aborsi bagi perempuan
feminis di atas melewati perjalanan yang panjang dan terus berkembang.
Undang-undang (UU) tahun 1820-an yang semula melarang aborsi setelah bulan
keempat kehamilan, kini menjadi legal dengan hampir 84 persen “kabupaten” di
perkotaan menyediakan layanan aborsi legal.
Legalitas
aborsi menjadi tren di dunia. Sebanyak 40 persen populasi dunia saat ini bisa
mengakses layanan aborsi secara legal, terutama di Eropa, bekas Uni Soviet,
dan Amerika Utara. Itu “tanpa syarat” atau persyaratan ketat, seperti
kehamilan akibat pemerkosaan, inses, dan usia, selain indikasi medis baik
pada sang ibu maupun janin.
Kelahiran
Peraturan Pemerintah (PP) No 64/2014 tentang Kesehatan Reproduksi atau yang
sering disebut legalisasi aborsi bersyarat di Indonesia tampaknya adalah buah
dari tren global tersebut. Kehadiran teknologi sains kedokteran tentu saja
diperuntukkan bagi kebaikan setiap insan, menolong yang lemah dan dirundung
nasib malang.
Namun,
kebijakan politik yang terkait dengannya dan dianggap sebagian pihak menolong
nasib perempuan, hemat kami, bagai dua sisi mata uang atau jalan terbuka
untuk dua keadaan: kebaikan dan keburukan.
Di satu sisi,
mungkin ini bisa membantu “meringankan beban” korban pemerkosaan hingga hamil
(yang usia kehamilannya kurang dari 40 hari). Di sisi lain, para pelaku
pemerkosaan bisa lebih “sadis”, merasa sudah ada “bantuan” dari pemerintah
untuk meringankan beban korban.
Di samping
itu, melihat praktik penegakan hukum di Indonesia, bisa saja PP ini menjadi
jalan damai bagi pelaku tindakan seks bebas yang terkadang berbuah janin.
Dalam arti, PP ini bukan menyelesaikan masalah, melainkan sekadar mengambil
tindakan atas gejala-gejala yang ternyata bukan gejala tersebut yang menjadi
masalah sebenarnya, Mungkin ini kekhawatiran yang berlebihan dari penulis,
tetapi mestinya kita belajar dari yang sudah-sudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar