Selasa, 02 September 2014

Pendidikan Moral Pancasila dan Revolusi Mental

Pendidikan Moral Pancasila dan Revolusi Mental

Mahnan Marbawi dan Baedowi  ;   Aktivis Jakarta Education Forum
MEDIA INDONESIA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

ADA banyak alasan mengapa kita perlu mempertahankan ideologi negara Pancasila. Sejak era reformasi, Pancasila terkesan ditinggalkan dan dilupakan begitu saja karena dijadikan alat penetrasi ideologis yang cukup kuat bagi kekuasaan. Sebagai akibatnya, saat ini banyak siswa di sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi bukan hanya tak memahami latar belakang filosofis mengapa Pancasila dijadikan sebagai ideologi negara. Bahkan untuk menghafal kelima sila dalam Pancasila, mereka juga sudah tak sanggup. Ini pertanda bahwa Pancasila sangat rentan untuk dilupakan, bahkan dihilangkan. Gejala munculnya ideologi selain Pancasila kerap ditemui di tengahtengah masyarakat. Untunglah Jokowi-JK, pascakemenangan lalu, mulai lagi mengingatkan masyarakat untuk tidak melupakan Pancasila melalui salam tiga jari yang berarti Persatuan Indonesia.

Jalan revolusi mental melalui salam tiga jari harus terus dilakukan melalui proses deradikalisasi Pancasila, bukan hanya sebagai mata ajar, melainkan juga praktik moral yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kita patut khawatir bahwa saat ini masih marak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sikap-sikap tidak terpuji yang berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja korupsi yang semakin masif, intoleransi terhadap perbedaan yang menjurus kepada tindak kekerasan dalam penyelesaian masalah, kerakusan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis.

Ketika mendeklarasikan jargon revolusi mental pada Mei 2014, Jokowi dengan tegas merujuk ajaran trisakti Bung Karno yang menyoroti tiga hal, yaitu daulat politik, daulat ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya. “Pilar ketiga trisakti ialah mem bangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat keindonesiaan semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilainilai luhur bangsa kita. Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini,“ kata Jokowi.

Ganggu kesinambungan

Ada tantangan global yang harus dihadapi bangsa ini.Untuk menghadapi tantangan global tersebut, kita membutuhkan sebuah dasar ideologi yang kuat. Bangsa ini telah punya ideologi tersebut yaitu Pancasila. Akan tetapi, fakta di lapangan, Pancasila sejak awal reformasi seolah tidak laku di pasaran. Segala yang berhubungan dengan Orde Baru termasuk Pancasila dianggap tidak layak atau tidak pantas untuk didiskusikan ulang. Fenomena ini jelas akan mengganggu kesinambungan pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik, mengingat Indonesia ialah negara yang sangat plural dari aspek budaya, etnik, sosial, bahasa, hingga agama. Tanpa kesadaran untuk mengembalikan elan dasar Pancasila sebagai ideologi negara, sulit rasanya membangun masa depan Indonesia. Mungkin relevan jika kita bertanya, mengapa Pancasila terkesan tidak laku sebagai ideologi negara?

Sebenarnya ada tiga alasan kenapa Pancasila `tidak laku' pascareformasi. Seperti yang dijelaskan Azyumardi Azra, pertama, Pancasila hanya dijadikan kendaraan politik oleh Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, liberalisme politik yang dilakukan BJ Habibie yang menghapuskan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ketiga, lahirnya desentralisasi dan otonomi daerah yang mendorong primordialisme kedaerahan (Tilaar: 2007)

Pancasila sebagai pandangan hidup dalam berbangsa, bernegara, untuk menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika dikaitkan dengan revolusi, proses penyadaran akan nilai-nilai luhur Pancasila yang dimiliki ber sama sebagai simbol pemer satu bangsa (sense of belonging) harus mulai dilakukan kembali. Revolusi mental ialah melakukan reinterpretasi terhadap politik budaya negara dalam pendidikan berdasarkan Pancasila dan budaya nasional. Revolusi mental hanya bisa dilakukan dengan cara menguatkan kembali nilai-nilai Pancasila yang diinternalisasikan dalam pendidikan, dihayati individu, dan tecermin dalam perilaku keadaban individu masyarakat Indonesia. Revolusi mental harus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara untuk mengukuhkan NKRI dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk mengembalikan peran Pancasila sebagai ideologi negara satu-satunya, proses penyemaiannya haruslah melalui sebuah proses pendidikan yang baik dan benar, bukan melalui proses indoktrinasi sebagaimana dilakukan rezim Orde Baru. Nilai-nilai Pancasila harus memiliki basis kontekstual yang jelas dan terukur melalui sebuah proses yang panjang dan terusmenerus. Sebagaimana disadari bahwa dalam jargon revolusi terdapat sebuah proses yang panjang, bukan sebuah perubahan yang cepat melalui kekuatan anarkis. Mengacu kepada arti kata revolusi, maka momentum untuk mengembalikan peran Pancasila menjadi penting bagi bangsa ini.

Jika kita memercayai proses pendidikan sebagai jalan revolusi mental yang mengusung kembali nilai-nilai Pancasila, penubuhan dan penumbuhan nilai-nilai Pancasila tersebut harus diterjemahkan secara cerdas dalam skema proses belajar-mengajar yang kreatif dan dinamis. Guru-guru yang terlatih dengan baik merupakan kata kunci lanjutan yang dibutuhkan dunia pendidikan kita saat ini. 

Workshop dan pelatihan yang bertanggung jawab tentang upaya penubuhan dan penumbuhan nilai-nilai Pancasila harus terlebih dahulu dilakukan terhadap para guru dan manajemen sekolah. Hanya dengan proses pendidikan yang baik dan benar sajalah kita bisa melanggengkan ideologi, eksistensi, dan identitas bangsa ini secara bertanggung jawab.

Nilai universal

Dalam Kurikulum 2013 pemerintah memang telah memasukkan kembali pendidikan moral Pancasila dan kewarganegaraan yang sebelumnya tidak ada penyebutan kata Pancasila. Momentum ini juga penting untuk memulai kembali proses deradikalisasi Pancasila secara benar dan bertanggung jawab agar menjadi karakter kolektif bangsa. Karakter kolektif, meminjam istilah Yudi Latif (Kompas 21/8), ialah ke sadaran kebangsaan yang didasarkan pada asas kebersa maan dan gotong royong.

Selain itu, rujukan u tama nilai-nilai karak ter kolektif tersebut ialah moral Pancasila lah dimanifestasikan yang telah dimanifestasikan dalam butir-butir Pancasila.Tidak mungkin mengambil nilai-nilai sebagai rujukan moral dari satu agama, keyakinan, atau ajaran lokal, di tengah keragaman agama dan keyakinan yang ada di Indonesia. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila memiliki kesamaan dengan nilai-nilai universal dalam setiap ajaran agama apa pun yang ada di Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila menjadi penting disampaikan kepada generasi muda dan masyarakat melalui pendidikan dalam kerangka memberikan semacam life skill untuk generasi mendatang. Life skill tersebut ialah sebagai berikut.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan life skill tentang religiositas dan spiritualitas sesuai agama dan kepercayaan/keyakinan masing-masing dengan tetap saling menghargai. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tentang life skill sikap dan perilaku yang berkeadaban dan memiliki kepekaan terhadap kemanusiaan dan keadilan.Sila ketiga, Persatuan Indonesia, ialah life skill nasionalisme. Menanamkan nilai nasionalisme menjadi penting dalam konteks globalisme yang tanpa jiwa seperti saat ini. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, memberikan life skill tentang hidup berdemokrasi dalam bermasyarakat. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memberikan life skill tentang kepekaan terhadap kehidupan sosial, kepekaan terhadap sesama sebagai makhluk sosial yang menjunjung tinggi keadilan bagi semua pihak.

Nilai-nilai Pancasila perlu dikuasai individu di dalam komunitasnya sesuai dengan habitusnya dan lingkungan tempat dia berada. Pancasila seharusnya terinternalisasi di dalam kehidupan seharihari. Pancasila perlu dihayati dan dilaksanakan seorang individu sebagai warga dari keluarganya, warga dari kelompok agama dan keyakinannya, warga dari masyarakat lokalnya, warga dari berbagai profesi dan pekerjaannya. (Tilaar: 2007)

Meski demikian, jangan sampai pendidikan tentang moral Pancasila kembali ke dalam gaya Orde Baru yang hanya menjadi alat doktrin dan dimanipulasi kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar