Media
sosial dan Kebudayaan Kita
Denni HR Pinontoan ; Dosen
Fakultas Teologi UKIT, Tomohon,
Aktivis di Mawale Cultural Center
|
SATU
HARAPAN, 08 September 2014
Seorang
mahasiswi S2 di UGM, Yogyakarta, Florence Sihombing kena demo dan ancaman
diusir dari kota itu. Ini gara-gara ia menulis status di situs jejaring
sosial, Path, yang oleh sekelompok orang (di) Yogyakarta dan pengguna media
sosial lainnya menganggap apa yang dia tulis itu adalah hinaan bagi
Yogyakarta.
Si
mahasiswi itu tidak menyebut nama orang, lalu mengapa ia kena marah? Ia tidak merusak sesuatu, misalnya tembok
kelas kuliahnya atau andong di Malioboro, namun kenapa orang-orang memarahi
dia?
Tapi
ia menyebut nama Yogyakarta. Nah, di sini ternyata soalnya. Ternyata, nama
Yogyakarta adalah ‘sakral’. Bagi banyak orang yang (pernah) akrab
dengan Yogyakarta, menyebut nama itu sama dengan mengingatkan sebuah
kenangan, mengingatkan makna ruang hidup, dan bahkan menyinggung kewibawaan
diri. Yogyakarta, bagi banyak orang adalah sesuatu yang melampaui sekadar
daerah tujuan wisata atau tempat belajar. Nama itu bukan artefak. Nama itu
adalah identitas. Dengan begitu, ketika nama itu “dihina”, orang-orang akan bereaksi. Padahal, entah apanya dari nama
itu yang dihina. Kita mendapati hal yang hampir sama pada kasus reaksi
orang-orang ketika salah unsur dalam agamanya, meski itu hanya berbentuk
simbol, dihina.
Lebih dari Sekadar
Cara Berkomunikasi
Media
sosial adalah “ruang publik” di dunia maya bagi orang-orang untuk saling
berinteraksi. Orang-orang menjalin persahabatan, saling berbagi informasi,
ide dan gagasan terkini dengan media
sosial. Media sosial, akhirnya juga jadi media protes, media saling hina, dan
media untuk menyebarkan kebencian. Kemarahan dibalas kemarahan, terjadi di
media sosial. Semua itu terjadi ketika orang-orang justru diisolir oleh media
sosial itu sendiri ke sebuah dunia ‘keramaian semu’, yang sama dengan
‘kesendirian sesungguhnya.’ Sementara dunia nyata semakin kering dengan
objektifitas dan kebijaksanaan, yang perlahan diganti dengan subjektifitas
dan sikap ‘cepat marah.”
Situs
jejaring sosial, macam Facebook, Twitter, Path telah mengubah cara
orang-orang berkomunikasi. Ini soal bagaimana seorang memberadakan diri dan
bagaimana ia menanggapi keberadaan orang lain, lingkungan serta dinamikanya.
Ketika ’kemarahan’ dan ‘kebencian’ telah berbentuk semacam “deklarasi” di
ruang publik, maka dengan segera dapat menyulut kemarahan dan kebencian lagi
pada banyak orang.
Tapi,
mengapa kasus si mahasiswi itu berbeda dengan perang status waktu Pilpres
lalu? Waktu itu, tidak ada pengguna situs jejaring sosial yang didemo atau
kena ancam diusir, padahal hinaan dan makian yang jelas-jelas diarahkan
kepada orang-orang tertentu berseliweran tak karuan. Justru yang terjadi
saling balas komentar, saling hina dan paling sial, pertemanan diputuskan.
Sebenarnya,
media sosial punya mekanismenya untuk hal itu. Yaitu, biarlah urusan di dunia
maya selesaikan di dunia maya. Pelajaran dari perang status dan komentar
waktu kampanye Pilpres lalu, orang-orang akhirnya bosan dengan sendirinya.
Media sosial bikin orang kelelahan sendiri. Tidak ada yang dihukum, tidak ada
yang kena kekerasan.
Saya
kira ini terkait bagaimana cara pandang orang terhadap sesuatu yang dirasa
memiliki ikatan, baik secara historis, sosio-kultural, politis-ideologis
maupus psikologis. Mengikatkan diri secara kuat terhadap sesuatu bahkan dapat
berujung pada ‘klaim’ kepemilikan yang kemudian berkembang memunculkan
semacam tanggung jawab penuh untuk menjaganya agar tetap ‘baik’, dan ‘suci’ adanya. Jadi menyingung sesuatu
yang disakralkan itu, yang kadang entah apa itu, sama dengan menyinggung
kewibawaan dan kenyaman diri, seolah-olah kehidupan sedang direngut.
Di
tambah pula, ketika apa yang dianggap menghina, mengejek dan merendahkan itu
semakin mudah menyebar, maka sesuatu yang mungkin saja dulu (sebelum era
digital) sebagai hal biasa, di era ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Ia
bahkan dengan segera bisa menyulut ‘kemarahan’ besar sebagai balasan.
Ini Persoalan
Kebudayaan juga
Jadinya,
gejala ini sesungguhnya lebih dari sekadar cara atau teknik orang-orang
berkomunikasi di era digital ini. Ia terutama tidak dibentuk oleh
perangkat-perangkat digital yang belum lama menjadi bagian dari masyarakat
kita, semacam situs jejaring sosial. Ia dibentuk oleh situasi sosial dan
politik serta kondisi ekonomi masyarakat yang rentan. Situasi ini membuat
masyarakat kita lebih menyukai “pembedaan” ketimbang merayakan “perbedaan”
secara bijaksana. Perbedaan agama, suku, ras dan termasuk pemikiran
sepertinya lebih mudah diselesaikan secara emosional dan pada banyak kasus
bahkan berujung kekerasan, ketimbang dengan penalaran dan hati yang jernih.
Mengapa?
Ini rupanya karena identitas kultural sedang dihayati secara ideologis:
menjadi simbol pembeda dengan orang lain. Sementara cara kerja situs jejaring
sosial sangatlah ‘datar dan kering emosi’. Ia tidak akan pernah mau tahu
bagaimana kondisi psikologis manusia-manusia yang menggunakannya dan kondisi
sosio-kultural masyarakat atau subjek yang diperbincangkan di dalamnya.
Situs
jejaring sosial bekerja dengan kode-kode digital yang matematis, sementara
manusia adalah makhluk simbolik yang selalu melibatkan emosi/perasaan dalam
memproduksi maupun menanggapi simbol-simbol yang hadir di hadapannya. Konteks
di mana seseorang hidup sangat memengaruhi dalam dia memahami, memaknai serta
merespon kode-kode digital yang tidak pernah utuh menyampaikan pesan itu.
Kepingan-kepingan realitas yang disampaikan melalui situs jejaring sosial
berhadapan dengan kerentanan psikologis masyarakat, dengan mudah dapat
membuahkan kebencian dan kemarahan bahkan kekerasan (fisik dan verbal).
Maka,
ini sesungguhnya adalah persoalan kebudayaan di era digital ini. Yaitu
bagaimana strategi kultural kita untuk mensiasati zaman. Caranya adalah
mentransformasi emosi personal yang subjektif menjadi kesadaran kultural yang
lebih terbuka, dan mampu menggunakan kode-kode digital media sosial yang
matematis untuk pesan-pesan kemanusiaan bagi keadilan dan perdamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar