Kamis, 11 September 2014

Masa Depan Koalisi Pascapilpres

Masa Depan Koalisi Pascapilpres

Revi Marta Dasta  ;   Peneliti Sang Gerilya Institute (SaGI) Jakarta
HALUAN, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Koalisi Merah Putih (KMP) terlihat masih kompak pasca keka­lahan pasangan Pra­bowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. Buktinya KMP yang berisi Partai Gerin­dra, Golkar, Demokrat, PAN, PPP dan PKS mulai menun­jukan eksiste­nsinya di DPR saat revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

Revisi yang meng­ha­sil­kan UU No. 17 Tahun 2014  tentang MD3 tersebut menya­takan bahwa pimpinan DPR dipilih secara mufakat, jika tidak tercapai dilakukan mekanisme pemungutan suara. Hal tersebut tentu membuat PDI Perjuangan sebagai peme­nang Pileg 2014 meradang karena sebelumnya mem­berikan hak kepada partai politik pemenang pemilu mengisi ketua DPR. Dengan begitu, kemungkinan yang menjadi pimpinan DPR adalah adalah KMP.

Selain itu, partai politik yang berada dalam KMP sepakat mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Dengan alasan penghematan anggaran, partai-partai di KMP setuju jika pemilihan kepala daerah secara langsung diba­talkan mulai tahun 2015.

Apakah dua isu aktual di atas dianggap upaya balas dedam yang dilakukan KMP? Jawabannya bisa jadi, karena setelah KMP gagal meng­genggam jabatan eksekutif, mereka berupaya mengambil peran lebih banyak di legislatif. Minimal isu UU MD3 dan Pilkada bisa menunjukan kepada publik bahwa KMP solid di parlemen.

Menurut penulis, upaya KMP melembagakan koalisi tersebut menjadi permanen disebabkan PDI Perjuangan yang memandang remeh koalisi di parlemen. Jika PDI Per­juangan menginginkan koalisi gemuk di parlemen tentu sejak awal Jokowi-JK membangun koalisi dengan banyak partai, bukan koalisi ramping yang ada sekarang.

Dalam sistem presidensil yang berlaku di Indonesia memang tak kenal namanya koalisi. Presiden bebas menen­tukan pembantunya, sebab ia dipilih oleh rakyat sehingga tidak perlu bergan­tung pada suara di D­PR. Koa­lisi se­benarnya lebih cocok dite­rapkan di dalam sistem par­le­men­ter. Sebab pe­merintah perlu didu­kung oleh ma­­yo­ritas DPR. Ke­be­radaan pe­merintah, diten­tu­kan oleh DPR dan karena itu ter­gan­­­tung suara di parlemen.

Tetapi ketika SBY me­nang mutlak dalam pe­milihan presiden tahun 2009, ia harus merangkul semua partai politik untuk berkoalisi dengan masing-masing dibe­rikan jatah men­teri. Langkah ini untuk menga­mankan kepentingan istana di DPR. Walaupun dalam kenya­taannya, koalisi yang diba­ngun oleh SBY juga ter­lihat rapuh.

Djayadi Hanan (An­tara, 12/04/2014)) ber­pendapat, keberadaan koa­lisi dalam sistem presidensial multi­partai adalah salah satu solusi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam hubungan Presiden dan DPR dalam menjalankan pemerintahan.

Lalu, bagaimana nasib koalisi merah putih pasca Jokowi-JK dilantik tanggal 20 Oktober 2014? Ini yang terus bergulir, di satu sisi KMP akan menjadi penyeim­bang atau katakanlah oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Seba­liknya kubu Jokowi-JK mencoba merayu partai-partai KMP untuk berga­bung dalam pemerin­tahan.

Menurut penulis, ada beberapa ke­­­mung­­kinan yang akan diambil oleh KMP.  Pertama, koalisi KMP akan permanen, bahkan sam­pai ke daerah dalam rangka memenangkan pemilihan kepala daerah. Hal tersebut terlihat dari pendapat pimpinan KMP yang tetap mengikrarkan janji setia. Jika KMP konsisten maka sejarah baru dalam per­politikan In­do­nesia.

Tantangan K­MP akan da­tang apabila da­lam Mu­nas atau Muk­­­­tamar yang dige­lar partai po­litik terpilih kubu yang pro kepada pe­merintahan Jokowi-JK se­hingga peta politik akan berubah. PPP dan Golkar merupakan dua partai dalam KMP kemung­kinan akan bergolak pasca­pergantian posisi ketua umum mereka.

Jika berkaca kepada pemilu dan pilpres 2004 dan 2009 pre­siden ter­­­­pi­lih ber­hasil mem­­ba­ngun ko­a­­li­si ge­muk di par­lemen. Sehingga du­a perio­de pe­me­rin­ta­­han SBY tidak mendapatkan ha­langan yang berarti.

Langkah akomodatif ini juga nampaknya akan dilakukan oleh Jokowi-JK karena mereka butuh DPR untuk menga­mankan kebijakan selama lima tahun. Hal tersebut seringkali diungkapkan Jokowi yang menyebutkan bahwa ada satu atau dua partai politik dari KMP yang siap bergabung dengan pemerintahannya kelak.

Di sini JK sangat mungkin mengambil alih kembali Partai Golkar untuk bergabung di pemerintahan, sebagaimana yang Ialakukan tahun 2009 lalu. Artinya JK sudah memiliki penga­laman “menaklukan” hati para peserta Munas Golkar. Na­mun tentu dengan cara yang berbeda, Ketua PMI tersebut kemungkinan tidak akan langsung me­ngam­bil alih kursi ketua umum Golkar tetapi dengan cara menempatkan orang-orang dekatnya.

Jika berkaca pada Mu­nas Golkar tahun 2015 nanti, dipastikan Gol­kar akan berada diba­risan oposisi peme­rintah, karena ketua umum Abu­rizal Ba­krie masih berada di KMP.

Kedua, jika Joko­wi-JK tidak mampu merangkul kekuatan besar di parlemen maka yang terjadi adalah persiteruan antara presiden dan DPR. Dengan mayoritas suara yanga ada di parlemen maka KMP  bisa mengang­gu upaya pemerintahan Jokowi-JK melaks­ana­kan tugas dan fung­sinya. Kasus serupa pernah terjadi saat Gus Dur menjadi presiden. Kekuatan par­lemen yang mayoritas mam­­­­­pu menj­atuh­kan Gus Dur dari kursinya.

Dengan de­­mikian mem­­­­bangun koalisi dengan banyak partai di parlemen sangat diperlukan un­tuk melang­gengkan pro­gram-pro­gram pemerintah. Upaya ter­sebut masih bisa terwujud tergantung kepada pergantian kepemimpinan partai-partai dalam KMP. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar