Pengunduran
Diri Jokowi
Zainal Arifin Mochtar ;
Pengajar
Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta,
Ketua PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 09 September 2014
Salah
satu yang sudah cukup lama menjadi bahan pembicaraan di kitaran keterpilihan
Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden yang akan dilantik Oktober mendatang
yakni perihal kewajiban dirinya untuk mengundurkan diri pascaterpilih menjadi
presiden.
Logikanya
sederhana, tidak mungkin ada rangkap jabatan dari seorang kepala negara dan
kepala daerah. Karena itu, Jokowi harus segera mengundurkan diri dari jabatan
kepala daerah di Jakarta sebelum prosesi pelantikan di dua pertiga akhir
Oktober. Pembicaraan hangatnya, apakah ada kemungkinan bagi Jokowi untuk
tidak dilantik karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak
“mengizinkan” pengunduran diri Jokowi.
Hangatnya
bahkan cenderung menjadi panas setelah pernyataan terbuka salah satu pimpinan
DPRD yangmembeberkan kemungkinan penolakan atas permintaan pengunduran diri
Jokowi. Padahal jika tidak dilantik, krisis konstitusional bisa membayangi.
Izin atau Perintah
Administratif?
Saya
sesungguhnya tidak terlalu yakin bahwa tidak ada langkah politik yang sedang
dikembangkan Jokowi. Boleh jadi, untuk mencairkan konstelasi kaku dukungan
partai di Jakarta terhadap dirinya, sudah ada langkah untuk menarik sedikit
Koalisi Merah Putih ke kubu Jokowi. Hal yang rasionalnya adalah memuluskan
langkah pengunduran diri dan akhirnya dapat dilantik sebagai presiden.
Mari
kesampingkan soal politik tersebut dan menganalisisnya secara hukum.
Sesungguhnya, jika dibaca aturan hukum yang mendasari pengaturan soal
pemberhentian seorang kepala daerah, istilah “DPRD memberikan izin” soal
pengunduran diri adalah tidaklah tepat.
Baik
bahasa dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terkhusus pada
Paragraf Keempat tentang Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
maupun dalam PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sama sekali tidak
terdapat istilah izin. Dalam Pasal 29 Ayat (1), (2) dan (3), bahasanya jelas.
Ayat
(1) mengatur bahwa Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
(a) meninggal dunia; (b) permintaan sendiri; atau (c). diberhentikan . Lalu
kemudian, Ayat (2) memberikan penjelasan detail tentang makna kata
diberhentikan di huruf c dan mekanismenya. Ayat (3) mengatur tentang
mekanisme jika meninggal dunia atau permintaan sendiri.
Ketentuan
ayat (3) ini adalah “Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a
dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat
Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD” .
Begitu
pula ketentuan PP No 6 Tahun 2005. Bahkan terkesan pasal-pasal dalam aturan
tersebut, khususnya mengatur hal yang sama di atas, adalah “copy-paste “ dari bunyi UU-nya.
Artinya, yang ada adalah ada pemberitahuan pimpinan DPRD terhadap keseluruhan
anggotanya yang kemudian diputuskan dalam rapat paripurna. Bisakah makna kata
“diputuskan” dalam rapat paripurna adalah bersifat izin?
Sesungguhnya
tidak! Harus diingat, ada kewenangan administratif yang melekat dengan konsep
perizinan dan karenanya jabatan pemberi izin bisa memilih antara memberikan
izin atau tidak, tetapi ada juga yang tidak oleh karena sifatnya adalah hanya
mengesahkan sebagai akibat ada tindakan hukum yang mendahuluinya.
Contohnya,
jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menerbitkan siapa pemenang pemilu
legislatif dan tahapan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dilewati,
presiden harus menerbitkan keppres pengangkatan para anggota DPR tersebut.
Tentu, kewenangan mengeluarkan keppres berada di diri seorang presiden,
tetapi tidak termasuk di dalamnya kewenangan penolakan.
Presiden
tidak bisa mengatakan saya tidak mau menerbitkan keppres pengangkatan
tersebut. Konsepsinya, tindakan hukum yang mendahului sebelum kewenangan
presiden mengeluarkan keppres menjadi “kewajiban administratif” bagi presiden
untuk mengeluarkannya. Malah jika tidak dikeluarkan, presiden bersalah dalam
hal itu. Begitulah hukum bekerja untuk mengenyahkan kemungkinan tersandera
oleh abuse of power secara administratif meskipun kewenangan, tetapi bukan
berarti bisa tidak dikeluarkan, melainkan wajib untuk dikeluarkan.
Akan
halnya sifat kata “diputuskan dalam rapat paripurna” sesungguhnya bukanlah
rezim izin. Tetapi, haruslah melanjutkan tindakan hukum pengunduran diri yang
mendahului sebelum diadakan rapat paripurna. Artinya, saya menafsirkan, tidak
ada kewenangan DPRD untuk menilai layak atau tidak orang yang mengundurkan
diri lalu oleh DPRD diberikan penolakan. Tetapi, harusnya dilanjutkan ke arah
putusan untuk pemberhentiannya. Makna diputuskan bukanlah bersifat pilihan,
melainkan konsekuensi hukum untuk dilanjutkan.
Tidak
hanya makna kata tafsir teori kewajiban administratif, tetapi ini juga bisa
dilihat jika dianalisis secara struktur aturan perundang-undangan. Pasal 29
Ayat (1) mengatur orang yang diberhentikan oleh karena tiga alasan, meninggal
dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan. Ayat (2) lalu menjelaskan
perihal diberhentikan. Menariknya, Ayat (3) menyatukan keterangan lebih
lanjut tentang meninggal maupun permintaan sendiri.
Ayat
tiga menggabungkan proses pemberhentian untuk meninggal dunia, permintaan
sendiri, berakhir masa jabatan, dan tidak melaksanakan tugas karena
berhalangan tetap. Semua hal yang secara logis disatukan oleh karena memang
sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Belum
lagi kalau kita lakukan tafsiran prudential yang secara teori penafsiran
hukum menghitung cost and benefit dari sebuah penafsiran. Penolakan DPRD
tentu sangatlah mahal harganya oleh karena kita sudah menyelenggarakan pemilu
presiden.
Menundukkan Politik ke
Hukum
Tetapi,
yang namanya politik, semua bisa terjadi. Seringkali aturan hukum kemudian
ditafsirkan menurut keinginan. Politik seringkali memanglimai hukum, padahal
ini negara hukum. Apalagi secara praktik telah terjadi untuk wakil gubernur
Jakarta yakni ketika Prijanto mengundurkan diri, tetapi pengundurannya
ditolak oleh paripurna DPRD.
Artinya,
proses yang kemungkinan menjadi sangat berbau politik haruslah ditundukkan ke
proses hukum. Karena itu, judicial
review di MK menjadi sangat mungkin untuk menyelesaikan proses dan
meneguhkan makna kata hukum yang sesungguhnya dari perizinan tersebut. MK
adalah lembaga hukum negara yang dibuat untuk menyelesaikan semua sengketa
yang berbau politik.
Ada
baiknya Jokowi menjadi pemohon di MK untuk menutup kemungkinan ada proses
politik yang menghalangi pelantikan akibat penolakan pengunduran diri. Adakah
legal standing Jokowi untuk melakukan itu? Tentunya iya. Dia presiden
terpilih yang akan dilantik, tetapi berpotensi terhalangi melalui aturan
hukum yang bisa didebatkan makna sesungguhnya.
Sederhana,
menguji pasal-pasal yang bisa disandera secara politik dan secara cepat
meminta putusan MK untuk menyelesaikan hal tersebut di atas secara hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar