Cela
di Penghujung Jabatan
Reza Syawawi ; Researcher
for Law and Policies
Transparency International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 08 September 2014
Pembebasan
bersyarat terhadap terpidana korupsi Siti Hartati Murdaya oleh pemerintah
(Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) di bawah kendali Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono setidaknya menjadi salah satu penanda bahwa rezim ini tak
berujung happy end. Tidak lama
berselang, Komisi Pemberantasan Korupsi
menetapkan status tersangka korupsi atas Jero Wacik, Menteri ESDM (3
September).
Rangkaian
peristiwa ini tentu saja menambah noda dalam catatan pemberantasan korupsi
yang dilakukan SBY selama menduduki jabatan presiden dalam 10 tahun terakhir.
Tidak hanya dalam posisinya sebagai presiden, SBY dalam kapasitasnya sebagai
petinggi Partai Demokrat juga mengalami pembusukan di internal partainya.
Sebut saja kasus korupsi yang kini membelit bekas Ketua Umum Partai Demokrat
(PD) Anas Urbaningrum.
Dalam
konteks pembebasan bersyarat, SBY seperti mengalami kegamangan. Di satu sisi
ia ingin mengakhiri pemerintahannya dengan meninggalkan kebijakan yang baik,
namun faktanya ia justru memberikan privilege
kepada koruptor. Tak pelak, ini menjadi sangat bertentangan dengan kebijakan
yang berupaya memperketat pemberian keringanan terhadap pelaku korupsi,
termasuk dalam hal pembebasan bersyarat.
Pemberian
pembebasan bersyarat kepada Siti Hartati Murdaya (SHM) dapat dilihat dalam
dua hal, dari sisi hukum dan relasi politik. Dari sisi hukum, pembebasan
bersyarat yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memang
memberikan hak tersebut kepada narapidana. Pemberian keringanan tersebut
haruslah memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan di dalam peraturan
pemerintah.
Dalam
kasus SHM, pemerintah telah melanggar syarat yang diwajibkan dalam peraturan
pemerintah tersebut. Pemberian pembebasan bersyarat tidak memenuhi syarat "bersedia bekerja sama dengan penegak
hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya"
(Pasal 43A ayat 1 huruf a).
Penetapan
seorang narapidana sebagai pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator harus ditetapkan dan dinyatakan secara
tertulis oleh instansi penegak hukum (Pasal 43A ayat 3). Faktanya, KPK
sebagai lembaga yang menangani perkara tersebut tidak pernah menetapkan dan
menyatakan SHM sebagai justice
collaborator.
Hal
ini diperkuat dengan surat KPK tertanggal
12 Agustus 2014 yang ditujukan kepada Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham yang intinya menyebutkan bahwa tim jaksa penuntut umum KPK
yang menangani perkara tidak pernah mengajukan SHM cs sebagai justice collaborator. Namun pemerintah
(Menkumham) justru menafsirkan bahwa syarat pemberian pembebasan bersyarat
bersifat alternatif, sehingga syarat sebagai justice collaborator tidak wajib dipenuhi.
Pernyataan
ini jelas memperlihatkan ketidaktahuan pemerintah terhadap aturan yang ia
buat sendiri. Jika peraturan
pemerintah tersebut dibaca secara jeli, syarat ini bersifat kumulatif dan
bukan alternatif.
Dari sisi legal drafting, frasa yang digunakan dalam Pasal 43A ayat (1)
huruf (a), (b), (c), (d) dihubungkan dengan kata "dan", bukan kata
"atau". Artinya, seluruh syarat yang diatur dalam pasal tersebut
wajib dipenuhi. Maka, berdasarkan ketentuan tersebut, pemberian pembebasan
bersyarat terhadap SHM jelas melanggar peraturan pemerintah.
Perangkat
hukum yang dilanggar ini sebetulnya semakin memperkuat dugaan relasi politik
terkait dengan pembebasan bersyarat terhadap SHM. Jika ditelisik ke belakang,
SHM adalah (bekas) kolega SBY di PD. Kecurigaan dan bacaan bahwa pemberian
keringanan ini sebagai bentuk kompensasi di akhir masa jabatan SBY tidak
dapat dihindarkan.
Maka,
satu-satunya cara untuk menyatakan bahwa pemberian keringanan
bukanlah disebabkan oleh sebuah relasi politik, melainkan murni sebagai
pelaksanaan ketentuan hukum, adalah dengan mencabut pembebasan bersyarat yang
telah diberikan kepada SHM.
Pada
sisi lain, relasi politik SBY dengan kasus
korupsi yang menerpa Jero Wacik juga sangat mudah dibaca. Selain sebagai
kolega di PD, yang bersangkutan juga menduduki jabatan sebagai menteri.
Alhasil, SBY mengalami dua bencana
sekaligus, yaitu terkait di lingkup internal partainya sendiri dan di dalam
pemerintahannya. Pakta Integritas yang digagas dan ditandatangani baik di
lingkup internal PD maupun yang juga dilakukan oleh Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II ternyata tidak mampu menahan arus korupsi.
Pakta Integritas seolah menjadi
dokumen kosong dan hanya menjadi seremoni untuk mencitrakan semangat
anti-korupsi.
Pakta atau kesepakatan yang digagas ternyata minus niat baik untuk menjaga
dan menegakkan integritas.
Dengan
semua kasus ini, SBY seperti sedang menciptakan
cela di pengujung masa jabatannya. Pilihan untuk diingat sebagai presiden
yang anti-korupsi atau presiden yang "ramah" terhadap korupsi
sepenuhnya ada di tangan SBY. Publik tentu akan sangat menunggu pilihan mana
yang akan diambil oleh SBY, menciptakan akhir yang baik atau justru akhir
yang buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar