Masa
Depan Koalisi Pascapilpres
Revi Marta Dasta ;
Peneliti
Sang Gerilya Institute (SaGI) Jakarta
|
HALUAN,
10 September 2014
Koalisi Merah
Putih (KMP) terlihat masih kompak pasca kekalahan pasangan Prabowo Subianto
dan Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. Buktinya KMP yang berisi Partai Gerindra,
Golkar, Demokrat, PAN, PPP dan PKS mulai menunjukan eksistensinya di DPR
saat revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Revisi yang menghasilkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 tersebut menyatakan bahwa pimpinan DPR dipilih secara mufakat, jika tidak tercapai dilakukan mekanisme pemungutan suara. Hal tersebut tentu membuat PDI Perjuangan sebagai pemenang Pileg 2014 meradang karena sebelumnya memberikan hak kepada partai politik pemenang pemilu mengisi ketua DPR. Dengan begitu, kemungkinan yang menjadi pimpinan DPR adalah adalah KMP. Selain itu, partai politik yang berada dalam KMP sepakat mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Dengan alasan penghematan anggaran, partai-partai di KMP setuju jika pemilihan kepala daerah secara langsung dibatalkan mulai tahun 2015. Apakah dua isu aktual di atas dianggap upaya balas dedam yang dilakukan KMP? Jawabannya bisa jadi, karena setelah KMP gagal menggenggam jabatan eksekutif, mereka berupaya mengambil peran lebih banyak di legislatif. Minimal isu UU MD3 dan Pilkada bisa menunjukan kepada publik bahwa KMP solid di parlemen. Menurut penulis, upaya KMP melembagakan koalisi tersebut menjadi permanen disebabkan PDI Perjuangan yang memandang remeh koalisi di parlemen. Jika PDI Perjuangan menginginkan koalisi gemuk di parlemen tentu sejak awal Jokowi-JK membangun koalisi dengan banyak partai, bukan koalisi ramping yang ada sekarang. Dalam sistem presidensil yang berlaku di Indonesia memang tak kenal namanya koalisi. Presiden bebas menentukan pembantunya, sebab ia dipilih oleh rakyat sehingga tidak perlu bergantung pada suara di DPR. Koalisi sebenarnya lebih cocok diterapkan di dalam sistem parlementer. Sebab pemerintah perlu didukung oleh mayoritas DPR. Keberadaan pemerintah, ditentukan oleh DPR dan karena itu tergantung suara di parlemen. Tetapi ketika SBY menang mutlak dalam pemilihan presiden tahun 2009, ia harus merangkul semua partai politik untuk berkoalisi dengan masing-masing diberikan jatah menteri. Langkah ini untuk mengamankan kepentingan istana di DPR. Walaupun dalam kenyataannya, koalisi yang dibangun oleh SBY juga terlihat rapuh. Djayadi Hanan (Antara, 12/04/2014)) berpendapat, keberadaan koalisi dalam sistem presidensial multipartai adalah salah satu solusi untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kebuntuan dalam hubungan Presiden dan DPR dalam menjalankan pemerintahan. Lalu, bagaimana nasib koalisi merah putih pasca Jokowi-JK dilantik tanggal 20 Oktober 2014? Ini yang terus bergulir, di satu sisi KMP akan menjadi penyeimbang atau katakanlah oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Sebaliknya kubu Jokowi-JK mencoba merayu partai-partai KMP untuk bergabung dalam pemerintahan. Menurut penulis, ada beberapa kemungkinan yang akan diambil oleh KMP. Pertama, koalisi KMP akan permanen, bahkan sampai ke daerah dalam rangka memenangkan pemilihan kepala daerah. Hal tersebut terlihat dari pendapat pimpinan KMP yang tetap mengikrarkan janji setia. Jika KMP konsisten maka sejarah baru dalam perpolitikan Indonesia. Tantangan KMP akan datang apabila dalam Munas atau Muktamar yang digelar partai politik terpilih kubu yang pro kepada pemerintahan Jokowi-JK sehingga peta politik akan berubah. PPP dan Golkar merupakan dua partai dalam KMP kemungkinan akan bergolak pascapergantian posisi ketua umum mereka. Jika berkaca kepada pemilu dan pilpres 2004 dan 2009 presiden terpilih berhasil membangun koalisi gemuk di parlemen. Sehingga dua periode pemerintahan SBY tidak mendapatkan halangan yang berarti. Langkah akomodatif ini juga nampaknya akan dilakukan oleh Jokowi-JK karena mereka butuh DPR untuk mengamankan kebijakan selama lima tahun. Hal tersebut seringkali diungkapkan Jokowi yang menyebutkan bahwa ada satu atau dua partai politik dari KMP yang siap bergabung dengan pemerintahannya kelak. Di sini JK sangat mungkin mengambil alih kembali Partai Golkar untuk bergabung di pemerintahan, sebagaimana yang Ialakukan tahun 2009 lalu. Artinya JK sudah memiliki pengalaman “menaklukan” hati para peserta Munas Golkar. Namun tentu dengan cara yang berbeda, Ketua PMI tersebut kemungkinan tidak akan langsung mengambil alih kursi ketua umum Golkar tetapi dengan cara menempatkan orang-orang dekatnya. Jika berkaca pada Munas Golkar tahun 2015 nanti, dipastikan Golkar akan berada dibarisan oposisi pemerintah, karena ketua umum Aburizal Bakrie masih berada di KMP. Kedua, jika Jokowi-JK tidak mampu merangkul kekuatan besar di parlemen maka yang terjadi adalah persiteruan antara presiden dan DPR. Dengan mayoritas suara yanga ada di parlemen maka KMP bisa menganggu upaya pemerintahan Jokowi-JK melaksanakan tugas dan fungsinya. Kasus serupa pernah terjadi saat Gus Dur menjadi presiden. Kekuatan parlemen yang mayoritas mampu menjatuhkan Gus Dur dari kursinya. Dengan demikian membangun koalisi dengan banyak partai di parlemen sangat diperlukan untuk melanggengkan program-program pemerintah. Upaya tersebut masih bisa terwujud tergantung kepada pergantian kepemimpinan partai-partai dalam KMP. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar