Munir,
10 Tahun Menolak Lupa
Tom Saptaatmaja ;
Salah
Satu Penulis
dalam Buku “Munir, Sebuah Kitab Melawan Lupa”
|
KORAN
SINDO, 09 September 2014
Waktu
cepat berlalu. Tak terasa, sudah 10 tahun peristiwa pembunuhan Munir. Pejuang
hak asasi manusia (HAM) asal Batu, Jawa Timur itu meninggal akibat diracun
pada 7 September 2004 dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam.
Almarhum
ke Belanda mendapat beasiswa dari Gereja Belanda untuk studi Hukum
Kemanusiaan di Universitas Utrecht. Setelah 10 tahun para aktivis HAM di
berbagai kawasan di negeri ini menggelar unjuk rasa dan menolak untuk lupa
mengingat kasus Munir masih menjadi misteri. Artinya, siapa aktor intelektual
atau pelaku sesungguhnya pembunuhan Munir lewat racun arsenik hingga kini
masih menjadi teka-teki.
Memang
Pollycarpus pernah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir, tapi banyak
kalangan meragukan Polly sebagai pelaku tunggal. Keputusan Mahkamah Agung
(MA) pada 4 Oktober 2006 juga menyatakan, Pollycarpus tak terbukti membunuh
Munir. Padahal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 20 Desember 2005
menyatakan Pollycarpus terlibat pembunuhan Munir.
Maka
itu, hingga kini masih tanda tanya tentang siapa dalang atau pelaku utama
pembunuh Munir? Sudah 10 tahun para aktivis HAM mencoba berjuang agar si
dalang bisa diadili, tapi perjuangan ini seperti membentur dinding arogansi
hukum di negeri ini. Kita tahu hukum tak memihak yang lemah atau memihak
mereka yang berjuang atas nama kaum lemah seperti Munir.
Suciwati,
istri almarhum, sampai pernah menulis surat terbuka untuk Presiden SBY pada
masa awal kepresidenan akhir 2004. Hingga kini tiap Kamis, Suciwati dan para
korban HAM bahkan masih setiap berdemo di depan Istana Negara, tapi tetap
tidak ada respons dari Presiden. Namun, selama pemerintah dan bangsa ini
mengabaikan Munir, justru Munir akan menjadi legenda yang tidak pernah mati
dalam perjuangan penegakan HAM.
Di
forum internasional mana saja, setiap masalah HAM Indonesia menjadi tema
pembicaraan nama Munir bisa dipastikan disinggung. Apalagi semasa hidup,
Munir memang pernah meraih beberapa penghargaan di antaranya “The Right
Livelihood Award “. Munir pernah mengatakan bahwa “hak-hak manusia dalam
pengertian solidaritas manusia telah menciptakan suatu bahasa baru yang
universal dan sama yang melintasi batasbatas ras, gender, etnis, atau agama”.
Karena
itu, Munir juga menjadi perintis menuju dialog bagi semua orang. Dia pejuang
HAM dengan visi sangat inklusif. Seorang pejuang HAM sejati memang tidak akan
pilih-pilih dalam memperjuangkan kemanusiaan. Bagi pejuang HAM sejati,
kemanusiaan memang jauh lebih penting dari sekadar sekatsekat yang sering
memecahbelah kemanusiaan. Tentu ada yang tak suka dengan sikap Munir itu.
Bagi
para penguasa Orba ketika itu misalnya, Munir adalah duri yang amat dibenci.
Ketidaksukaan penentang HAM pada Munir termanifestasi pada ancaman-ancaman
yang ditujukan kepada Munir pribadi sampai akhirnya dia mati diracun. Visi
HAM Munir kian terbentuk saat ia menjadi mahasiswa di Malang pada era 1980-
an. Skripsinya saja soal nasib kaum buruh. Saat-saat itulah nuraninya mulai
tergugah menyaksikan betapa buruknya nasib buruh.
Tanpa
ragu ia mengalihkan kegiatannya ke pembelaan nasib kelas terhisap ini.
Kemudian Munir menjadi sukarelawan pada Kantor LBH Surabaya. Di tengah potret
buram buruh saat ini yang ditandai dengan banyak buruh migran yang mati atau
disiksa, penulis jadi merindukan sosok seperti Munir. Visi HAM Munir terlihat
pada nama yang diberikan kepada anak pertamanya, Sulthan Alif Allende. Idola
Munir adalah Nabi Muhammad SAW, yang tampak pada nama Alif.
Munir
menganggap Nabi Muhammad adalah pemimpin umat Islam yang berusaha menegakkan
masyarakat madani dengan membebaskan para budak. Munir juga mengagumi
Salvador Allende, mantan Presiden Chile dari Partai Sosialis, yang
digulingkan dan tewas ketika Jenderal Pinochet mengudeta Allende.
Munir
akhirnya juga layak sebagai pejuang demokrasi dengan visi HAM yang sejati
atau tidak palsu tanpa motif mencari jabatan atau uang. Ini layak dikenang di
tengah kondisi perpolitikan kita yang mengagungkan materi dan kekuasaan serta
mengabaikan etika atau moralitas sehingga semua cara dihalalkan. Simak,
semasa hidup, Munir tetap suka pakai sepeda motor.
Bandingkan
dengan mantan aktivis 1998 yang kini ikut dalam sistem kekuasaan, rambutnya
amat klimis, tampilan fisiknya perlente, mobil mewah menjadi penghias,
membela rakyat sekadar jadi retorika. Para aktivis yang dulu pernah menjadi
korban pun, ketika menikmati kursi kekuasaan, terbukti akhirnya melupakan
komitmen HAM yang dulu sama-sama diperjuangkan bersama Munir. Memang tidak
banyak aktivis yang memiliki konsistensi untuk berjuang menegakkan keadilan
sebagaimana diteladankan Munir.
Hendropriyono
Maka
itu, para aktivis HAM yang masih berdiri di belakang Munir terus menyuarakan
segera dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc . Dulu tuntutan ini sudah disuarakan
pada Presiden SBY yang hanya bisa berjanji tanpa bukti. Menyambut kemenangan
Jokowi dalam Pilpres 2014, tuntutan serupa juga disampaikan. Jokowi
menjanjikan akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Tapi,
tak sedikit kalangan ragu karena Hendropriyono yang ketika Munir dibunuh
aktif di Badan Intelijen Negara (BIN) kini justru menduduki posisi penting di
Tim Transisi. Memang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebuah keniscayaan.
Pengadilan inilah yang memiliki kompetensi untuk mengadili berbagai bentuk
pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pembunuhan Munir.
Kita
berharap saja Pengadilan HAM Ad Hoc tidak akan ditunda lagi pembentukannya.
Semakin kita menunda semakin membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Ini
menjadi celah dalam demokrasi kita. Menurut Menlu AS John Kerry yang ikut
memperingati 10 tahun pembunuh Munir, pengungkapan kasus Munir menjadi ujian
bagi demokrasi Indonesia.
Namun,
jangan lupa tujuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc bukanlah untuk
melampiaskan dendam. Setelah diketahui siapa yang bertanggung jawab, termasuk
siapa dalang pembunuhan Munir, proses rekonsiliasi harus dilakukan.
Dengan
demikian, kita akan melihat masyarakat yang mau belajar saling memaafkan.
Dengan memaafkan, bangsa ini akan bisa bersatu dan tidak tersandera masa lalu
sehingga bisa bekerja total bagi masa depan yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar