Kamis, 11 September 2014

Munir, 10 Tahun Menolak Lupa

Munir, 10 Tahun Menolak Lupa

Tom Saptaatmaja  ;   Salah Satu Penulis
dalam Buku “Munir, Sebuah Kitab Melawan Lupa”
KORAN SINDO, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Waktu cepat berlalu. Tak terasa, sudah 10 tahun peristiwa pembunuhan Munir. Pejuang hak asasi manusia (HAM) asal Batu, Jawa Timur itu meninggal akibat diracun pada 7 September 2004 dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam.

Almarhum ke Belanda mendapat beasiswa dari Gereja Belanda untuk studi Hukum Kemanusiaan di Universitas Utrecht. Setelah 10 tahun para aktivis HAM di berbagai kawasan di negeri ini menggelar unjuk rasa dan menolak untuk lupa mengingat kasus Munir masih menjadi misteri. Artinya, siapa aktor intelektual atau pelaku sesungguhnya pembunuhan Munir lewat racun arsenik hingga kini masih menjadi teka-teki.

Memang Pollycarpus pernah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir, tapi banyak kalangan meragukan Polly sebagai pelaku tunggal. Keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 4 Oktober 2006 juga menyatakan, Pollycarpus tak terbukti membunuh Munir. Padahal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 20 Desember 2005 menyatakan Pollycarpus terlibat pembunuhan Munir.

Maka itu, hingga kini masih tanda tanya tentang siapa dalang atau pelaku utama pembunuh Munir? Sudah 10 tahun para aktivis HAM mencoba berjuang agar si dalang bisa diadili, tapi perjuangan ini seperti membentur dinding arogansi hukum di negeri ini. Kita tahu hukum tak memihak yang lemah atau memihak mereka yang berjuang atas nama kaum lemah seperti Munir.

Suciwati, istri almarhum, sampai pernah menulis surat terbuka untuk Presiden SBY pada masa awal kepresidenan akhir 2004. Hingga kini tiap Kamis, Suciwati dan para korban HAM bahkan masih setiap berdemo di depan Istana Negara, tapi tetap tidak ada respons dari Presiden. Namun, selama pemerintah dan bangsa ini mengabaikan Munir, justru Munir akan menjadi legenda yang tidak pernah mati dalam perjuangan penegakan HAM.

Di forum internasional mana saja, setiap masalah HAM Indonesia menjadi tema pembicaraan nama Munir bisa dipastikan disinggung. Apalagi semasa hidup, Munir memang pernah meraih beberapa penghargaan di antaranya “The Right Livelihood Award “. Munir pernah mengatakan bahwa “hak-hak manusia dalam pengertian solidaritas manusia telah menciptakan suatu bahasa baru yang universal dan sama yang melintasi batasbatas ras, gender, etnis, atau agama”.

Karena itu, Munir juga menjadi perintis menuju dialog bagi semua orang. Dia pejuang HAM dengan visi sangat inklusif. Seorang pejuang HAM sejati memang tidak akan pilih-pilih dalam memperjuangkan kemanusiaan. Bagi pejuang HAM sejati, kemanusiaan memang jauh lebih penting dari sekadar sekatsekat yang sering memecahbelah kemanusiaan. Tentu ada yang tak suka dengan sikap Munir itu.

Bagi para penguasa Orba ketika itu misalnya, Munir adalah duri yang amat dibenci. Ketidaksukaan penentang HAM pada Munir termanifestasi pada ancaman-ancaman yang ditujukan kepada Munir pribadi sampai akhirnya dia mati diracun. Visi HAM Munir kian terbentuk saat ia menjadi mahasiswa di Malang pada era 1980- an. Skripsinya saja soal nasib kaum buruh. Saat-saat itulah nuraninya mulai tergugah menyaksikan betapa buruknya nasib buruh.

Tanpa ragu ia mengalihkan kegiatannya ke pembelaan nasib kelas terhisap ini. Kemudian Munir menjadi sukarelawan pada Kantor LBH Surabaya. Di tengah potret buram buruh saat ini yang ditandai dengan banyak buruh migran yang mati atau disiksa, penulis jadi merindukan sosok seperti Munir. Visi HAM Munir terlihat pada nama yang diberikan kepada anak pertamanya, Sulthan Alif Allende. Idola Munir adalah Nabi Muhammad SAW, yang tampak pada nama Alif.

Munir menganggap Nabi Muhammad adalah pemimpin umat Islam yang berusaha menegakkan masyarakat madani dengan membebaskan para budak. Munir juga mengagumi Salvador Allende, mantan Presiden Chile dari Partai Sosialis, yang digulingkan dan tewas ketika Jenderal Pinochet mengudeta Allende.

Munir akhirnya juga layak sebagai pejuang demokrasi dengan visi HAM yang sejati atau tidak palsu tanpa motif mencari jabatan atau uang. Ini layak dikenang di tengah kondisi perpolitikan kita yang mengagungkan materi dan kekuasaan serta mengabaikan etika atau moralitas sehingga semua cara dihalalkan. Simak, semasa hidup, Munir tetap suka pakai sepeda motor.

Bandingkan dengan mantan aktivis 1998 yang kini ikut dalam sistem kekuasaan, rambutnya amat klimis, tampilan fisiknya perlente, mobil mewah menjadi penghias, membela rakyat sekadar jadi retorika. Para aktivis yang dulu pernah menjadi korban pun, ketika menikmati kursi kekuasaan, terbukti akhirnya melupakan komitmen HAM yang dulu sama-sama diperjuangkan bersama Munir. Memang tidak banyak aktivis yang memiliki konsistensi untuk berjuang menegakkan keadilan sebagaimana diteladankan Munir.

Hendropriyono

Maka itu, para aktivis HAM yang masih berdiri di belakang Munir terus menyuarakan segera dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc . Dulu tuntutan ini sudah disuarakan pada Presiden SBY yang hanya bisa berjanji tanpa bukti. Menyambut kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014, tuntutan serupa juga disampaikan. Jokowi menjanjikan akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Tapi, tak sedikit kalangan ragu karena Hendropriyono yang ketika Munir dibunuh aktif di Badan Intelijen Negara (BIN) kini justru menduduki posisi penting di Tim Transisi. Memang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebuah keniscayaan. Pengadilan inilah yang memiliki kompetensi untuk mengadili berbagai bentuk pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pembunuhan Munir.

Kita berharap saja Pengadilan HAM Ad Hoc tidak akan ditunda lagi pembentukannya. Semakin kita menunda semakin membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Ini menjadi celah dalam demokrasi kita. Menurut Menlu AS John Kerry yang ikut memperingati 10 tahun pembunuh Munir, pengungkapan kasus Munir menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia.

Namun, jangan lupa tujuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc bukanlah untuk melampiaskan dendam. Setelah diketahui siapa yang bertanggung jawab, termasuk siapa dalang pembunuhan Munir, proses rekonsiliasi harus dilakukan.

Dengan demikian, kita akan melihat masyarakat yang mau belajar saling memaafkan. Dengan memaafkan, bangsa ini akan bisa bersatu dan tidak tersandera masa lalu sehingga bisa bekerja total bagi masa depan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar