Selasa, 02 September 2014

Politik Transisi Jokowi

Politik Transisi Jokowi

Djayadi Hanan  ;   Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina;
Direktur Eksekutif SMRC
MEDIA INDONESIA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PERGANTIAN pemerintahan (melalui pemilu) merupakan hal rutin dan menjadi salah satu ciri demokrasi.Karena itu, transisi dari satu pimpinan pemerintahan ke pimpinan pemerintahan berikutnya merupakan hal biasa. Kalaupun ada perhatian khusus, biasanya itu tertuju pada figur siapa saja yang akan mengisi struktur di bawah pemimpin pemerintahan yang baru.Dalam proses transisi pemerintahan, nuansa administratif mestinya lebih menonjol jika dibandingkan dengan nuansa politiknya.

Sebagai negara demokrasi, transisi pemerintahan di Indonesia mestinya juga merupakan hal biasa. Namun, proses transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi, yang baru saja resmi dimulai, menyedot perhatian banyak pihak. Juga, terkesan riuh-rendah karena banyaknya pihak yang terlibat: elite politik, intelektual dan pengamat, media massa, juga para relawan. Manuver dan intrik politik terjadi di sana-sini. Nuansa politiknya lebih mengemuka.

Penjelasannya terkait dengan tiga alasan: ketiadaan tradisi transisi, janji Jokowi untuk membentuk pemerintahan tidak berbasis transaksi, dan prospek relasi koalisi-oposisi.

Tradisi transisi

Publik Indonesia sudah mafhum bahwa tidak ada tradisi transisi pemerintahan yang mulus di Indonesia sejak era kemerdekaan. Dari Soekarno ke Soeharto dan dari Soeharto ke Habibie bukanlah transisi pemerintahan yang normal. Di era reformasi juga belum ada contoh yang baik.Bahkan, Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur setelah melalui proses pemakzulan (impeachment) dan sempat ditandai dengan dekrit presiden untuk pembubaran lembaga legislatif.

Kesempatan untuk transisi administrasi pemerintahan yang mulus terbuka di 2004. Setelah melalui pemilu presiden langsung pertama, SBY terpilih secara demokratis. Seharusnya terbangun tradisi transisi yang ditandai dengan penyerahan administrasi pemerintahan oleh Megawati kepada SBY. Namun, itu tidak terjadi. Megawati terkesan terluka dan tidak legowo dengan terpilihnya SBY. Sampai menjelang akhir pemerintahan SBY, Megawati hampir tak pernah menghadiri acara-acara kenegaraan yang menempatkan dia sebagai salah satu undangan.

Transisi pemerintahan kepada Jokowi masih diwarnai nuansa ketidakharmonisan Megawati dan SBY itu. Sebagai ketua partai pengusung utama pencalonan Jokowi, preferensi Megawati diduga masih mewarnai proses interaksi Jokowi dengan SBY, setidaknya di masa awal seperti masa transisi ini. SBY juga ketua umum partai berkuasa dan masih cukup besar di masa pemerintahan Jokowi nanti. SBY dan Megawati tetap potensial bersaing atau mungkin berkawan. 

Memang pilihan paling elok ialah memberi kesempatan kepada Jokowi untuk secara leluasa merencanakan dan menjalankan proses transisi dari SBY. Pilihan tersebut juga elok untuk menunjukkan bahwa dua tokoh bangsa, SBY dan Megawati, dapat mengesampingkan segala perbedaan pribadi mereka demi bangsa.

Tradisi transisi administrasi pemerintahan sesungguhnya memiliki makna lebih substantif dan strategis. Anggaran nasional untuk tahun pertama pemerintahan baru direncanakan dan diputuskan pemerintahan yang lama. Transisi memungkinkan kedua pemimpin pemerintahan untuk duduk bersama dan melihat agenda-agenda mana yang tinggal dilaksanakan pemerintahan baru dan bagian mana yang dapat mengakomodasi agenda awal pemerintahan baru.

Segera memasukkan agenda awal pemerintahan baru, bagi Jokowi, menjadi lebih penting lagi. Di masa awal pemerintahannya, Jokowi perlu menunjukkan bahwa memang ada perubahan-perubahan penting dalam praktik pemerintahan. Ini sangat perlu untuk memelihara energi dukungan publik untuk memuluskan agenda prioritas selanjutnya. Bila di awal pemerintahannya akibat hanya menjalankan agenda dan anggaran yang sudah diputuskan pemerintahan yang lama Jokowi kehilangan dukungan publik, akan lebih sulit untuk menjalankan agenda selanjutnya.

Maka, memang sangat penting bagi Jokowi untuk secara substantif benar-benar membahas agenda pemerintahan ini bersama tim transisi yang sudah disiapkan SBY. Setelah selesai dengan SBY, tantangan selanjutnya bagi Jokowi ialah memastikan agenda transisi itu juga tidak dihalangi lembaga legislatif.

Janji Jokowi           

Untuk melaksanakan janjinya, tantangan terbesar Jokowi ialah membangun arsitektur kabinet yang efektif dari sisi agenda pemerintahan dan secara politik akomodatif agar stabilitas kerja pemerintahan terjaga.

Peran partai politik, baik dalam proses pencalonan maupun proses terpilihnya Jokowi, tak dapat dimungkiri. Itulah realitas politik. Bahwa Jokowi tetap memerlukan dukungan partai politik selama pemerintahannya nanti juga realitas politik. Mengakomodasi keberadaan partai politik dalam arsitektur administrasi pemerintahan ialah pernyataan dari pengakuan atas realitas politik itu. Betul bahwa mungkin saja partai-partai politik bergabung dalam koalisi pemenangan Jokowi tanpa transaksi. Namun, itu tidak berarti mereka hanya akan mendukung Jokowi tanpa ada akomodasi dan kompromi.

Realitas politik yang lain, Jokowi didukung para relawan nonpartai.Sampai batas tertentu, keberadaan relawan nonpartai tersebut mencerminkan harapan publik yang demikian tinggi akan perlunya perubahan. Salah satu harapan itu ialah Jokowi menjalankan pemerintahannya tanpa terkesan `dikontrol' partai politik. Memasukkan menteri dari kalangan nonpartai politik ialah salah satu pernyataan dari mengakomodasi tuntutan publik tersebut.

Pejabat politik semestinya sangat normal kalau berasal dari partai politik. Menteri, sebagai salah satu jenis pejabat politik, mestinya tak masalah berasal dari partai politik. Dalam sistem presidensial, demikianlah juga semestinya. Sepanjang presiden menganggap cocok untuk mengangkat seseorang dari partai politik sebagai menteri, itu merupakan hak prerogatif presiden. Namun, apa boleh buat, publik telanjur sedang tak percaya dengan partai politik. Menurut riset Indikator Politik Indonesia (Juni 2013), misalnya, hanya 30% pemilih Indonesia yang memandang partai politik secara positif. Angka yang sama juga berlaku untuk politisi.

Bagi Jokowi, menyeimbangkan tuntutan dari dua realitas politik itu ibarat berperahu di antara dua karang. Kalau tak seimbang, bisa pecah berantakan terhempas ke salah satu karang atau terhempas kepada keduanya.

Jokowi harus mencari jalan tengah, tapi tetap mengambil posisi memimpin. Dengan tegas dia, misalnya, bisa berprinsip bahwa proporsi menteri nonpartai harus lebih banyak daripada yang berasal dari partai. Kementerian yang menjalankan agenda prioritas pertama, kedua, dan ketiga diisi orang-orang yang berada langsung di bawah `kontrol' presiden tanpa ada kemungkinan campur tangan partai. Semua menteri, dari partai maupun nonpartai, harus diseleksi dengan kriteria dan proses yang sama. Kriteria menteri haruslah: mau bekerja, bersih dari korupsi, mau dan terbukti mampu hidup sederhana, memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang yang akan ditempati, dan sebagainya. Jangan lupa, prosesnya harus sedapat mungkin transparan kepada publik.

Prospek relasi koalisi-oposisi

Bila tidak hati-hati, pemerintahan Jokowi dapat terjebak pada pemerintahan terbelah (divided government), bukan tidak mungkin menjadi pemerintahan minoritas. Masa transisi ini menentukan apakah hal itu akan terjadi atau tidak.
Bagaimanapun, membentuk koalisi adalah pilihan, bukan keharusan bagi presiden. Yang paling penting ialah konsekuensi dari pilihan tersebut. Membentuk koalisi mayoritas, misalnya dari sisi politik, akan lebih memungkinkan tersedianya stabilitas hubungan eksekutif-legislatif sehingga lebih kondusif bagi agenda pemerintahan. Bertahan dengan koalisi minoritas--Jokowi sudah memilikinya--juga dapat dianggap sebagai sebuah pilihan. Yang penting ialah Jokowi menyadari betul bahwa pilihan-pilihan yang ia lakukan selama masa transisi ini berpengaruh pada prospek relasi koalisi-oposisi selama lima tahun ke depan.

Potensi untuk pemerintahan terbelah--parlemen dikuasai oposisi, eksekutif dikuasai koalisi--sudah ada saat ini. Bila itu memang menjadi pilihan Jokowi, dia dan timnya harus menyiapkan strategi selama lima tahun ke depan untuk memuluskan agenda-agenda pemerintahannya.Strategi pokok yang mungkin dilakukan ialah membangun koalisi ad hoc per agenda pemerintahan. Strategi pokok lainnya ialah memperkuat koalisi minoritas yang sudah dimiliki Jokowi saat ini. Itu artinya komunikasi politik antarpartai pendukung Jokowi saat ini haruslah lancar bebas tanpa hambatan.

Kalau pilihan Jokowi ialah membangun koalisi mayoritas (sederhana ataupun oversized), Jokowi harus segera memutuskan hendak menggandeng partai mana. Yang paling mungkin selama masa transisi ini, misalnya, Partai Demokrat, sebab ada alasan untuk terus-menerus berinteraksi karena alasan transisi. Opsi-opsi lain dengan Golkar dan partai lainnya juga harus dipertimbangkan dengan serius. 

Kemauan dan keterampilan Jokowi dan timnya dalam melakukan komunikasi politik akan menentukan berhasiltidaknya upaya ini. Jangan sampai pemerintahan terbelah terjadi akibat kelemahan dalam lobi dan komunikasi politik. Lebih parah lagi bila karena keengganan dalam melakukannya.

Keengganan dan ketidakmampuan dalam berkomunikasi politik juga bisa berakibat lebih parah.Jokowi bisa ditinggalkan anggota koalisi yang membantu pemenangannya dalam pemilihan presiden. Sebaiknya Jokowi tidak memilih opsi tersebut. Kalau menjadi presiden minoritas (kekuatan PDIP hanya sekitar 19%), kemungkinan gaduhnya hubungan presiden dengan DPR selama lima tahun mendatang sulit dihindari. Politik transisi Jokowi mesti mempertimbangkan hal itu sebaik-baiknya dan sehati-hatinya, tapi juga harus cepat karena waktu yang sangat singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar