Selasa, 09 September 2014

Presiden Multikultural

Presiden Multikultural  

Yudi Latif  ;   Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
KOMPAS, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

”TAK perlu takut pada keagungan,” tulis William Shakespeare. ”Sebagian orang terlahir agung, sebagian lain mencapai keagungan, sedangkan sisanya memiliki kepercayaan agung pada mereka.”

Keterpilihan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden adalah kisah teladan tentang orang-orang biasa yang bisa mencapai keagungan lewat pencapaian dan pelayanan sehingga meraih kepercayaan agung dari puluhan juta rakyat negeri ini.

Setiap zaman didefinisikan oleh pahlawan agungnya. Dalam kehidupan republik, pusat keagungan kepahlawanan itu berpendar dari istana kepresidenan. Setidaknya untuk masa lima tahun ke depan, pendefinisi kisah republik ini akan ditentukan oleh perpaduan karakter Jokowi-JK.

Keagungan presiden bersumber dari auranya sebagai satu-satunya pejabat negara yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Berbeda dengan anggota DPR atau DPD yang hanya memerlukan dukungan signifikan dari daerah pemilihan atau provinsi tertentu, seorang presiden memerlukan dukungan berskala nasional. Jika keterpilihan anggota DPR dan DPD bisa saja mengandalkan kekuatan primordial, keterpilihan seorang presiden menuntut aliansi luas lintas batas (kelas dan aliran).

Terpilih karena dukungan lintas batas, seorang presiden merupakan simpul kemajemukan bangsa yang menuntutnya menjadi kekuatan moderasi dari pelbagai tarikan ekstremitas. Terlebih dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia, yang tidak melalui mekanisme perwakilan electoral college, tetapi melalui mekanisme satu orang satu suara. Di sini, keterpilihan seorang presiden berbasis dukungan individu warga negara, yang menuntutnya mempertahankan kesetaraan warga di depan hukum.

Kita patut bergembira menyambut perubahan pilihan isu dalam kampanye kepresidenan kali ini. Serial debat presiden mulai menggeser isu-isu aliran ke tepian, kalah seru dibandingkan dengan perdebatan isu-isu substantif menyangkut pilihan kebijakan ekonomi-politik.

Meski begitu, sisa-sisa infeksi warisan politik identitas masih terlihat kambuhan saat menghadapi godaan manipulasi dukungan dan lemahnya nilai-nilai keadaban kewargaan (civic virtue) dalam dunia politik kita. Dalam kampanye kepresidenan yang lalu, nalar publik terganggu oleh kampanye hitam dan politisasi simbol etnis-keagamaan yang bisa mencederai nilai-nilai kewargaan inklusif. Nada permusuhan atas pengikut golongan lain dilakukan lewat argumentum ad populum, yang mengasosiasikan capres-cawapres dengan keturunan dan keagamaan tertentu.

Untuk memutus rantai hate crime ini, presiden terpilih sebagai penjaga persatuan dan identitas nasional dituntut taat asas dengan konstitusi sebagai titik konsensus. Pemimpin negara harus sadar bahwa demokrasi tidak bisa dipisahkan dari konstitusi, tecermin dalam istilah ”demokrasi konstitusional”. Istilah itu mengandung makna, demokrasi merupakan fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

Pemenuhan tiga pokok

Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya mengamankan serta mencari keseimbangan pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik: masalah legitimasi demokrasi, kesejahteraan, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi demokrasi mengasumsikan bahwa institusi-institusi politik merepresentasikan kepentingan dan aspirasi rakyat secara imparsial. Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil terbuka bagi proses perdebatan publik secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur public deliberation seperti itulah peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat warga.

Pengukuhan atas konsepsi imparsialitas juga menuntut keadilan dalam kesejahteraan. Seperti dikatakan oleh John Raws bahwa sumber persatuan dari negeri multikultural adalah ”konsepsi keadilan bersama”. ”Meskipun masyarakat yang berketertiban baik boleh jadi terbagi dan pluralistik... persetujuan publik atas masalah-masalah keadilan sosial dan politik dapat mendukung persaudaraan kewargaan dan menjamin ikatan-ikatan asosiasi.”

Semua itu merupakan prakondisi terpeliharanya kebajikan ketiga, identitas kolektif sebagai bangsa. Kemunculan Indonesia sebagai civic nationalism, dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektif, mendapat ancaman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang membonceng arus globalisasi dan lokalisasi.

Fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi benar-benar diuji. Betapapun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok, sekali mereka terpilih, anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama. Bilamana perlu, presiden terpilih bisa merangkul unsur-unsur dari pesaing dalam kerangka semangat gotong royong.

Untuk masa yang panjang, politik segregasi telah membuat sejumlah besar rakyat Indonesia terkunci dalam kepompong budayanya masing-masing, tanpa kehendak berbagi. Presiden bisa menjadi katalis untuk menjebol sekat-sekat ini lewat kebijakan dan keteladanannya. Dipilih dengan dukungan rakyat secara multikultural, pasangan presiden-wakil presiden perlu terang kesadarannya bahwa keagungan mereka ditentukan konsistensinya sebagai simpul kemajemukan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar