Senin, 08 September 2014

Media sosial dan Kebudayaan Kita

Media sosial dan Kebudayaan Kita

Denni HR Pinontoan  ;   Dosen Fakultas Teologi UKIT, Tomohon,
Aktivis di Mawale Cultural Center
SATU HARAPAN, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Seorang mahasiswi S2 di UGM, Yogyakarta, Florence Sihombing kena demo dan ancaman diusir dari kota itu. Ini gara-gara ia menulis status di situs jejaring sosial, Path, yang oleh sekelompok orang (di) Yogyakarta dan pengguna media sosial lainnya menganggap apa yang dia tulis itu adalah hinaan bagi Yogyakarta.

Si mahasiswi itu tidak menyebut nama orang, lalu mengapa ia kena marah?  Ia tidak merusak sesuatu, misalnya tembok kelas kuliahnya atau andong di Malioboro, namun kenapa orang-orang memarahi dia?

Tapi ia menyebut nama Yogyakarta. Nah, di sini ternyata soalnya. Ternyata, nama Yogyakarta  adalah ‘sakral’.  Bagi banyak orang yang (pernah) akrab dengan Yogyakarta, menyebut nama itu sama dengan mengingatkan sebuah kenangan, mengingatkan makna ruang hidup, dan bahkan menyinggung kewibawaan diri. Yogyakarta, bagi banyak orang adalah sesuatu yang melampaui sekadar daerah tujuan wisata atau tempat belajar. Nama itu bukan artefak. Nama itu adalah identitas. Dengan begitu, ketika nama itu “dihina”, orang-orang akan  bereaksi. Padahal, entah apanya dari nama itu yang dihina. Kita mendapati hal yang hampir sama pada kasus reaksi orang-orang ketika salah unsur dalam agamanya, meski itu hanya berbentuk simbol, dihina.

Lebih dari Sekadar Cara Berkomunikasi

Media sosial adalah “ruang publik” di dunia maya bagi orang-orang untuk saling berinteraksi. Orang-orang menjalin persahabatan, saling berbagi informasi, ide dan gagasan terkini  dengan media sosial. Media sosial, akhirnya juga jadi media protes, media saling hina, dan media untuk menyebarkan kebencian. Kemarahan dibalas kemarahan, terjadi di media sosial. Semua itu terjadi ketika orang-orang justru diisolir oleh media sosial itu sendiri ke sebuah dunia ‘keramaian semu’, yang sama dengan ‘kesendirian sesungguhnya.’ Sementara dunia nyata semakin kering dengan objektifitas dan kebijaksanaan, yang perlahan diganti dengan subjektifitas dan sikap ‘cepat marah.”

Situs jejaring sosial, macam Facebook, Twitter, Path telah mengubah cara orang-orang berkomunikasi. Ini soal bagaimana seorang memberadakan diri dan bagaimana ia menanggapi keberadaan orang lain, lingkungan serta dinamikanya. Ketika ’kemarahan’ dan ‘kebencian’ telah berbentuk semacam “deklarasi” di ruang publik, maka dengan segera dapat menyulut kemarahan dan kebencian lagi pada banyak orang.

Tapi, mengapa kasus si mahasiswi itu berbeda dengan perang status waktu Pilpres lalu? Waktu itu, tidak ada pengguna situs jejaring sosial yang didemo atau kena ancam diusir, padahal hinaan dan makian yang jelas-jelas diarahkan kepada orang-orang tertentu berseliweran tak karuan. Justru yang terjadi saling balas komentar, saling hina dan paling sial, pertemanan diputuskan.

Sebenarnya, media sosial punya mekanismenya untuk hal itu. Yaitu, biarlah urusan di dunia maya selesaikan di dunia maya. Pelajaran dari perang status dan komentar waktu kampanye Pilpres lalu, orang-orang akhirnya bosan dengan sendirinya. Media sosial bikin orang kelelahan sendiri. Tidak ada yang dihukum, tidak ada yang kena kekerasan.

Saya kira ini terkait bagaimana cara pandang orang terhadap sesuatu yang dirasa memiliki ikatan, baik secara historis, sosio-kultural, politis-ideologis maupus psikologis. Mengikatkan diri secara kuat terhadap sesuatu bahkan dapat berujung pada ‘klaim’ kepemilikan yang kemudian berkembang memunculkan semacam tanggung jawab penuh untuk menjaganya agar tetap ‘baik’,  dan ‘suci’ adanya. Jadi menyingung sesuatu yang disakralkan itu, yang kadang entah apa itu, sama dengan menyinggung kewibawaan dan kenyaman diri, seolah-olah kehidupan sedang direngut.

Di tambah pula, ketika apa yang dianggap menghina, mengejek dan merendahkan itu semakin mudah menyebar, maka sesuatu yang mungkin saja dulu (sebelum era digital) sebagai hal biasa, di era ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Ia bahkan dengan segera bisa menyulut ‘kemarahan’ besar sebagai balasan.

Ini Persoalan Kebudayaan juga

Jadinya, gejala ini sesungguhnya lebih dari sekadar cara atau teknik orang-orang berkomunikasi di era digital ini. Ia terutama tidak dibentuk oleh perangkat-perangkat digital yang belum lama menjadi bagian dari masyarakat kita, semacam situs jejaring sosial. Ia dibentuk oleh situasi sosial dan politik serta kondisi ekonomi masyarakat yang rentan. Situasi ini membuat masyarakat kita lebih menyukai “pembedaan” ketimbang merayakan “perbedaan” secara bijaksana. Perbedaan agama, suku, ras dan termasuk pemikiran sepertinya lebih mudah diselesaikan secara emosional dan pada banyak kasus bahkan berujung kekerasan, ketimbang dengan penalaran dan hati yang jernih.

Mengapa? Ini rupanya karena identitas kultural sedang dihayati secara ideologis: menjadi simbol pembeda dengan orang lain. Sementara cara kerja situs jejaring sosial sangatlah ‘datar dan kering emosi’. Ia tidak akan pernah mau tahu bagaimana kondisi psikologis manusia-manusia yang menggunakannya dan kondisi sosio-kultural masyarakat atau subjek yang diperbincangkan di dalamnya.

Situs jejaring sosial bekerja dengan kode-kode digital yang matematis, sementara manusia adalah makhluk simbolik yang selalu melibatkan emosi/perasaan dalam memproduksi maupun menanggapi simbol-simbol yang hadir di hadapannya. Konteks di mana seseorang hidup sangat memengaruhi dalam dia memahami, memaknai serta merespon kode-kode digital yang tidak pernah utuh menyampaikan pesan itu. Kepingan-kepingan realitas yang disampaikan melalui situs jejaring sosial berhadapan dengan kerentanan psikologis masyarakat, dengan mudah dapat membuahkan kebencian dan kemarahan bahkan kekerasan (fisik dan verbal).

Maka, ini sesungguhnya adalah persoalan kebudayaan di era digital ini. Yaitu bagaimana strategi kultural kita untuk mensiasati zaman. Caranya adalah mentransformasi emosi personal yang subjektif menjadi kesadaran kultural yang lebih terbuka, dan mampu menggunakan kode-kode digital media sosial yang matematis untuk pesan-pesan kemanusiaan bagi keadilan dan perdamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar