Kamis, 11 September 2014

Pengunduran Diri Jokowi

Pengunduran Diri Jokowi

Zainal Arifin Mochtar  ;   Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta,
Ketua PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
KORAN SINDO, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Salah satu yang sudah cukup lama menjadi bahan pembicaraan di kitaran keterpilihan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden yang akan dilantik Oktober mendatang yakni perihal kewajiban dirinya untuk mengundurkan diri pascaterpilih menjadi presiden.

Logikanya sederhana, tidak mungkin ada rangkap jabatan dari seorang kepala negara dan kepala daerah. Karena itu, Jokowi harus segera mengundurkan diri dari jabatan kepala daerah di Jakarta sebelum prosesi pelantikan di dua pertiga akhir Oktober. Pembicaraan hangatnya, apakah ada kemungkinan bagi Jokowi untuk tidak dilantik karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak “mengizinkan” pengunduran diri Jokowi.

Hangatnya bahkan cenderung menjadi panas setelah pernyataan terbuka salah satu pimpinan DPRD yangmembeberkan kemungkinan penolakan atas permintaan pengunduran diri Jokowi. Padahal jika tidak dilantik, krisis konstitusional bisa membayangi.

Izin atau Perintah Administratif?

Saya sesungguhnya tidak terlalu yakin bahwa tidak ada langkah politik yang sedang dikembangkan Jokowi. Boleh jadi, untuk mencairkan konstelasi kaku dukungan partai di Jakarta terhadap dirinya, sudah ada langkah untuk menarik sedikit Koalisi Merah Putih ke kubu Jokowi. Hal yang rasionalnya adalah memuluskan langkah pengunduran diri dan akhirnya dapat dilantik sebagai presiden.

Mari kesampingkan soal politik tersebut dan menganalisisnya secara hukum. Sesungguhnya, jika dibaca aturan hukum yang mendasari pengaturan soal pemberhentian seorang kepala daerah, istilah “DPRD memberikan izin” soal pengunduran diri adalah tidaklah tepat.

Baik bahasa dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terkhusus pada Paragraf Keempat tentang Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maupun dalam PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sama sekali tidak terdapat istilah izin. Dalam Pasal 29 Ayat (1), (2) dan (3), bahasanya jelas.

Ayat (1) mengatur bahwa Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: (a) meninggal dunia; (b) permintaan sendiri; atau (c). diberhentikan . Lalu kemudian, Ayat (2) memberikan penjelasan detail tentang makna kata diberhentikan di huruf c dan mekanismenya. Ayat (3) mengatur tentang mekanisme jika meninggal dunia atau permintaan sendiri.

Ketentuan ayat (3) ini adalah “Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD” .

Begitu pula ketentuan PP No 6 Tahun 2005. Bahkan terkesan pasal-pasal dalam aturan tersebut, khususnya mengatur hal yang sama di atas, adalah “copy-paste “ dari bunyi UU-nya. Artinya, yang ada adalah ada pemberitahuan pimpinan DPRD terhadap keseluruhan anggotanya yang kemudian diputuskan dalam rapat paripurna. Bisakah makna kata “diputuskan” dalam rapat paripurna adalah bersifat izin?

Sesungguhnya tidak! Harus diingat, ada kewenangan administratif yang melekat dengan konsep perizinan dan karenanya jabatan pemberi izin bisa memilih antara memberikan izin atau tidak, tetapi ada juga yang tidak oleh karena sifatnya adalah hanya mengesahkan sebagai akibat ada tindakan hukum yang mendahuluinya.

Contohnya, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menerbitkan siapa pemenang pemilu legislatif dan tahapan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dilewati, presiden harus menerbitkan keppres pengangkatan para anggota DPR tersebut. Tentu, kewenangan mengeluarkan keppres berada di diri seorang presiden, tetapi tidak termasuk di dalamnya kewenangan penolakan.

Presiden tidak bisa mengatakan saya tidak mau menerbitkan keppres pengangkatan tersebut. Konsepsinya, tindakan hukum yang mendahului sebelum kewenangan presiden mengeluarkan keppres menjadi “kewajiban administratif” bagi presiden untuk mengeluarkannya. Malah jika tidak dikeluarkan, presiden bersalah dalam hal itu. Begitulah hukum bekerja untuk mengenyahkan kemungkinan tersandera oleh abuse of power secara administratif meskipun kewenangan, tetapi bukan berarti bisa tidak dikeluarkan, melainkan wajib untuk dikeluarkan.

Akan halnya sifat kata “diputuskan dalam rapat paripurna” sesungguhnya bukanlah rezim izin. Tetapi, haruslah melanjutkan tindakan hukum pengunduran diri yang mendahului sebelum diadakan rapat paripurna. Artinya, saya menafsirkan, tidak ada kewenangan DPRD untuk menilai layak atau tidak orang yang mengundurkan diri lalu oleh DPRD diberikan penolakan. Tetapi, harusnya dilanjutkan ke arah putusan untuk pemberhentiannya. Makna diputuskan bukanlah bersifat pilihan, melainkan konsekuensi hukum untuk dilanjutkan.

Tidak hanya makna kata tafsir teori kewajiban administratif, tetapi ini juga bisa dilihat jika dianalisis secara struktur aturan perundang-undangan. Pasal 29 Ayat (1) mengatur orang yang diberhentikan oleh karena tiga alasan, meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Ayat (2) lalu menjelaskan perihal diberhentikan. Menariknya, Ayat (3) menyatukan keterangan lebih lanjut tentang meninggal maupun permintaan sendiri.

Ayat tiga menggabungkan proses pemberhentian untuk meninggal dunia, permintaan sendiri, berakhir masa jabatan, dan tidak melaksanakan tugas karena berhalangan tetap. Semua hal yang secara logis disatukan oleh karena memang sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan.

Belum lagi kalau kita lakukan tafsiran prudential yang secara teori penafsiran hukum menghitung cost and benefit dari sebuah penafsiran. Penolakan DPRD tentu sangatlah mahal harganya oleh karena kita sudah menyelenggarakan pemilu presiden.

Menundukkan Politik ke Hukum

Tetapi, yang namanya politik, semua bisa terjadi. Seringkali aturan hukum kemudian ditafsirkan menurut keinginan. Politik seringkali memanglimai hukum, padahal ini negara hukum. Apalagi secara praktik telah terjadi untuk wakil gubernur Jakarta yakni ketika Prijanto mengundurkan diri, tetapi pengundurannya ditolak oleh paripurna DPRD.

Artinya, proses yang kemungkinan menjadi sangat berbau politik haruslah ditundukkan ke proses hukum. Karena itu, judicial review di MK menjadi sangat mungkin untuk menyelesaikan proses dan meneguhkan makna kata hukum yang sesungguhnya dari perizinan tersebut. MK adalah lembaga hukum negara yang dibuat untuk menyelesaikan semua sengketa yang berbau politik.

Ada baiknya Jokowi menjadi pemohon di MK untuk menutup kemungkinan ada proses politik yang menghalangi pelantikan akibat penolakan pengunduran diri. Adakah legal standing Jokowi untuk melakukan itu? Tentunya iya. Dia presiden terpilih yang akan dilantik, tetapi berpotensi terhalangi melalui aturan hukum yang bisa didebatkan makna sesungguhnya.

Sederhana, menguji pasal-pasal yang bisa disandera secara politik dan secara cepat meminta putusan MK untuk menyelesaikan hal tersebut di atas secara hukum.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar