Perihal
Pemilihan Komisioner KPK
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar
Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta,
Ketua Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 September 2014
DI tengah
pemberantasan korupsi yang memang terus harus dihela, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang menjadi garda ter depannya saat ini kembali harus berganti
komisioner lantaran masa jabatan yang sudah berakhir. Bukan hal yang baru,
tentu nya, mengingat perihal pengisian komisioner KPK sudah berkali-kali
dilakukan. Kita sudah pernah mengisi secara lima orang komisioner bersamaan,
hanya mencari empat, bahkan juga pernah melakukan seleksi untuk memilih satu
orang saja komisioner.
Sekadar mengingatkan,
pengisian yang tak serempak lima komisioner diakibatkan oleh diberhentikannya
Antasari Azhar di tengah jalan karena tersandung skandal pembunuhan. Sejak
itulah, pergantian dengan sistem tak serempak atau pergantian berjenjang (staggered) terjadi di KPK. Bahkan,
Busyro Muqoddas yang kali ini harus diganti sesungguhnya masuk ke KPK melalui
penggantian berjenjang yang hanya satu orang tersebut. Kala itu, Busyro
Muqoddas terpilih setelah menyisihkan Bambang Widjojanto di fit and proper
test Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, Bambang kemudian masuk jajaran KPK
dalam proses seleksi pergantian empat pimpinan setahun kemudian.
Menariknya, perihal
pergantian pimpinan ini menjadi ramai dengan penolakan seiringan dengan
pergantian Busyro Muqoddas de ngan pembentukan pansel yang dilakukan saat
ini. Setidaknya, ada empat alasan yang mengemuka. Pertama, kemungkinan
politik intervensi yang bisa masuk ke KPK dengan adanya orang baru tersebut,
apalagi di lakukan di tengah kecepatan tinggi KPK mendorong pemberantasan
korupsi. Kedua, alasan yang lebih teknis soal keseriusan DPR dan pemerintah
meng ingat pergantian yang terjadi seiring dengan berakhirnya masa jabatan
pemerintah dan DPR dalam prosesi lima tahunan. Jangan-jangan, proses yang
terjadi akan menjadi prosesi `ala kadarnya' yang akan berpotensi mendatangkan
orang yang juga `ala kadarnya'. Ketiga, pemborosan uang negara karena harus
melakukan dua kali seleksi dalam kurun masa jabatan. Padahal, mencari satu
orang biayanya tidak jauh berbeda dengan men cari empat orang atau lima orang
komisioner. Keempat, lebih baik melakukan langkah praktis semisal
memperpanjang masa jabatan Busyro ataukah sekalian mengosongkan masa jabatan
yang tertinggal setahun untuk kemudian melakukan seleksi secara bersamaan
lima orang tahun depan.
Seleksi atau penunjukan
UU KPK sesungguhnya
memberikan isyarat yang sangat jelas soal pengisian jabatan pim pinan KPK,
yakni wajib untuk `diseleksi'. Pasal 30 UU KPK mengatur bahwa pimpinan KPK
dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh presiden.
Untuk proses usulan dari Presiden ter sebut, pemerintah membentuk panitia
seleksi yang bertugas melakukan seleksi berdasarkan apa yang diatur di dalam
UU KPK. Ketentuan tersebut adalah ketentuan yang mendasari proses pemilihan
biasa.
Sementara itu, jika
terjadi kekosongan, baik karena hal tertentu maupun karena berakhirnya masa
jabatan, UU KPK, khususnya Pasal 33 meng atur bahwa pengisiannya dilakukan
dengan mekanisme presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Namun,
memang klausulnya ditutup dengan ayat (2) yang mengatakan bahwa prosedur
pengajuan calon pengganti dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal-pasal
mekanisme pemilihan biasa seperti yang ada di dalam UU KPK.
Artinya, sulit untuk
membawa logika bahwa penggantiannya bisa dilakukan dengan cara memperpanjang
masa jabatan Busyro begitu saja tanpa melalui proses seleksi. Oleh karena
memperpanjang tentu saja bukan proses seleksi sebagaimana yang dimaksudkan UU
KPK, dan memang ada baiknya mekanisme memperpanjang tidak dilakukan oleh karena;
Pertama, secara aturan hukum mustahil untuk melakukan hal tersebut. Selain
karena ketentuannya tertutup untuk melakukan hal tersebut, tetapi yang paling
harus dihindari ialah kemungkinan menggunakan ketidaksinkronan perpanjangan
masa jabatan Busyro sebagai cara untuk merusak legalitas tindakan KPK yang
diambil secara kolegial, dan Busyro menjadi bagian dari pengambilan itu
nantinya. Para koruptor, alih-alih merasa takut karena Busyro diperpanjang
tanpa proses seleksi, tetapi malah bersyukur karena ada peluang untuk
mempermasalahkan legalitasnya.
Kedua, kita pun harus
sinkron dengan logika yang selama ini kita lakukan dengan menolak proses
perpanjangan begitu saja ketika perintah UU melakukan seleksi. Bahkan, kita
tentunya masih ingat ketika kita semua menolak perpanjangan Akil Mochtar oleh
DPR di Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa proses yang benar, transparan, dan
akuntabel sebagaimana yang diminta di UU MK. Bahasa sederhananya, kalau Akil
Mochtar kita tolak dengan alasan hukum bahwa ia seharusnya disaring secara
lebih layak seperti yang dimintakan oleh UU, mengapa kemudian untuk Busyro
kita mintakan proses yang tanpa saring. Saya secara pribadi-dan tentu juga
banyak orang--percaya dengan kualitas dan integritas Busyro. Namun jika kita
mau membangun sistem dengan baik, apa yang dimaui oleh UU sebagai sebuah
proses seleksi tetaplah harus dikedepankan.
Artinya, menyokong
proses seleksi ketimbang menggunakan mekanisme lain ialah cara yang
sesungguhnya jauh lebih menguatkan KPK, alih-alih dengan menggunakan mekanisme
lain dan kemudian malah membuka peluang dipersoalkan secara UU.
Seleksi murah dan sederhana
Salah satu yang
menarik ialah seleksi membuat pembiayaan negara menjadi besar oleh karena
proses yang hanya mencari satu orang.Termasuk mengganti prosesnya dengan
hanya menunjuk saja orang dari hasil fit
and proper test di DPR pada tiga tahun yang lalu untuk dipilih dan
disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Soal menunjuk orang
dari hasil fit and proper test yang
terdahulu juga sangat riskan. Selain sangat mudah bagi para koruptor
menggugat posisi satu orang yang tanpa proses pemilihan seperti yang
dimintakan oleh UU KPK, juga akan ada pertanyaan seiring dengan berjalannya
waktu. Logika sederhananya, jika tiga tahun yang lalu dianggap sehat, layak,
dan mampu menjadi komisioner KPK, apakah ada yang bisa menjamin bahwa saat
ini orang tersebut masih sehat, layak, dan mampu? Bukankah orang sekaliber
Rudi Rubiandini yang dipuji sebagai orang yang luar biasa hanya membutuhkan
waktu kurang dari dua tahun semenjak pujian tersebut untuk jadi pesakitan di
KPK.
Lebih baik, mari
menghemat uang melalui proses pemilihan yang sederhana. Misalnya, memangkas
biaya-biaya mahal proses seleksi yang biasanya mahal dengan menaruhnya di
akhir proses. Semisal, pemeriksaan kesehatan yang memerlukan anggaran besar
disiasati dengan pemeriksaan kesehatan yang lengkap hanya di akhir proses dan
dengan jumlah peserta yang sudah tersaring. Termasuk proses-proses psikologis
dan kerja sama lembaga sumber daya manusia tertentu dilempar ke proses yang
di belakang, dan bukan di depan ketika kandidatnya masih sangat banyak.
Berdasar pengalaman dari proses-proses seleksi, sangat mudah untuk memangkas
begitu banyak nama yang tidak jelas komitmen dan analisis pemberantasan
korupsinya sedari awal dengan melalui proses wawancara dengan panitia
seleksi. Artinya, banyak pilihanpilihan yang mungkin dilakukan untuk
menyederhanakan dan membuat proses pemilihan menjadi lebih murah tanpa
kemudian menegasi atau mengesampingkan ketentuan UU KPK.
Minimalisasi intervensi politik
Perihal intervensi
politik pun bukan hal yang tidak kalah menariknya. Tentu tak ada yang tak
mungkin. Sangat besar kemungkinan intervensi politik masuk ke dalam proses
seleksi oleh pansel. Namun, harus diingat bahwa intervensi politik itu bukan
hanya via pansel, melainkan juga di DPR. Artinya, proses itu memang
mendatangkan kemungkinan intervensi politik.
Tetapi, apakah ada
sistem yang tidak memungkinkan intervensi politik? Selalu pasti mungkin ada.
Pun sejujurnya, membandingkan model political appointee, partisant election,
dan nonpartisant election dengan model merit system, maka sistem merit ini
selalu jauh lebih menarik dan mungkin untuk mengecilkan kemungkinan
intervensi.
Bahkan tidak hanya
itu, kita juga sudah berpengalaman berkali-kali melakukan seleksi dengan cara
yang sama dan berkali-kali pula kita berhasil menjauhkan diri dari
kemungkinan intervensi. Dengan proses itulah akhirnya kita juga bisa
mendapatkan Abraham Samad, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu
Praja, dan Zulkarnaen yang sudah membawa KPK ke level yang sangat luar biasa
saat ini. Saya sendiri optimistis bahwa kita mampu mengeliminasi kemungkinan
intervensi politik jika pansel bekerja efektif, DPR diawasi dengan baik dan
masyarakat sipil bekerja sama dalam memonitor proses tersebut. Seperti halnya
yang lalu-lalu dan menghasilkan orang yang juga bekerja cukup membanggakan
seperti saat ini.
Berjenjang atau sekaligus
Satu-satunya yang
menarik untuk diperbincangkan dan ada kemungkinan secara hukum adalah apakah
lebih baik mengosongkan satu jabatan lowong itu selama setahun untuk
melakukan pemilihan secara bersamaan lima orang tahun depan, ataukah segera
mengisinya sehingga menjadi model pergantian berjenjang (staggered).
Secara logika hukum
tata negara dan administrasi negara, memang ada ciri lembaga negara
independen yang disebut dengan pergantian secara staggered terms atau
pergantian masa jabatan secara berjenjang. Di Amerika, hampir seluruh lembaga
negara independennya diisi dengan cara pergantian berjenjang ini.Jadi tidak
dilakukan pergantian sekaligus, tetapi komisioner diganti secara berjenjang.
Hal itu dilakukan demi menjaga kesinambungan kerja lembaga tersebut. Artinya,
akan selalu ada orang lama di setiap pergantian pimpinan yang akan memasukkan
orang baru pula.
Tentu ini menjadi
pilihan pola kebijakan yang masing-masing ada plus dan minusnya. UU KPK sama
sekali tidak mengatur dan menjelaskan detail perihal ini. Tetapi, menarik
sesungguhnya untuk mendapatkan lembaga negara independen yang berganti
pimpinannya secara berjenjang. Karena proses itu bisa menjaga kesinambungan
kerja seperti yang diharapkan dari sistem berjenjang yang dibangun di
Amerika.Nah, tentu akan ada kritikan secara pengeluaran negara.
Namun jika
mampu membuat proses pemilihan yang lebih sederhana dan menghemat biaya,
tentu sisi positif dari model berjenjang akan kita dapatkan faedahnya untuk
KPK. Mempertahankan ritme KPK oleh karena selalu ada orang lama yang sudah
paham kerja KPK, tanpa terputus karena adanya orang-orang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar