Demokrasi
tanpa Kedaulatan Rakyat
M Hasan Mutawakkil Alallah ;
Ketua
PW NU Jawa Timur
|
JAWAPOS,
19 September 2014
RENCANA DPR dan pemerintah mengesahkan
rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU pilkada) pada 25
September 2014 memicu perdebatan tajam. Perdebatan itu bahkan berpotensi
meletupkan konflik horizontal apabila tidak disikapi secara arif dan dewasa.
Kengototan para wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP)
untuk segera mengesahkan pilkada tidak langsung melalui DPRD ditengarai
bernada sumbang.
Kuat berembus, apabila kepala daerah tidak
lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh anggota DPRD, hampir
dapat dipastikan partai politik yang tergabung dalam KMP bisa merajai
pemilihan kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota
se-Indonesia. Hal itulah yang menguatkan anggapan bahwa yang dilakukan
koalisi partai politik yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD
merupakan pembajakan demokrasi atas nama demokrasi.
Nalar
Hukum Pilkada
RUU pilkada adalah bagian dari RUU
pemerintahan daerah yang diusulkan oleh pemerintah (Kemendagri) untuk
menggantikan UU No 32/2004 jo UU No 12/2008 yang mengatur pemilihan kepala
daerah secara terpisah dari RUU pemda. Secara spesifik, norma tentang
pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) secara eksplisit
disebutkan dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi, ”Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Jika dicermati secara saksama ketentuan
konstitusi tersebut, paling tidak terdapat tiga pemahaman umum yang dapat
ditarik dari bunyi pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tersebut. Pertama, secara yuridis
pembentuk konstitusi memberikan ”ruang terbuka” kepada pembentuk
undang-undang untuk mengatur bagaimana bentuk, mekanisme, dan syarat-syarat
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Kedua,pemilihan gubernur, bupati,
dan wali kota harus dilakukan secara demokratis, yang bermakna dilakukan
langsung oleh rakyat. Ketiga,gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh
rakyat melalui wakilnya di DPRD.
Pemahaman ketiga itulah yang dijadikan
dasar oleh partai politik yang tergabung di KMP dalam melegitimasi keputusan
untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Argumentasi yang
dikemukakan, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat secara nyata
telah memicu konflik horizontal dan mengotak-ngotakkan masyarakat ke dalam berbagai
faksi yang berbeda kepentingan. Biaya yang dikeluarkan untuk pilkada langsung
pun dirasakan terlalu mahal.
Selain itu, diyakini oleh kelompok
pengusung pilkada lewat DPRD bahwa pilkada secara langsung menyuburkan
praktik money politics yang berimbas
rusaknya mentalitas masyarakat secara masif dan juga berkontribusi dalam
mewujudkan politik dinasti yang korup.
Kalau argumentasi tersebut benar dan
faktual, apakah rakyat selaku pemilik suara yang harus dipersalahkan?
Mengingat, rakyat sebagai pemilik kuasa politik senyatanya hanya dijadikan
objek demokrasi dalam pilkada.
Kedaulatan
Rakyat dalam Islam
Sebagai salah satu negara dengan sistem
demokrasi tersebar di dunia, Indonesia menjadi perhatian dunia internasional,
terutama yang terkait dengan pelaksanaan suksesi kepemimpinan dalam tingkat
lokal maupun nasional. Bila dilakukan kajian secara komprehensif, hampir
dalam setiap bulan di Indonesia terdapat pemilihan pemimpin. Yakni, mulai
level pemilihan kepala desa, wali kota dan bupati, hingga gubernur dan wakil
gubernur yang secara simultan selalu dilaksanakan.
Pemilihan itu mulai Aceh hingga Papua atau
Sabang sampai Merauke. Pelaksanaannya pun secara langsung melibatkan rakyat
selaku pemilik kedaulatan sebagaimana yang diatur dalam konstitusi. Dengan
demikian, bangsa Indonesia telah cukup dewasa dalam menyikapi perbedaan di
pemilihan kepala daerah setelah kurang lebih sepuluh tahun mempraktikkannya.
Maka, tidaklah mengherankan ketika RUU
pilkada yang akan disahkan dalam sidang paripurna pada 25 September 2014
memunculkan reaksi penolakan yang masif dari masyarakat. Alasannya, bentuk
pemilihan pemimpin secara langsung merupakan satu-satunya aset rakyat dalam
menentukan arah bangsa ke depan.
Hal itu terbukti dari hasil survei
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bahwa sebagian besar masyarakat menolak
pilkada melalui DPRD. Lebih lanjut LSI merilis, dari 1.200 responden di 33
provinsi di Indonesia, 81,25 persen menginginkan kepala daerah langsung
dipilih oleh rakyat. Sementara itu, 10,71 persen responden menyetujui pilkada
dilakukan oleh DPRD, sedangkan 4,91 persen menyatakan bahwa kepala daerah
sebaiknya dipilih oleh presiden (Antara,
9/9/2014).
Dengan demikian, apabila RUU pilkada
disahkan pada sidang paripurna mendatang, secara nyata terjadi pengabaian
terhadap keinginan rakyat. Hak rakyat untuk berpartisipasi secara langsung
dalam menentukan pemimpinnya terenggut oleh penguasa politik. Yang tersisa
hanyalah garis demarkasi yang memisahkan antara pemimpin dan rakyat. Karena
itu, tidaklah mengherankan apabila di kemudian hari para kepala daerah
menjadi elitis, menjarak dengan rakyat, serta sibuk melakukan kapitalisasi
terhadap pelbagai kepentingan untuk pribadinya dan kroninya.
Dalam konteks inilah ajaran Islam
memberikan tuntunan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi pada pencapaian
kemaslahatan orang banyak (umat) secara keseluruhan. Kaidah ushul fiqh
menandaskan bahwa tasharruf al-iman
’ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah. Maksudnya, pemimpin mempunyai
amanah yang tidak hanya mengacu pada kontrak sosial melalui pemilihan umum,
akan tetapi juga bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT. Dengan
demikian, amanah rakyat yang diberikan kepada seorang pemimpin melalui
pemilihan umum juga mengandung tanggung jawab teologis.
Biarkanlah rakyat secara bersama-sama ikut
menentukan siapakah yang pantas memimpin mereka. Alasan yang selama ini
dikemukakan para pendukung pilkada oleh DPRD tidak sepenuhnya kuat. Sebab,
pilkada oleh DPRD tidak menjamin kepala daerah dan DPRD terbebas dari
korupsi. Pilkada oleh DPRD tidak akan mampu menjamin semangat dasar
pemerintahan yang bersih dari korupsi. Bahkan, bisa saja potensi korupsi
makin subur.
Sebaliknya, pilkada langsung memaksa kepala
daerah dekat dengan rakyat sebagai pemilik langsung kedaulatan. Pilkada langsung
selama ini telah berjalan dengan baik dan tertib. Kalau ada yang kurang,
tugas kita bersama menambal yang kurang itu, bukan menggantinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar