Kamis, 11 September 2014

Anas dan Opini yang Berubah

Anas dan Opini yang Berubah

Ma’mun Murod Al-Barbasy  ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
KORAN SINDO, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Bila dibandingkan dengan kasus lain, kasus Hambalang yang melibatkan Anas Urbaningrum (AU) termasuk paling banyak menyita perhatian publik. Ini setidaknya tergambar dari opini publik yang berkembang. Tentu ini hal wajar.

Selain menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat, AU juga dinilai banyak kalangan sebagai politisi muda yang diharapkan bisa menjadi pelanjut estafet kepemimpinan nasional. Menariknya, bila dalam banyak kasus korupsi opini yang berkembang cenderung konsisten bersifat ”menghakimi”, pada kasus AU ada perbedaan.

Menyikapi kasus AU, sejak awal opini publik terbelah antara yang pro dan kontra meski arus besar opini tetap bersifat "menghakimi". Dalam perkembangannya, opini publik mengalami perubahan yang dinamis dari yang sebelumnya bersifat "menghakimi" berubah menjadi opini yang empatik dan simpatik. Perubahan opini ini utamanya dirasakan betul sejak kasus AU memasuki tahapan persidangan.

Opini Menyesatkan

Sebagaimana lazimnya, ketika seseorang diberitakan secara masif diduga terlibat tindak pidana korupsi, pemberitaan tersebut cenderung diamini sebagai opini kebenaran. Opini ini juga dirasakan betul dalam kasus AU. Pemberitaan media yang begitu masif berhasil menggiring dan membangun opini akan keterlibatan AU dalam kasus Hambalang. Secara mainstream, opini yang berkembang tidak berpihak ke AU.

Opininya begitu negatif dan menyesatkan. Ada opini yang menyerang AU dalam kapasitas sebagai ketua umum Partai Demokrat yang mengaitkan dengan iklan PD sebagai ”partai antikorupsi”. Ada opini yang menyerang AU dalam kapasitas sebagai politisi muda yang dinilai tidak berbeda jauh dengan kebanyakan politisi Senayan lain yang korup. Ada opini yang mengaitkan AU dengan salah satu organisasi kemahasiswaan dan dunia pesantren.

Terkait dengan KPK, dibangun juga opini bahwa selama ini KPK tidak pernah sembarangan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Maka itu, siapa pun yang telah ditetapkan sebagai tersangka tak akan pernah lepas dari jeratan hukuman. Opini dibangun untuk memperkuat posisi dan sangkaan KPK atas keterlibatan AU dalam proyek Hambalang. Opini terkait KPK ini sesungguhnya bagus, namun tidak bisa dipahami secara absolut.

Jika proses hukum pasti membuat orang bersalah, lantas buat apa ada proses persidangan? Kenapa tidak langsung saja setiap tersangka tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman tanpa perlu proses persidangan? Ada proses persidangan tentu dimaksudkan untuk menemukan keadilan yang sejati. Selain itu, menganggap KPK ”serbabenar” juga mengandung unsur ”syirik” karena telah memosisikan individu-individu di dalam KPK bak Tuhan yang seakan tak pernah dan tak boleh salah.

Harusnya, KPK dan segala tindakannya yang diharapkan adil dan objektif tetap dilihat sebagai lembaga dengan kumpulan manusia. Sehebat-hebatnya manusia adalah manusia. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia. Bukan malaikat, bukan pula Tuhan. Manusia selalu terlekat sifat-sifat dasar kemanusiaannya. Begitu kuatnya opini yang menyudutkan AU, praktis berbagai bantahan yang dilakukan AU tak mampu berubah opini yang berkembang saat itu.

”Sumpah Monas” bahkan tak mampu meredakan opini negatif. Tentu kita masih ingat saat AU membuat sumpah dan tantangan yang sangat serius: "Gantung Anas di Monas jika terbukti terlibat korupsi kasus Hambalang." Tak pernah ada seorang politisi yang berani menyatakan sumpah serupa dan AU tentu sadar atas ”sumpah” yang diucapkannya.

Dalam Islam, siapa pun tidak dibenarkan bersumpah yang sejenis dengan ”huruf qasam” (billahi, wallahi, tallahi) dengan tujuan kebohongan. Namun, ketika penjelasan apa pun terkait ketakterlibatannya dalam kasus Hambalang tidak juga dipercaya publik, sumpah AU harus dipahami sebagai bentuk ”protes” atas tuduhan dan opini publik yang secara sosial berhasil memojokkan dan menghukum AU.

Sumpah AU ini harus dipahami sebagai tantangan besar bagi siapa saja, termasuk media dan aparat penegak hukum, baik KPK maupun majelis hakim, untuk secara serius menginvestigasi dan menemukan alat bukti yang kuat terkait keterlibatan AU. Meski AU sudah melakukan ”sumpah Monas”, tak juga mampu menyurutkan berkembangnya opini negatif atas dugaan keterlibatan AU dalam kasus Hambalang.

Opini yang Berubah

Sejak kasus AU memasuki tahapan persidangan, ada perubahan opini publik yang begitu dinamis terkait kasus AU. Sebelumnya opini yang berkembang cenderung negatif, namun sejak memasuki tahap persidangan, opini publik yang berkembang cenderung bergeser ke arah yang positif. Antusiasme sebagian masyarakat untuk mengikuti perkembangan kasus AU terbilang cukup tinggi.

Selain terlihat dari persidangan AU yang selalu dipenuhi pengunjung, ini juga tergambar dari komentar-komentar di media sosial dari mulai yang bernada kritis terhadap KPK karena dinilai cenderung mencari-cari kesalahan sampai pada komentar tentang kemungkinan AU memperoleh putusan bebas murni. Perubahan opini ini setidaknya menggambarkan pandangan objektif dari masyarakat dalam menyikapi kasus AU.

Bila sebelum tahapan persidangan opini yang terbangun di masyarakat berangkat dari pemberitaan yang berbasis opini, ketika memasuki tahap persidangan opini apa pun mau tidak mau harus dibangun atas dasar dan berbasis pada fakta persidangan. Karena basisnya fakta persidangan, siapa pun, baik dari kubu AU, kubu KPK, maupun masyarakat, tidak lagi bisa membangun opini yang terlepas begitu saja dari fakta persidangan.

Semua yang ”berbicara” dan menjadi basis opini adalah fakta persidangan. Maka itu, siapa pun yang mencoba membangun opini yang bertolak belakang dengan fakta persidangan pasti akan dicibir masyarakat. Sementara bila ditilik dari fakta persidangan, kecenderungan kuat ”berpihak” pada AU. Lebih dari 80 saksi yang dihadirkan hampir semua ”meringankan” AU.

Praktis hanya saksi Nazaruddin, Neneng (istri Nazaruddin), dan dua supir Nazaruddin dan Neneng yang berhasil memberatkan AU meski tampak jelas kesaksian keempatnya penuh dengan kebohongan. Padahal saksi-saksi dihadirkan kebanyakan saksi dari JPU yang semestinya ”memberatkan” AU dan sedikit sekali saksi fakta maupun saksi ahli yang berasal dari AU.

Dengan persaksian yang demikian, tak heran bila semua dakwaan JPU terpatahkan di persidangan. Saksi ramai-ramai justru memberatkan dan membantah dakwaan JPU. Sekadar contoh persaksian mantan Kepala Divisi Konstruksi Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noor yang membantah pemberian mobil Harrier kepada AU sebagai tanda jadi proyek Hambalang. Teuku Bagus bahkan menjelaskan bahwa dirinya tidak kenal dan tidak pernah bertemu dan memberi uang kepada AU.

Teuku Bagus juga menyatakan bahwa dirinya sebelumnya tidak pernah kenal dan bertemu AU di belahan dunia mana pun. Padahal jelas AU menjadi tersangka karena tuduhan menerima Harrier dari Adhi Karya. Begitu juga saksi lain seperti Yulianis, Mindo Rosalina Manulang, Ahmad Mubarok, Ignatius Mulyono, Wafid Muharram, Joyo Winoto, Paul Nelwan, Wasit Suaidy, Nunung Krisbianto, Opapaci, Metro TV , dan Rakyat Merdeka, dan Khalilur R Abdullah Sahlawiy justru keterangannya di persidangan berbeda dengan dakwaan JPU dan memberatkan JPU.

Yang menarik adalah kesaksian Clara Maureen, bekas pegawai Nazaruddin, yang menjelaskan skenario rekayasa Nazaruddin dan para pegawainya untuk menjerat AU. Clara dan para pegawai Nazaruddin disuruh untuk membikin cerita palsu untuk bisa menjerat AU. Kesaksian ini menjelaskan sebagian proses tentang bagaimana AU menjadi tersangka. Sungguh miris melihat kasus AU.

Dengan jeratan dakwaan yang begitu menyeramkan, ternyata tak mampu dibuktikan dengan barang bukti yang kuat di dalam persidangan. Fakta-fakta persidangan inilah yang telah menyebabkan terjadi perubahan opini publik dari yang sebelumnya negatif dan ”menghakimi” menjadi opini yang lebih bersahabat, empatik, dan simpatik.

Semoga dan memang seharusnya JPU menjadikan fakta persidangan sebagai pertimbangan dalam membuat tuntutan. Begitu juga majelis hakim mampu membuat putusan hukuman secara adil dengan mendasarkan pada fakta persidangan dan kebenaran yang diyakininya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar