Pertahankan
Pilkada Langsung
Joko Riyanto ; Alumnus
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 08 September 2014
Pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak Juni 2005 ada
kemungkinan akan berganti ke mekanisme perwakilan melalui DPRD. Mayoritas
anggota DPR, yang awalnya setuju pilkada langsung, kini berubah sikap. Fraksi
Golkar, PPP, PAN, Gerindra, dan Demokrat (65 persen suara di DPR) mendukung
pilkada melalui DPRD atau pilkada tidak langsung yang dituangkan dalam RUU
Pilkada dan segera disahkan pada 11 September 2014.
Mereka
beralasan bahwa pilkada langsung berbiaya politik mahal, membudayakan politik
uang, menimbulkan konflik horizontal dan memakan korban, serta tidak
menciptakan pemerintahan yang bersih, bahkan banyak kepada daerah terjerat
kasus korupsi. Namun, haruskah argumentasi itu lantas menjadi dasar kuat
untuk menyerahkan pilkada lewat DPRD?
Menurut
saya, pilkada melalui DPRD mengingkari semangat dan jiwa demokratisasi di
Indonesia. Sebuah langkah mundur jika DPR menarik kembali hak rakyat memilih
pemimpin daerah. Secara hukum, mekanisme pilkada lewat DPRD bertentangan
dengan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, di mana gubernur, bupati, dan wali kota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis. Aturan tersebut memberikan hak memilih secara
langsung kepada rakyat sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi di
Indonesia.
Makna
frasa "dipilih secara demokratis" haruslah dimaknai dipilih
langsung dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang merupakan
implementasi menempatkan kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
berdasarkan UUD. Bagaimanapun, mekanisme pilkada melalui DPRD akan
menyingkirkan kedaulatan rakyat dalam menentukan dan memilih pemimpin daerah.
Bisa dipastikan bahwa pemilihan dengan sistem perwakilan sering kali
mengingkari pemikiran, kedaulatan rakyat, dan proses demokrasi. Upaya
menjadikan pilkada melalui DPRD potensial merusak sistem demokrasi dan
perjuangan reformasi hanya dengan pertimbangan pragmatis dalam penyusunan UU
Pilkada.
Argumentasi
pilkada langsung berbiaya mahal dan rawan politik uang kurang tepat. Justru
kalau pilkada dikembalikan ke DPRD, peluang transaksi politik uangnya semakin
besar. Mahar politik kepada parpol untuk menjadi kandidat juga makin mahal.
Begitu pula DPRD yang diberi wewenang memilih bupati dan wali kota, tentu
akan mematok harga. Dikhawatirkan, bukan pemimpin daerah berkualitas yang
terpilih, melainkan "raja-raja" kecil yang mengeruk kekayaan daerah
untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pilkada oleh DPRD akan menutup ruang
partisipasi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik
di daerah.
Bagaimanapun,
pilkada langsung masih lebih baik dan layak dipertahankan! Pilkada langsung
memberikan pendidikan politik. Esensi demokrasi yang terkait dengan
partisipasi, kebebasan, keadilan, dan kesetaraan lebih terjamin. Serta proses
ketatanegaraan dan suksesi kepemimpinan lokal berjalan dalam kaidah yang
benar. Pilkada langsung dapat menghasilkan pemimpin yang berlegitimasi,
berkualitas, berintegritas, partisipatif, dan memungkinkan fungsi checks and balances berlangsung. Maka,
DPR, berpihaklah kepada suara rakyat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar