Politik
Transisi Jokowi
Djayadi Hanan ;
Dosen Ilmu Politik
Universitas Paramadina;
Direktur Eksekutif SMRC
|
MEDIA
INDONESIA, 01 September 2014
PERGANTIAN pemerintahan
(melalui pemilu) merupakan hal rutin dan menjadi salah satu ciri
demokrasi.Karena itu, transisi dari satu pimpinan pemerintahan ke pimpinan
pemerintahan berikutnya merupakan hal biasa. Kalaupun ada perhatian khusus,
biasanya itu tertuju pada figur siapa saja yang akan mengisi struktur di
bawah pemimpin pemerintahan yang baru.Dalam proses transisi pemerintahan,
nuansa administratif mestinya lebih menonjol jika dibandingkan dengan nuansa
politiknya.
Sebagai negara
demokrasi, transisi pemerintahan di Indonesia mestinya juga merupakan hal
biasa. Namun, proses transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi, yang baru saja
resmi dimulai, menyedot perhatian banyak pihak. Juga, terkesan riuh-rendah
karena banyaknya pihak yang terlibat: elite politik, intelektual dan
pengamat, media massa, juga para relawan. Manuver dan intrik politik terjadi
di sana-sini. Nuansa politiknya lebih mengemuka.
Penjelasannya terkait
dengan tiga alasan: ketiadaan tradisi transisi, janji Jokowi untuk membentuk
pemerintahan tidak berbasis transaksi, dan prospek relasi koalisi-oposisi.
Tradisi transisi
Publik Indonesia sudah
mafhum bahwa tidak ada tradisi transisi pemerintahan yang mulus di Indonesia
sejak era kemerdekaan. Dari Soekarno ke Soeharto dan dari Soeharto ke Habibie
bukanlah transisi pemerintahan yang normal. Di era reformasi juga belum ada
contoh yang baik.Bahkan, Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur setelah
melalui proses pemakzulan (impeachment)
dan sempat ditandai dengan dekrit presiden untuk pembubaran lembaga
legislatif.
Kesempatan untuk
transisi administrasi pemerintahan yang mulus terbuka di 2004. Setelah
melalui pemilu presiden langsung pertama, SBY terpilih secara demokratis.
Seharusnya terbangun tradisi transisi yang ditandai dengan penyerahan
administrasi pemerintahan oleh Megawati kepada SBY. Namun, itu tidak terjadi.
Megawati terkesan terluka dan tidak legowo dengan terpilihnya SBY. Sampai
menjelang akhir pemerintahan SBY, Megawati hampir tak pernah menghadiri
acara-acara kenegaraan yang menempatkan dia sebagai salah satu undangan.
Transisi pemerintahan
kepada Jokowi masih diwarnai nuansa ketidakharmonisan Megawati dan SBY itu.
Sebagai ketua partai pengusung utama pencalonan Jokowi, preferensi Megawati
diduga masih mewarnai proses interaksi Jokowi dengan SBY, setidaknya di masa
awal seperti masa transisi ini. SBY juga ketua umum partai berkuasa dan masih
cukup besar di masa pemerintahan Jokowi nanti. SBY dan Megawati tetap
potensial bersaing atau mungkin berkawan.
Memang pilihan paling elok ialah
memberi kesempatan kepada Jokowi untuk secara leluasa merencanakan dan
menjalankan proses transisi dari SBY. Pilihan tersebut juga elok untuk
menunjukkan bahwa dua tokoh bangsa, SBY dan Megawati, dapat mengesampingkan
segala perbedaan pribadi mereka demi bangsa.
Tradisi transisi
administrasi pemerintahan sesungguhnya memiliki makna lebih substantif dan
strategis. Anggaran nasional untuk tahun pertama pemerintahan baru
direncanakan dan diputuskan pemerintahan yang lama. Transisi memungkinkan
kedua pemimpin pemerintahan untuk duduk bersama dan melihat agenda-agenda
mana yang tinggal dilaksanakan pemerintahan baru dan bagian mana yang dapat
mengakomodasi agenda awal pemerintahan baru.
Segera memasukkan
agenda awal pemerintahan baru, bagi Jokowi, menjadi lebih penting lagi. Di
masa awal pemerintahannya, Jokowi perlu menunjukkan bahwa memang ada
perubahan-perubahan penting dalam praktik pemerintahan. Ini sangat perlu
untuk memelihara energi dukungan publik untuk memuluskan agenda prioritas
selanjutnya. Bila di awal pemerintahannya akibat hanya menjalankan agenda dan
anggaran yang sudah diputuskan pemerintahan yang lama Jokowi kehilangan
dukungan publik, akan lebih sulit untuk menjalankan agenda selanjutnya.
Maka, memang sangat
penting bagi Jokowi untuk secara substantif benar-benar membahas agenda pemerintahan
ini bersama tim transisi yang sudah disiapkan SBY. Setelah selesai dengan
SBY, tantangan selanjutnya bagi Jokowi ialah memastikan agenda transisi itu
juga tidak dihalangi lembaga legislatif.
Janji Jokowi
Untuk melaksanakan
janjinya, tantangan terbesar Jokowi ialah membangun arsitektur kabinet yang
efektif dari sisi agenda pemerintahan dan secara politik akomodatif agar
stabilitas kerja pemerintahan terjaga.
Peran partai politik,
baik dalam proses pencalonan maupun proses terpilihnya Jokowi, tak dapat
dimungkiri. Itulah realitas politik. Bahwa Jokowi tetap memerlukan dukungan
partai politik selama pemerintahannya nanti juga realitas politik.
Mengakomodasi keberadaan partai politik dalam arsitektur administrasi
pemerintahan ialah pernyataan dari pengakuan atas realitas politik itu. Betul
bahwa mungkin saja partai-partai politik bergabung dalam koalisi pemenangan
Jokowi tanpa transaksi. Namun, itu tidak berarti mereka hanya akan mendukung
Jokowi tanpa ada akomodasi dan kompromi.
Realitas politik yang
lain, Jokowi didukung para relawan nonpartai.Sampai batas tertentu,
keberadaan relawan nonpartai tersebut mencerminkan harapan publik yang
demikian tinggi akan perlunya perubahan. Salah satu harapan itu ialah Jokowi
menjalankan pemerintahannya tanpa terkesan `dikontrol' partai politik.
Memasukkan menteri dari kalangan nonpartai politik ialah salah satu
pernyataan dari mengakomodasi tuntutan publik tersebut.
Pejabat politik
semestinya sangat normal kalau berasal dari partai politik. Menteri, sebagai
salah satu jenis pejabat politik, mestinya tak masalah berasal dari partai
politik. Dalam sistem presidensial, demikianlah juga semestinya. Sepanjang
presiden menganggap cocok untuk mengangkat seseorang dari partai politik
sebagai menteri, itu merupakan hak prerogatif presiden. Namun, apa boleh
buat, publik telanjur sedang tak percaya dengan partai politik. Menurut riset
Indikator Politik Indonesia (Juni 2013), misalnya, hanya 30% pemilih
Indonesia yang memandang partai politik secara positif. Angka yang sama juga
berlaku untuk politisi.
Bagi Jokowi,
menyeimbangkan tuntutan dari dua realitas politik itu ibarat berperahu di
antara dua karang. Kalau tak seimbang, bisa pecah berantakan terhempas ke
salah satu karang atau terhempas kepada keduanya.
Jokowi harus mencari
jalan tengah, tapi tetap mengambil posisi memimpin. Dengan tegas dia,
misalnya, bisa berprinsip bahwa proporsi menteri nonpartai harus lebih banyak
daripada yang berasal dari partai. Kementerian yang menjalankan agenda
prioritas pertama, kedua, dan ketiga diisi orang-orang yang berada langsung
di bawah `kontrol' presiden tanpa ada kemungkinan campur tangan partai. Semua
menteri, dari partai maupun nonpartai, harus diseleksi dengan kriteria dan
proses yang sama. Kriteria menteri haruslah: mau bekerja, bersih dari
korupsi, mau dan terbukti mampu hidup sederhana, memiliki kompetensi dan
pengalaman di bidang yang akan ditempati, dan sebagainya. Jangan lupa,
prosesnya harus sedapat mungkin transparan kepada publik.
Prospek relasi koalisi-oposisi
Bila tidak hati-hati,
pemerintahan Jokowi dapat terjebak pada pemerintahan terbelah (divided government), bukan tidak
mungkin menjadi pemerintahan minoritas. Masa transisi ini menentukan apakah
hal itu akan terjadi atau tidak.
Bagaimanapun,
membentuk koalisi adalah pilihan, bukan keharusan bagi presiden. Yang paling
penting ialah konsekuensi dari pilihan tersebut. Membentuk koalisi mayoritas,
misalnya dari sisi politik, akan lebih memungkinkan tersedianya stabilitas
hubungan eksekutif-legislatif sehingga lebih kondusif bagi agenda
pemerintahan. Bertahan dengan koalisi minoritas--Jokowi sudah
memilikinya--juga dapat dianggap sebagai sebuah pilihan. Yang penting ialah
Jokowi menyadari betul bahwa pilihan-pilihan yang ia lakukan selama masa
transisi ini berpengaruh pada prospek relasi koalisi-oposisi selama lima
tahun ke depan.
Potensi untuk
pemerintahan terbelah--parlemen dikuasai oposisi, eksekutif dikuasai
koalisi--sudah ada saat ini. Bila itu memang menjadi pilihan Jokowi, dia dan
timnya harus menyiapkan strategi selama lima tahun ke depan untuk memuluskan
agenda-agenda pemerintahannya.Strategi pokok yang mungkin dilakukan ialah
membangun koalisi ad hoc per agenda pemerintahan. Strategi pokok lainnya
ialah memperkuat koalisi minoritas yang sudah dimiliki Jokowi saat ini. Itu
artinya komunikasi politik antarpartai pendukung Jokowi saat ini haruslah
lancar bebas tanpa hambatan.
Kalau pilihan Jokowi
ialah membangun koalisi mayoritas (sederhana ataupun oversized), Jokowi harus segera memutuskan hendak menggandeng
partai mana. Yang paling mungkin selama masa transisi ini, misalnya, Partai
Demokrat, sebab ada alasan untuk terus-menerus berinteraksi karena alasan
transisi. Opsi-opsi lain dengan Golkar dan partai lainnya juga harus
dipertimbangkan dengan serius.
Kemauan dan keterampilan Jokowi dan timnya
dalam melakukan komunikasi politik akan menentukan berhasiltidaknya upaya
ini. Jangan sampai pemerintahan terbelah terjadi akibat kelemahan dalam lobi
dan komunikasi politik. Lebih parah lagi bila karena keengganan dalam
melakukannya.
Keengganan dan
ketidakmampuan dalam berkomunikasi politik juga bisa berakibat lebih
parah.Jokowi bisa ditinggalkan anggota koalisi yang membantu pemenangannya
dalam pemilihan presiden. Sebaiknya Jokowi tidak memilih opsi tersebut. Kalau
menjadi presiden minoritas (kekuatan PDIP hanya sekitar 19%), kemungkinan
gaduhnya hubungan presiden dengan DPR selama lima tahun mendatang sulit
dihindari. Politik transisi Jokowi mesti mempertimbangkan hal itu
sebaik-baiknya dan sehati-hatinya, tapi juga harus cepat karena waktu yang
sangat singkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar