Pendukung
Aktivitas Publik
Paulus Hariyono ;
Dosen
Fakultas Arsitektur dan Desain
Universitas
Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 19 September 2014
Rubrik ’’Piye Jal’’ harian ini beberapa
waktu lalu memuat keluhan pembaca lewat judul ’’Lesehan di Bandara’’. Intinya,
ketika menjemput rekan di Bandara A Yani Semarang, pengirim SMS pada rubrik
itu terpaksa lesehan mengingat jumlah kursi di ruang tunggu terbatas. Ia
tidak menyebut secara rinci lesehan di mana tapi masyarakat maklum bahwa
bandara itu perlu pembenahan.
Hal ini mengingatkan penulis ketika
menjemput tamu di Stasiun Tawang sekitar pukul 23.00. Penulis beserta
beberapa mahasiswa kebingungan mencari tempat duduk. Terpaksa, kami duduk,
tepatnya bersandar pada motor — entah milik siapa— di areal parkir.
Padahal menunggu kedatangan tamu bisa
memakan waktu setengah jam lebih. Dari kejauhan tempat parkir, terlihat
outlet makanan yang cukup terkenal. Penulis berpikir mungkin sambil makan
dapat menumpang duduk dan merasakan sejuknya ruang ber-AC. Ternyata dugaan
penulis meleset.
Outlet tersebut memang ada AC tetapi tidak
lagi mengeluarkan udara sejuk. Menurut Shirvani (2005), elemen bentukan fisik
kota (urban) antara lain adalah dukungan aktivitas masyarakat kota.
Untuk peradaban abad ke-21, ruang tunggu di
suatu tempat umum yang tidak memadai merupakan suatu indikator masih belum
ada daya dukung kemajuan pada manusianya, sementara di sisi lain teknologi
sudah maju pesat.
Perbedaan taraf kemajuan antara manusia dan
teknologi dapat juga disebut cultural lag, yaitu kesenjangan taraf kemajuan
pada unsur-unsur kebudayaan yang dialami suatu masyarakat.
Sebagai kota yang ingin menuju taraf
internasional, Semarang seharusnya memajukan sikap manusianya. Termasuk
kebijakannya, tidak sekadar mengejar teknologi yang disimbolkan melalui
kehadiran videotron dan peranti layar sentuh.
Taraf kemajuan manusia dan teknologi
seharusnya seimbang. Idealnya, ruang tunggu pendukung aktivitas masyarakat
kota modern yang diikuti kemajuan manusianya dapat dicontohkan oleh Bandara
Internasional Changi Singapura.
Di bandara yang memiliki predikat ternyaman
di dunia, komputerisasi mendukung kelancaran administrasi. Meskipun banyak
menggunakan kaca, tetap berbasis green yang hemat energi (Widodo, 2009). Dari
segi manusianya, tata tertib dan kenyamanan pengunjung juga diperhatikan.
Changi dilengkapi mal yang luas dan nyaman memberikan dampak sosial ekonomi
positif.
Bandara ini juga memiliki prestise
tersendiri karena sering digunakan sebagai pusat pameran pesawat dunia.
Singapura yang memiliki areal tidak luas, dapat memberikan fasilitas publik
yang luas dan fasilitas pendukung aktivitas yang nyaman.
Faktor
Kenyamanan
Ruang publik seperti pedestrian di Orchard
Road sebagai kawasan unggulan kota memberi kenyamanan pengunjung. Di beberapa
tempat ada rest area. Di Indonesia tempat duduk yang nyaman pada malam hari
kadang digunakan untuk tidur tunawisma. Karena itu, masyarakat bisa melihat
tempat duduk itu dirancang sedemikian rupa sehingga tidak nyaman untuk tidur.
Sekalipun Tawang belum jelas hendak
diapakan terkait dengan kendala rob dan banjir pada musim hujan, selama masih
difungsikan sebagai stasiun utama, hendaknya pengelola memperhatikan
kenyamanan calon penumpang, pengantar atau penjemput.
Baru-baru ini PT KAI berencana membenahi
kawasan itu dengan kembali mengambil jalan di depannya untuk perluasan areal
stasiun. Semarang yang juga dicita-citakan jadi kota wisata, perlu memberi
kenyamanan pada pengunjung dari luar kota.
Sebagai contoh, pada masa menjelang Lebaran
dapat dilihat ada beberapa papan penunjuk arah ke luar kota. Papan petunjuk
ini tampaknya dibuat secara darurat dan beberapa tumpang tindih dengan papan
petunjuk yang ada.
Pada masa mendatang perlu konsep yang lebih
jelas tentang papan petunjuk kota dan papan petunjuk menuju tempat-tempat
penting, termasuk panduan untuk kawasan wisata. Kota yang maju perlu disertai
dengan pendukung aktivitas publik dan budaya informasi yang jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar