Bijak
Kebudayaan
dalam
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 September 2014
KONSEP bijak kebudayaan
secara naratif dapat berarti `rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar rencana atau aktivitas suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan
bangsanya'. Jika konsep itu masuk arus besar rencana perubahan kementerian
pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud) yang diusung tim transisi Jokowi (
tanpa JK), kehati-hatian akan konsep, perencanaan, dan implementasi
operasional tentang kebudayaan jelas sangat dibutuhkan.
Entah siapa yang
memulai diskursus pemisahan kementerian pendidikan dan kebudayaan dengan
rencana membuat menteri koordinasi bidang kebudayaan, yang jelas sejauh ini
aspek kebudayaan dalam pendidikan tak pernah diurus secara serius karena
budaya dianggap sebagai sesuatu yang hampa dan tak punya makna. Di satu sisi
ada banyak praktisi, peminat, ahli, hingga birokrat pendidikan kita memaknai
budaya dalam tataran mitologi semata. Di sisi lain, meskipun ada sedikit
orang yang mengerti konsep kebudayaan secara lebih fungsional, ada kesulitan
meletakkan agenda besar perubahan budaya dalam skema program yang realistis,
operasional, dan berjangka panjang.
Kegenitan lain dari
para pengusul yang ingin menjadikan kemendikbud menjadi dua kementerian,
yaitu kementerian pendidikan dasar dan kementerian pendidikan tinggi, riset,
dan teknologi, ialah karena lagi-lagi salah dalam memahami kata kebudayaan.
Saya menganggap usulan itu sangat kontraproduktif karena bagi saya persoalan
riset dan teknologi itu sama sekali bukan masalah kelembagaan.
Problem
terbesar masalah riset bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan minimnya
anggaran baik itu di Kemenristek, LIPI, maupun litbang-litbang yang
bertebaran di berbagai kementerian.
Riset tidak hanya
berkaitan dengan sains dan teknologi, tetapi juga riset-riset kebudayaan
berbasis komunitas yang akan bermanfaat bagi pengembangan lembagalembaga
pendidikan. Yang belum dilakukan Kemendikbud selama ini soal budaya ialah
minimnya program pengembangan budaya berbasis komunitas sekolah, ketika
keterlibatan orangtua dan masyarakat terhadap dunia pendidikan adalah imperatif.
Jika anggaran diberikan untuk kajian teknis bidang pembudayaan dan kebudayaan
berbasis komunitas, memisahkan urusan pendidikan dengan kebudayaan serta
riset dan teknologi menjadi tidak relevan lagi.
Tantangan terbesar
pengembangan terma kebudayaan ke dalam proses belajar mengajar tentu saja
tidaklah mudah. Sangat umum diketahui bahwa para guru di ruang kelas kerap
memaknai budaya sebagai sesuatu yang given
dan das sein sehingga bentuk
implementasinya sebatas mengenalkan keragaman budaya sebagai sesuatu yang
harus dihargai dan dikonservasi, sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah.
Pada akhirnya tafsir soal budaya jatuh ke dalam dan hanya sebuah bentuk
penghargaan seni dan budaya, apakah itu tari, lagu, dan pernak-pernik
peninggalan bersejarah lainnya.
Kurikulum kita perlu
lebih siap secara konsepsional menerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang
progresif, di saat seluruh bangunan kebudayaan Nusantara merupakan pendorong
untuk meraih sekaligus mengubah masa depan Indonesia yang lebih baik (culture as achievement). Menghargai
budaya sebagai sesuatu yang das sollen harus diperkenalkan dan dia jarkan
sehingga pemahaman siswa tentang budaya tidak diredusir semata produk dan
komoditas yang harus dijual dan dipertontonkan. Di sinilah perlunya anggaran
program yang berorientasi pada aspek kebudayaan dalam pengertian yang
fungsional.
Hargai kemajemukan
Program tentang
pemahaman tentang budaya dalam wajahnya yang luas dan hampir tak terbatas
akan membawa siswa ke arah pemahaman yang benar tentang wujud perbedaan dalam
beragam simpul budaya dan tradisi sehingga siswa tertuntun dan terbiasa untuk
menyikapi sesuatu dengan cara yang berbeda. Pemahaman akan kebudayaan secara
luas juga akan memberi siswa dan guru serta sekolah sekaligus untuk
menghargai perbedaan dan kemajemukan sebagai sebuah batu uji untuk meraih
cita-cita.
Karena itu, menjadi
penting sosialisasi tentang kebudayaan secara benar terhadap seluruh
stakeholder pendi dikan sehingga Kemendikbud ikut bertanggung jawab dalam
memperkenalkan kemajemukan budaya secara operasional melalui program yang
jelas anggarannya. Grobler (2006), dalam Creating
a School Environment for the Effective Management of Cultural Diversity,
memiliki pandangan yang cerdas tentang bagaimana seharusnya sekolah memiliki
pandangan yang menghargai kemajemukan. Menurutnya, salah satu aspek penting
dalam mengelola kemajemukan ialah “...concerned
with the creation of a school environment where diversity is both understood,
and celebrated.“
Memahami dan merayakan
perbedaan merupakan lanskap hukum alam yang memang sebaiknya tidak bisa
dilanggar siapa pun, apalagi di dunia pendidikan. Jika saat ini masih ada
sekolah yang memiliki pemikiran untuk menghindari adanya perbedaan, jelas itu
bertentangan dengan kehendak Yang Maha Esa.
Karena itu, menjadi jelas bahwa
mengelola kemajemukan me rupakan tugas utama sekolah dan seluruh aspek
kepemimpinannya (leadership), baik
level individual siswa, guru, maupun orangtua (interpersonal) dan itu harus menyatu dalam kerangka kebijakan
sekolah secara keseluruhan.
Selain itu, mengelola
kemajemukan juga bukan semata dan seperti membuat regulasi sebagai alat untuk
memberi kesempatan setiap orang merasa memperoleh kesempatan dan kesamaan. Lebih
dari itu, manajemen sekolah harus melihat faktor manajemen sebagai alat untuk
menumbuhkan rekognisi sosial di sekolah sebagai sebuah fakta kemajemukan yang
tidak boleh dihindari dan dihilangkan. Di sinilah makna penting kebudayaan
yang harus dipahami otoritas pendidikan kita. Di sini pulalah diperlukan
penganggaran yang sehat untuk menstimulasi komunitas sekolah agar memiliki
akar budaya yang kuat dan sehat, bukan berwacana menjadikan Kemendikbud
bagian-bagian yang tanpa budaya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar