Anas
dan Opini yang Berubah
Ma’mun Murod Al-Barbasy ;
Dosen
Program Studi Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 09 September 2014
Bila
dibandingkan dengan kasus lain, kasus Hambalang yang melibatkan Anas
Urbaningrum (AU) termasuk paling banyak menyita perhatian publik. Ini
setidaknya tergambar dari opini publik yang berkembang. Tentu ini hal wajar.
Selain
menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat, AU juga dinilai banyak kalangan
sebagai politisi muda yang diharapkan bisa menjadi pelanjut estafet
kepemimpinan nasional. Menariknya, bila dalam banyak kasus korupsi opini yang
berkembang cenderung konsisten bersifat ”menghakimi”, pada kasus AU ada
perbedaan.
Menyikapi
kasus AU, sejak awal opini publik terbelah antara yang pro dan kontra meski
arus besar opini tetap bersifat "menghakimi". Dalam
perkembangannya, opini publik mengalami perubahan yang dinamis dari yang
sebelumnya bersifat "menghakimi" berubah menjadi opini yang empatik
dan simpatik. Perubahan opini ini utamanya dirasakan betul sejak kasus AU
memasuki tahapan persidangan.
Opini Menyesatkan
Sebagaimana
lazimnya, ketika seseorang diberitakan secara masif diduga terlibat tindak
pidana korupsi, pemberitaan tersebut cenderung diamini sebagai opini
kebenaran. Opini ini juga dirasakan betul dalam kasus AU. Pemberitaan media
yang begitu masif berhasil menggiring dan membangun opini akan keterlibatan
AU dalam kasus Hambalang. Secara mainstream,
opini yang berkembang tidak berpihak ke AU.
Opininya
begitu negatif dan menyesatkan. Ada opini yang menyerang AU dalam kapasitas
sebagai ketua umum Partai Demokrat yang mengaitkan dengan iklan PD sebagai
”partai antikorupsi”. Ada opini yang menyerang AU dalam kapasitas sebagai
politisi muda yang dinilai tidak berbeda jauh dengan kebanyakan politisi
Senayan lain yang korup. Ada opini yang mengaitkan AU dengan salah satu
organisasi kemahasiswaan dan dunia pesantren.
Terkait dengan KPK, dibangun juga
opini bahwa selama ini KPK tidak pernah sembarangan dalam menetapkan
seseorang menjadi tersangka. Maka itu, siapa pun yang telah ditetapkan
sebagai tersangka tak akan pernah lepas dari jeratan hukuman. Opini dibangun untuk
memperkuat posisi dan sangkaan KPK atas keterlibatan AU dalam proyek
Hambalang. Opini terkait KPK ini sesungguhnya
bagus, namun tidak bisa dipahami secara absolut.
Jika proses hukum pasti membuat
orang bersalah, lantas buat apa ada proses persidangan? Kenapa tidak langsung
saja setiap tersangka tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman tanpa perlu
proses persidangan? Ada proses persidangan tentu dimaksudkan untuk menemukan
keadilan yang sejati. Selain itu,
menganggap KPK ”serbabenar” juga mengandung unsur ”syirik” karena telah memosisikan
individu-individu di dalam KPK bak Tuhan yang seakan tak pernah dan tak boleh
salah.
Harusnya,
KPK dan segala tindakannya yang diharapkan adil dan objektif tetap dilihat
sebagai lembaga dengan kumpulan manusia. Sehebat-hebatnya manusia adalah manusia.
Sebaik-baiknya manusia adalah manusia. Bukan malaikat, bukan pula Tuhan.
Manusia selalu terlekat sifat-sifat dasar kemanusiaannya. Begitu kuatnya
opini yang menyudutkan AU, praktis berbagai bantahan yang dilakukan AU tak
mampu berubah opini yang berkembang saat itu.
”Sumpah Monas” bahkan tak mampu
meredakan opini negatif. Tentu kita masih ingat saat AU membuat sumpah dan
tantangan yang sangat serius: "Gantung
Anas di Monas jika terbukti terlibat korupsi kasus Hambalang." Tak
pernah ada seorang politisi yang berani menyatakan sumpah serupa dan AU tentu
sadar atas ”sumpah” yang
diucapkannya.
Dalam
Islam, siapa pun tidak dibenarkan bersumpah yang sejenis dengan ”huruf qasam” (billahi, wallahi,
tallahi) dengan tujuan kebohongan. Namun, ketika
penjelasan apa pun terkait ketakterlibatannya dalam kasus Hambalang tidak
juga dipercaya publik, sumpah AU harus dipahami sebagai bentuk ”protes” atas
tuduhan dan opini publik yang secara sosial berhasil memojokkan dan menghukum
AU.
Sumpah
AU ini harus dipahami sebagai tantangan besar bagi siapa saja, termasuk media
dan aparat penegak hukum, baik KPK maupun majelis hakim, untuk secara serius
menginvestigasi dan menemukan alat bukti yang kuat terkait keterlibatan AU.
Meski AU sudah melakukan ”sumpah Monas”, tak juga mampu menyurutkan
berkembangnya opini negatif atas dugaan keterlibatan AU dalam kasus
Hambalang.
Opini yang Berubah
Sejak kasus AU memasuki tahapan
persidangan, ada perubahan opini publik yang begitu dinamis terkait kasus AU.
Sebelumnya opini yang berkembang cenderung negatif, namun sejak memasuki
tahap persidangan, opini publik yang berkembang cenderung bergeser ke arah yang positif. Antusiasme sebagian masyarakat untuk mengikuti perkembangan
kasus AU terbilang cukup tinggi.
Selain terlihat dari persidangan
AU yang selalu dipenuhi pengunjung, ini juga tergambar dari komentar-komentar
di media sosial dari mulai yang bernada kritis terhadap KPK karena dinilai
cenderung mencari-cari kesalahan sampai pada komentar tentang kemungkinan AU
memperoleh putusan bebas murni. Perubahan opini ini setidaknya menggambarkan pandangan objektif
dari masyarakat dalam menyikapi kasus AU.
Bila
sebelum tahapan persidangan opini yang terbangun di masyarakat berangkat dari
pemberitaan yang berbasis opini, ketika memasuki tahap persidangan opini apa
pun mau tidak mau harus dibangun atas dasar dan berbasis pada fakta
persidangan. Karena basisnya fakta persidangan, siapa pun, baik dari kubu AU, kubu KPK, maupun masyarakat, tidak lagi bisa
membangun opini yang terlepas begitu saja dari fakta persidangan.
Semua
yang ”berbicara” dan menjadi basis opini adalah fakta persidangan. Maka itu,
siapa pun yang mencoba membangun opini yang bertolak belakang dengan fakta
persidangan pasti akan dicibir masyarakat. Sementara bila ditilik dari fakta persidangan, kecenderungan kuat
”berpihak” pada AU. Lebih dari 80 saksi yang dihadirkan hampir semua
”meringankan” AU.
Praktis hanya saksi Nazaruddin,
Neneng (istri Nazaruddin), dan dua supir Nazaruddin dan Neneng yang berhasil
memberatkan AU meski tampak jelas kesaksian keempatnya penuh dengan
kebohongan.
Padahal saksi-saksi dihadirkan kebanyakan saksi dari JPU
yang semestinya ”memberatkan” AU dan sedikit sekali saksi fakta maupun saksi
ahli yang berasal dari AU.
Dengan
persaksian yang demikian, tak heran bila semua dakwaan JPU terpatahkan di
persidangan. Saksi ramai-ramai justru memberatkan dan membantah dakwaan JPU.
Sekadar contoh persaksian mantan Kepala Divisi Konstruksi Adhi Karya Teuku
Bagus Muhammad Noor yang membantah pemberian mobil Harrier kepada AU sebagai
tanda jadi proyek Hambalang. Teuku Bagus bahkan menjelaskan bahwa dirinya
tidak kenal dan tidak pernah bertemu dan memberi uang kepada AU.
Teuku
Bagus juga menyatakan bahwa dirinya sebelumnya tidak pernah kenal dan bertemu
AU di belahan dunia mana pun. Padahal jelas AU menjadi tersangka karena
tuduhan menerima Harrier dari Adhi Karya. Begitu juga saksi lain seperti Yulianis, Mindo Rosalina Manulang,
Ahmad Mubarok, Ignatius Mulyono, Wafid Muharram, Joyo Winoto, Paul Nelwan,
Wasit Suaidy, Nunung Krisbianto, Opapaci, Metro TV , dan Rakyat Merdeka, dan
Khalilur R Abdullah Sahlawiy justru keterangannya di persidangan berbeda
dengan dakwaan JPU dan memberatkan JPU.
Yang menarik adalah kesaksian
Clara Maureen, bekas pegawai Nazaruddin, yang menjelaskan skenario rekayasa
Nazaruddin dan para pegawainya untuk menjerat AU. Clara dan para pegawai
Nazaruddin disuruh untuk membikin cerita palsu untuk bisa menjerat AU. Kesaksian ini
menjelaskan sebagian proses tentang bagaimana AU menjadi tersangka. Sungguh
miris melihat kasus AU.
Dengan
jeratan dakwaan yang begitu menyeramkan, ternyata tak mampu dibuktikan dengan
barang bukti yang kuat di dalam persidangan. Fakta-fakta persidangan inilah
yang telah menyebabkan terjadi perubahan opini publik dari yang sebelumnya
negatif dan ”menghakimi” menjadi opini yang lebih bersahabat, empatik, dan
simpatik.
Semoga dan memang seharusnya JPU menjadikan fakta persidangan sebagai pertimbangan
dalam membuat tuntutan. Begitu juga majelis hakim mampu membuat putusan
hukuman secara adil dengan mendasarkan pada fakta persidangan dan kebenaran
yang diyakininya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar