Diplomasi
Energi yang Terabaikan
Djoko Susilo ;
Mantan
Dubes RI di Swiss
|
JAWA
POS, 18 September 2014
DALAM
beberapa waktu belakangan ini, sejumlah pakar energi, politikus, aktivis, dan
bahkan presiden terpilih Joko Widodo maupun wakilnya Jusuf Kalla banyak
membicarakan kemungkinan terjadinya krisis energi nasional. Hal itu tentu
terkait dengan kejadian banyaknya antrean di sejumlah SPBU lantaran Pertamina
mengurangi jatah BBM bersubsidi. Diskusi pun muncul di mana-mana soal
perlunya mengurangi subsidi BBM yang makin menjadi beban keuangan negara.
Saya
minggu lalu menghadiri tidak kurang dari tiga seminar tentang energi. Selain
menghadiri sejumlah acara diskusi tentang energi, saya secara intensif
membaca serta mengikuti berita di berbagai media tentang masalah energi
nasional. Kesimpulannya sama, Indonesia akan menghadapi krisis energi besar
dalam waktu yang tidak lama jika pemerintah tidak melakukan sesuatu.
Bayangkan,
ketika produksi minyak nasional makin turun dari tahun ke tahun, jumlah
kendaraan malah semakin banyak. Sekitar satu juta mobil dan lebih dari 8 juta
motor setiap tahun membanjiri jalanan di berbagai wilayah Indonesia. Jelas,
kondisi tersebut mengakibatkan konsumsi BBM semakin membengkak.
Namun,
dari berbagai diskusi yang saya hadiri dan berbagai laporan media yang saya
baca, hampir tidak ada satu pun pembicara yang menyampaikan pentingnya
masalah diplomasi bagi ketahanan energi nasional. Bahkan, kosakata ’’diplomasi
energi’’ nyaris tidak pernah terdengar manakala kita membicarakan persoalan
energi. Tampaknya, ketahanan energi nasional hanya disederhanakan dengan
masalah produksi dan konsumsi. Aspek diplomasi jelas sangat diabaikan. Karena
itu, jangan heran jika mayoritas korps diplomatik Indonesia tidak paham
dengan persoalan energi.
Tidak
perlu jauh-jauh kita membandingkannya dengan kebijaksanaan energi AS atau
negara-negara Eropa yang selalu mengaitkan kebijaksanaan ekonomi luar negeri
mereka dengan diplomasi energi. Malaysia, negeri tetangga terdekat kita,
sudah lama dikenal sangat agresif mendorong diplomasi energi dengan
mengerahkan Petronas dengan mengakuisisi atau aktif mencari ladang minyak di
Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, dan bahkan di Indonesia. Kita semua juga
tahu, AS tidak segan-segan berperang dengan mengerahkan kekuatan militernya
yang luar biasa untuk mengamankan suplai energi nasional mereka.
Pemerintah
AS di Washington DC menaruh prioritas utama soal keamanan energi nasional
dengan membentuk Strategic National Reserve di Texas dan beberapa wilayah
negara bagian lainnya. Tiongkok juga dikenal sangat aktif melakukan diplomasi
energi. Petro-China, Sinopec, maupun perusahaan energi yang lain sangat aktif
di Afrika, Amerika Latin, Asia Tengah, dan kawasan Timur Tengah serta Asia
Tenggara. Mereka bekerja sama secara erat dengan para diplomatnya yang
tersebar di berbagai penjuru dunia.
Bagaimana
dengan kita? Selama menjabat duta besar di Swiss dan sebelumnya menjadi
anggota komisi luar negeri DPR selama 10 tahun, saya tidak pernah mendengar
adanya kegiatan diplomasi energi oleh jajaran Kemenlu. Satu-satunya seminar
tentang energi yang pernah dilakukan Kemenlu adalah seminar pada 2006 di
Denpasar, Bali, yang hasilnya pun tidak begitu jelas.
Yang
pasti, setiap duta besar Indonesia yang akan berangkat ke negara akreditasi
harus mengikuti pembekalan selama hampir 10 hari. Tapi, tidak ada satu pun
materi tentang ’’diplomasi energi’’. Itu menunjukkan bahwa pimpinan Kemenlu
tidak peduli dengan energi karena tidak membekali para Dubes yang menjadi
ujung tombak diplomasi Indonesia di luar negeri ini dengan pengetahuan
diplomasi energi untuk ikut mengamankan ketahanan energi nasional.
Jadi,
jika di tingkat duta besar tidak diajarkan cara melakukan diplomasi energi,
tidak mengherankan jika para diplomat junior maupun senior pun tidak
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang energi. Mereka hanya diajari soal
protokoler atau kekonsuleran. Dalam banyak hal, diplomasi RI sudah direduksi
menjadi kegiatan protokoler saja: cocktail party, dinner, mengirim nota
diplomatik, memberikan layanan kekonsuleran, dan yang paling banyak
memberikan layanan protokoler untuk para pejabat. Karena itu, bisa dimaklumi,
ketika saya menolak memberikan layanan protokoler kepada sejumlah anggota DPR
yang melakukan ’’kunjungan kerja’’ dengan agenda yang tidak jelas, saya
sering dimarahi para pejabat tersebut.
Kesadaran
bahwa energi adalah nyawa dan urat nadi dalam perekonomian modern belum
menyentuh dan menjadi pikiran para petinggi Kemenlu. Kondisi makin parah
selama lima tahun terakhir. Yakni, hampir tidak ada gebrakan berarti dalam
kegiatan diplomasi RI. Hal tersebut tentu sangat disayangkan. Banyak momentum
yang hilang, khususnya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak banyak
yang menyadari bahwa peran Kemenlu sebenarnya sangat krusial dan vital dalam
mendukung serta mengamankan kebijaksanaan energi nasional.
Kurangnya
perhatian Kemenlu dalam bidang diplomasi energi bisa dilihat dari kehadiran
perwakilan RI (KBRI/KJRI) yang masih sangat minim di kawasan penghasil minyak
non tradisional. Misalnya, kita tidak memiliki KBRI di Gabon, Angola, Guinea
Equatorial, Kongo, dan beberapa kawasan Afrika lain yang tumbuh pesat seperti
Uganda, Rwanda, serta Ghana.
Meski
Indonesia pada masa Presiden Soekarno pernah menjadi ’’champion’’ untuk
bangsa-bangsa Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika pada 1955, diplomasi kita
saat ini sama sekali sangat mengabaikan Benua Hitam yang kaya energi
tersebut. Tidak mengherankan bahwa kita dewasa ini tidak akrab dengan kawasan
Afrika. Justru Malaysia dan Singapura yang sangat aktif masuk Afrika.
Maskapai Singapore Airlines dan Malaysian Airlines bahkan mempunyai rute
penerbangan ke Afrika Selatan.
Kawasan
kaya energi lain yang kita abaikan adalah Asia Tengah. Di daerah bekas
wilayah Uni Soviet itu, Indonesia baru membuka tiga KBRI, yakni di Astana,
Kazakhstan; Baku di Azerbaijan; dan Tashkent di Uzbekistan. Negeri jiran
Malaysia malah sudah membuka kedubes di Turkmenistan dan beberapa negara lain
yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi.
Untungnya,
pimpinan Kemenlu sebelumnya merintis pembukaan KBRI di sejumlah negara
penghasil energi minyak seperti Ekuador, Peru, dan makin meningkatkan
hubungan dengan Venezuela serta negara-negara penghasil minyak besar di Timur
Tengah.
Sudah
waktunya diplomasi energi masuk menjadi kurikulum yang diajarkan di Sekolah
Staf Dinas Luar negeri (Sekdilu) yang menggodok para calon diplomat RI yang
bakal ditempatkan di berbagai penjuru dunia. Pada jenjang pendidikan lanjutan
seperti Sesparlu dan workshop untuk
para calon kepala perwakilan RI, baik para Dubes maupun konsul jenderal,
sudah semestinya masalah diplomasi energi menjadi topik bahasan yang penting.
Namun, sangat sulit diharapkan hal itu akan menjadi realitas jika menteri
luar negeri yang baru bukan orang yang mempunyai sense of crisis dan mampu
berpikir out of the box.
Diplomat
RI pada masa mendatang mendapat beban yang lebih berat. Selain dituntut
menjadi ’’salesman’’ bagi Indonesia, sebagaimana keinginan presiden terpilih
Joko Widodo, mereka harus berpikir keras untuk ikut membantu negara mencari
solusi menghindari kemungkinan terjadinya krisis energi dalam waktu tidak
lama lagi. Kemenlu tidak boleh lagi mengabaikan arti penting diplomasi energi
bagi kepentingan nasional. Presiden Jokowi harus berani mengganti Menlu dan
jajarannya yang tidak berani blusukan menjual Indonesia dan ikut mengamankan
suplai energi nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar