Politik
Malin Kundang
Sri Palupi ;
Peneliti
Institute Ecosoc
|
KOMPAS,
20 September 2014
KECEWA
atas sikap partainya yang bersikukuh menghapus pemilihan kepala daerah
oleh rakyat, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama memutuskan mundur dari
keanggotaan Partai Gerindra. Tak urung pihak Partai Gerindra menyebut Basuki
Tjahaja Purnama sebagai Malin Kundang.
Padahal, Malin Kundang yang sesungguhnya
adalah koalisi partai yang tengah berkonspirasi membungkam suara rakyat dalam
pemilihan kepala daerah (pilkada). Betapa tidak. Rakyatlah yang mengangkat
mereka sebagai anggota DPR. Suara rakyat yang membuat mereka bisa menikmati
fasilitas dan kemewahan sebagai wakil rakyat. Ironisnya, mereka kini hendak
mencabut hak politik rakyat dalam menentukan kepala daerah.
Bukan hanya dalam kebijakan pilkada para
politisi berlaku bak Malin Kundang. Selama ini mayoritas politisi, pejabat,
dan penguasa di pusat dan daerah menjalankan politik Malin Kundang. Segera
setelah dilantik mereka mengingkari kepentingan rakyat dan bersekutu merampas
hak-hak rakyat.
Mereka
si Malin Kundang
Perilaku Malin Kundang kebanyakan politisi
di lembaga legislatif bisa dinilai dari korupsi dan demoralisasi yang kian
menggejala. Juga tingginya kesenjangan kinerja dan gaji serta fasilitas yang
mereka dapatkan. Keputusan politik mereka cenderung menjauh dari kepentingan
rakyat.
Gaji anggota DPR totalnya mencapai 18 kali
dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Data yang dilansir Independent
Parliamentary Standards Authority (IPSA) dan Dana Moneter Internasional (IMF)
menunjukkan, gaji anggota DPR RI berada di peringkat keempat terbesar di
dunia setelah Nigeria (116 kali pendapatan per kapita penduduknya), Kenya (76
kali pendapatan per kapita penduduk), dan Ghana (30 kali). Menurut IPSA dan
IMF, seorang anggota DPR RI dalam setahun bisa mendapatkan 65.000 dollar AS
atau sekitar Rp 780 juta di luar gaji ke-13, dana reses atau dana aspirasi
daerah pemilihan, serta insentif setiap ikut membahas rancangan
undang-undang. Jika ditotal dalam satu tahun, pendapatan anggota DPR bisa
lebih dari Rp 1 miliar. Belum lagi jaminan privilese hukum dan privasi
sebagai anggota Dewan.
Gaji besar dan banyaknya fasilitas yang
diterima anggota DPR tak sebanding dengan kinerja mereka. Hasil penelitian
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia tahun 2014 menunjukkan, 435 (83,3
persen) anggota Dewan berkinerja buruk. Ini terlihat dari beberapa indikasi,
di antaranya 90 persen target legislasi meleset, banyaknya produk
undang-undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, banyaknya anggota Dewan
yang terlibat korupsi, serta kapasitas dan tingkat kehadiran yang rendah.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat, 69,7 persen anggota
Dewan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan kinerja serendah itu, tidak heran
kalau di mata rakyat citra anggota DPR terus merosot. Indonesia Network
Election Survey (INES) dalam surveinya pada 2013 mencatat, masyarakat menilai
89,3 persen anggota DPR tukang bohong dan tidak jujur, 87,3 persen
berperilaku korup, dan 78,6 persen malas mengikuti sidang. Belum lagi banyak
anggota DPR yang tertangkap kamera tengah tertidur pulas di saat sidang dan
ditemukannya kondom yang berserakan di area Gedung DPR.
Fasilitas yang diterima anggota Dewan kian
meningkat, tetapi kinerja justru merosot. Pada periode 1999-2004 tak banyak
anggota DPR yang memiliki staf ahli dan asisten. Sekarang, setiap anggota
Dewan didampingi dua staf ahli dan seorang asisten. Namun, kinerja DPR jauh
di bawah target. Pembahasan RUU Perlindungan TKI, misalnya, sudah berlangsung
tiga tahun, tetapi belum juga selesai.
Menghukum
rakyat
Mayoritas fraksi di DPR yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih hendak mengembalikan pilkada ke DPRD. Alasannya,
pilkada langsung biayanya mahal, memicu konflik horizontal, politik uang, dan
sebagainya. Apabila dikaji lebih lanjut, sikap menolak pilkada langsung
dengan berbagai alasan justru membongkar borok partai. Sikap itu kian
mempertegas politik Malin Kundang yang dimainkan partai dan kadernya.
Mengapa?
Pertama, mengembalikan pilkada pada DPRD
merupakan pengkhianatan terhadap reformasi. Salah satu inti semangat
reformasi adalah mendorong demokratisasi secara substansial diikuti dengan
perbaikan prosedurnya. Semangat ini melahirkan pemilihan presiden langsung
yang memperkuat sistem presidensial dan mengembalikan kedaulatan rakyat
dengan memperluas partisipasi politik rakyat. Semangat itu pula yang
melahirkan otonomi daerah dan pilkada langsung.
Kedua, mengembalikan pilkada pada DPRD
dengan alasan biaya tinggi, politik uang, dan konflik horizontal merupakan
pengakuan partai akan borok mereka. Dengan mengajukan alasan ”biaya tinggi”,
mereka mencampuradukkan antara biaya penyelenggaraan pilkada dan biaya yang
dikeluarkan politisi yang berkompetisi dalam pilkada. Biaya penyelenggaraan
pilkada bisa diminimalkan dengan regulasi dan sistem yang lebih baik. Sistem
pilkada serentak menjadi salah satu solusi. Sementara klaim ”biaya tinggi”
merupakan pengakuan akan biaya ekstra yang dikeluarkan calon kepala daerah
dalam pilkada. Biaya ekstra yang tinggi ini terjadi karena politik uang.
Lemahnya kerja politik parpol di tengah
masyarakat membuat mereka menempuh jalan pintas dengan menyuap rakyat. Selain
itu, partai cenderung mewajibkan calon kepala daerah untuk membayar ”upeti”
jika menggunakan parpol sebagai kendaraan politik. Akibatnya, korupsi dan
bagi-bagi proyek dilakukan kepala daerah terpilih untuk membayar utang.
Padahal, tidak sedikit kepala daerah yang berasal dari rakyat mampu meraih
suara tanpa harus menyuap rakyat.
Persoalan muncul ketika calon kepala daerah
gagal meraih suara. Mereka kemudian membuat siasat dan mengadu domba rakyat.
Itulah mengapa konflik yang muncul selama pilkada cenderung elitis dan bukan
konfliknya rakyat.
Mengembalikan pilkada kepada DPRD tidak
menjamin biaya politik berkurang. Yang terjadi, politik uang justru lebih
mudah dilakukan kepada DPRD dibandingkan dengan kepada rakyat. Bahkan biaya
politik pilkada oleh DPRD bisa lebih besar ketika kepala daerah sibuk
mengurus DPRD yang memilihnya, aktivitas kepala daerah direcoki DPRD karena
tidak sesuai dengan kepentingan DPRD.
Ketiga, usulan mengembalikan pilkada kepada
DPRD sarat kepentingan. Dengan itu, akan sangat mudah bagi partai koalisi
meraih posisi kepala daerah. Hal itu karena partai yang tergabung dalam
Koalisi Merah Putih menguasai mayoritas DPRD di seluruh Indonesia.
Keempat, mengembalikan pilkada kepada DPRD
merupakan hukuman terhadap rakyat. Yang korupsi dan menghamburkan anggaran
adalah DPR dan penguasa, yang melakukan politik uang partai dan politisinya,
dan yang memicu konflik para elite, tetapi kenapa rakyat yang dihukum dan
dicabut hak politiknya?
Sulit dimungkiri, keputusan Koalisi Merah
Putih untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD tak terlepas dari pertarungan
dalam pilpres. Mereka menyadari telah dikalahkan oleh rakyat dan kini mereka
hendak menghukum rakyat dengan mencabut kedaulatannya. Dengan itu, rakyat
sebagai ibu tak kuasa lagi mengutuk Malin Kundang menjadi batu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar