Selasa, 09 September 2014

Perihal Pemilihan Komisioner KPK

Perihal Pemilihan Komisioner KPK

Zainal Arifin Mochtar  ;   Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta,
Ketua Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

DI tengah pemberantasan korupsi yang memang terus harus dihela, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi garda ter depannya saat ini kembali harus berganti komisioner lantaran masa jabatan yang sudah berakhir. Bukan hal yang baru, tentu nya, mengingat perihal pengisian komisioner KPK sudah berkali-kali dilakukan. Kita sudah pernah mengisi secara lima orang komisioner bersamaan, hanya mencari empat, bahkan juga pernah melakukan seleksi untuk memilih satu orang saja komisioner.

Sekadar mengingatkan, pengisian yang tak serempak lima komisioner diakibatkan oleh diberhentikannya Antasari Azhar di tengah jalan karena tersandung skandal pembunuhan. Sejak itulah, pergantian dengan sistem tak serempak atau pergantian berjenjang (staggered) terjadi di KPK. Bahkan, Busyro Muqoddas yang kali ini harus diganti sesungguhnya masuk ke KPK melalui penggantian berjenjang yang hanya satu orang tersebut. Kala itu, Busyro Muqoddas terpilih setelah menyisihkan Bambang Widjojanto di fit and proper test Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, Bambang kemudian masuk jajaran KPK dalam proses seleksi pergantian empat pimpinan setahun kemudian.

Menariknya, perihal pergantian pimpinan ini menjadi ramai dengan penolakan seiringan dengan pergantian Busyro Muqoddas de ngan pembentukan pansel yang dilakukan saat ini. Setidaknya, ada empat alasan yang mengemuka. Pertama, kemungkinan politik intervensi yang bisa masuk ke KPK dengan adanya orang baru tersebut, apalagi di lakukan di tengah kecepatan tinggi KPK mendorong pemberantasan korupsi. Kedua, alasan yang lebih teknis soal keseriusan DPR dan pemerintah meng ingat pergantian yang terjadi seiring dengan berakhirnya masa jabatan pemerintah dan DPR dalam prosesi lima tahunan. Jangan-jangan, proses yang terjadi akan menjadi prosesi `ala kadarnya' yang akan berpotensi mendatangkan orang yang juga `ala kadarnya'. Ketiga, pemborosan uang negara karena harus melakukan dua kali seleksi dalam kurun masa jabatan. Padahal, mencari satu orang biayanya tidak jauh berbeda dengan men cari empat orang atau lima orang komisioner. Keempat, lebih baik melakukan langkah praktis semisal memperpanjang masa jabatan Busyro ataukah sekalian mengosongkan masa jabatan yang tertinggal setahun untuk kemudian melakukan seleksi secara bersamaan lima orang tahun depan.

Seleksi atau penunjukan

UU KPK sesungguhnya memberikan isyarat yang sangat jelas soal pengisian jabatan pim pinan KPK, yakni wajib untuk `diseleksi'. Pasal 30 UU KPK mengatur bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh presiden. Untuk proses usulan dari Presiden ter sebut, pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melakukan seleksi berdasarkan apa yang diatur di dalam UU KPK. Ketentuan tersebut adalah ketentuan yang mendasari proses pemilihan biasa.

Sementara itu, jika terjadi kekosongan, baik karena hal tertentu maupun karena berakhirnya masa jabatan, UU KPK, khususnya Pasal 33 meng atur bahwa pengisiannya dilakukan dengan mekanisme presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Namun, memang klausulnya ditutup dengan ayat (2) yang mengatakan bahwa prosedur pengajuan calon pengganti dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal-pasal mekanisme pemilihan biasa seperti yang ada di dalam UU KPK.

Artinya, sulit untuk membawa logika bahwa penggantiannya bisa dilakukan dengan cara memperpanjang masa jabatan Busyro begitu saja tanpa melalui proses seleksi. Oleh karena memperpanjang tentu saja bukan proses seleksi sebagaimana yang dimaksudkan UU KPK, dan memang ada baiknya mekanisme memperpanjang tidak dilakukan oleh karena; Pertama, secara aturan hukum mustahil untuk melakukan hal tersebut. Selain karena ketentuannya tertutup untuk melakukan hal tersebut, tetapi yang paling harus dihindari ialah kemungkinan menggunakan ketidaksinkronan perpanjangan masa jabatan Busyro sebagai cara untuk merusak legalitas tindakan KPK yang diambil secara kolegial, dan Busyro menjadi bagian dari pengambilan itu nantinya. Para koruptor, alih-alih merasa takut karena Busyro diperpanjang tanpa proses seleksi, tetapi malah bersyukur karena ada peluang untuk mempermasalahkan legalitasnya.

Kedua, kita pun harus sinkron dengan logika yang selama ini kita lakukan dengan menolak proses perpanjangan begitu saja ketika perintah UU melakukan seleksi. Bahkan, kita tentunya masih ingat ketika kita semua menolak perpanjangan Akil Mochtar oleh DPR di Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa proses yang benar, transparan, dan akuntabel sebagaimana yang diminta di UU MK. Bahasa sederhananya, kalau Akil Mochtar kita tolak dengan alasan hukum bahwa ia seharusnya disaring secara lebih layak seperti yang dimintakan oleh UU, mengapa kemudian untuk Busyro kita mintakan proses yang tanpa saring. Saya secara pribadi-dan tentu juga banyak orang--percaya dengan kualitas dan integritas Busyro. Namun jika kita mau membangun sistem dengan baik, apa yang dimaui oleh UU sebagai sebuah proses seleksi tetaplah harus dikedepankan.

Artinya, menyokong proses seleksi ketimbang menggunakan mekanisme lain ialah cara yang sesungguhnya jauh lebih menguatkan KPK, alih-alih dengan menggunakan mekanisme lain dan kemudian malah membuka peluang dipersoalkan secara UU.

Seleksi murah dan sederhana

Salah satu yang menarik ialah seleksi membuat pembiayaan negara menjadi besar oleh karena proses yang hanya mencari satu orang.Termasuk mengganti prosesnya dengan hanya menunjuk saja orang dari hasil fit and proper test di DPR pada tiga tahun yang lalu untuk dipilih dan disahkan oleh DPR dan pemerintah.

Soal menunjuk orang dari hasil fit and proper test yang terdahulu juga sangat riskan. Selain sangat mudah bagi para koruptor menggugat posisi satu orang yang tanpa proses pemilihan seperti yang dimintakan oleh UU KPK, juga akan ada pertanyaan seiring dengan berjalannya waktu. Logika sederhananya, jika tiga tahun yang lalu dianggap sehat, layak, dan mampu menjadi komisioner KPK, apakah ada yang bisa menjamin bahwa saat ini orang tersebut masih sehat, layak, dan mampu? Bukankah orang sekaliber Rudi Rubiandini yang dipuji sebagai orang yang luar biasa hanya membutuhkan waktu kurang dari dua tahun semenjak pujian tersebut untuk jadi pesakitan di KPK.

Lebih baik, mari menghemat uang melalui proses pemilihan yang sederhana. Misalnya, memangkas biaya-biaya mahal proses seleksi yang biasanya mahal dengan menaruhnya di akhir proses. Semisal, pemeriksaan kesehatan yang memerlukan anggaran besar disiasati dengan pemeriksaan kesehatan yang lengkap hanya di akhir proses dan dengan jumlah peserta yang sudah tersaring. Termasuk proses-proses psikologis dan kerja sama lembaga sumber daya manusia tertentu dilempar ke proses yang di belakang, dan bukan di depan ketika kandidatnya masih sangat banyak. Berdasar pengalaman dari proses-proses seleksi, sangat mudah untuk memangkas begitu banyak nama yang tidak jelas komitmen dan analisis pemberantasan korupsinya sedari awal dengan melalui proses wawancara dengan panitia seleksi. Artinya, banyak pilihanpilihan yang mungkin dilakukan untuk menyederhanakan dan membuat proses pemilihan menjadi lebih murah tanpa kemudian menegasi atau mengesampingkan ketentuan UU KPK.

Minimalisasi intervensi politik

Perihal intervensi politik pun bukan hal yang tidak kalah menariknya. Tentu tak ada yang tak mungkin. Sangat besar kemungkinan intervensi politik masuk ke dalam proses seleksi oleh pansel. Namun, harus diingat bahwa intervensi politik itu bukan hanya via pansel, melainkan juga di DPR. Artinya, proses itu memang mendatangkan kemungkinan intervensi politik.

Tetapi, apakah ada sistem yang tidak memungkinkan intervensi politik? Selalu pasti mungkin ada. Pun sejujurnya, membandingkan model political appointee, partisant election, dan nonpartisant election dengan model merit system, maka sistem merit ini selalu jauh lebih menarik dan mungkin untuk mengecilkan kemungkinan intervensi.

Bahkan tidak hanya itu, kita juga sudah berpengalaman berkali-kali melakukan seleksi dengan cara yang sama dan berkali-kali pula kita berhasil menjauhkan diri dari kemungkinan intervensi. Dengan proses itulah akhirnya kita juga bisa mendapatkan Abraham Samad, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen yang sudah membawa KPK ke level yang sangat luar biasa saat ini. Saya sendiri optimistis bahwa kita mampu mengeliminasi kemungkinan intervensi politik jika pansel bekerja efektif, DPR diawasi dengan baik dan masyarakat sipil bekerja sama dalam memonitor proses tersebut. Seperti halnya yang lalu-lalu dan menghasilkan orang yang juga bekerja cukup membanggakan seperti saat ini.

Berjenjang atau sekaligus

Satu-satunya yang menarik untuk diperbincangkan dan ada kemungkinan secara hukum adalah apakah lebih baik mengosongkan satu jabatan lowong itu selama setahun untuk melakukan pemilihan secara bersamaan lima orang tahun depan, ataukah segera mengisinya sehingga menjadi model pergantian berjenjang (staggered).

Secara logika hukum tata negara dan administrasi negara, memang ada ciri lembaga negara independen yang disebut dengan pergantian secara staggered terms atau pergantian masa jabatan secara berjenjang. Di Amerika, hampir seluruh lembaga negara independennya diisi dengan cara pergantian berjenjang ini.Jadi tidak dilakukan pergantian sekaligus, tetapi komisioner diganti secara berjenjang. Hal itu dilakukan demi menjaga kesinambungan kerja lembaga tersebut. Artinya, akan selalu ada orang lama di setiap pergantian pimpinan yang akan memasukkan orang baru pula.

Tentu ini menjadi pilihan pola kebijakan yang masing-masing ada plus dan minusnya. UU KPK sama sekali tidak mengatur dan menjelaskan detail perihal ini. Tetapi, menarik sesungguhnya untuk mendapatkan lembaga negara independen yang berganti pimpinannya secara berjenjang. Karena proses itu bisa menjaga kesinambungan kerja seperti yang diharapkan dari sistem berjenjang yang dibangun di Amerika.Nah, tentu akan ada kritikan secara pengeluaran negara. 

Namun jika mampu membuat proses pemilihan yang lebih sederhana dan menghemat biaya, tentu sisi positif dari model berjenjang akan kita dapatkan faedahnya untuk KPK. Mempertahankan ritme KPK oleh karena selalu ada orang lama yang sudah paham kerja KPK, tanpa terputus karena adanya orang-orang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar