Global
Citizenship Education
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 September 2014
PERKEMBANGAN pasar dan
perekonomian global yang didukung sebaran teknologi informasi yang demikian
cepat dan tak terduga membawa implikasi serius pada definisi kewarganegaraan.
Jika dahulu ikatan kewarganegaraan ialah batas geografis, saat ini batasan
tersebut relatif menjadi kurang berperan jika dilihat dari keikutsertaan
warga dunia untuk terlibat dalam setiap urusan negara lain. Apalagi dengan
cepatnya media sosial diterima masyarakat dunia, kekuatannya bisa memengaruhi
keputusan sebuah negara dengan batas wilayah tertentu.
Ide dasar dari
kewarganegaraan global (global
citizenship) ialah seseorang yang mudah mengerti orang lain di belahan
dunia mana pun, yang pada waktu bersamaan, dia bisa menunjukkan simpati dan
empatinya sekaligus. Kepedulian dan menghargai atau menghormati (caring and respecting others)
merupakan kata kunci dan prasyarat utama seseorang untuk dianggap sebagai
warga dunia.
Tentu saja kepedulian dan menghargai orang tidak muncul seketika
pada diri seseorang. Kepedulian dan respek tumbuh dari suatu proses penetrasi
diri melalui hubungan timbal balik antara pola pikir, pola perilaku, dan pola
asuh seseorang. Ini artinya setiap warga global/dunia pasti harus memiliki
pengetahuan yang cukup, dengan pendidikan sebagai domain utamanya.
Pertanyaannya ialah,
jenis pendidikan apa yang memungkinkan seseorang bisa menjadi warga dunia
sekaligus kepedulian dan menghargai orang secara baik? Doret de Ruyter dalam After All, How Small is the World? Global
Citizenship as an Educational Ideal (2010) setidaknya merekam dua kata
kunci yang dibutuhkan untuk menjadi warga global, yaitu moralitas dan jiwa
pengabdian. Dalam bahasa De Ruyter, “Having
to balance moral demands and self-serving qualities is an enormous challenge,
particularly at a global scale.“ Dengan bahasa yang lebih sederhana, itu
ialah karakter, setiap warga dunia membutuhkan karakter.
Mengapa karakter
menjadi penting? Lihatlah kondisi sekeliling kita akhir-akhir ini yang
dipenuhi karakter jahat dan buruk seperti sifat koruptif dan manipulatif.
Sekolah dan pendidikan kita seakan tak berdaya melawan semangat materialisme
yang ditawarkan teknologi media. Guru seakan tak memiliki kemampuan untuk
menanamkan karakter baik yang ramah dan hormat kepada sesama. Nilai-nilai
kebaikan yang selama ini tertera dalam buku teks seakan hampa dan pergi entah
ke mana dari pusaran budaya berketuhanan Pancasila.
Tony Devine dalam Cultivating Heart and Character (2008)
menyetujui bahwa hampir seluruh budaya di belahan bumi mana pun mengonfirmasi
tiga hal yang membuat manusia berbahagia (happiness).
Pertama, seorang manusia pasti akan mengalami kematangan karakter (maturity of character) ketika mereka
merasa telah menjadi manusia yang baik. Kedua, semua budaya di dunia
mencintai hubungan yang baik (loving
relationships) terutama dalam perkawinan dan keluarga. Ketiga, semua
orang pasti berpikir bahwa hidupnya harus bermanfaat bagi orang lain meskipun
faktanya setiap orang berbeda. Karena itu, memaknai perbedaan secara positif
merupakan syarat bagi setiap orang untuk menyumbangkan sesuatu kepada
masyarakat sekitarnya, kepada warga dunia tanpa memandang perbedaan etnik,
suku, budaya, dan agama.
Tergantung pilihan
Dengan dasar ini
sesungguhnya tugas seorang guru di sekolah menjadi amat penting untuk
melakukan transfer ilmu dan membuat jiwa serta pikiran siswa mereka juga mengalami
transformasi ke arah pertumbuhan karakter yang baik. Guru yang baik harus
memiliki kemampuan mentransformasi keyakinan bahwa tak ada yang mampu
membentuk karakter seseorang untuk kita (nobody
can build your character for you). Karakter merupakan tanggung jawab
pribadi orang per orang, dan karena itu karakter merupakan pembeda satu
dengan lainnya.
Selain itu, guru harus
mampu membimbing, memberi peluang dan kesempatan kepada siswa-siswi mereka
untuk meyakini bahwa karakter seseorang sangat tergantung pilihan-pilihan
yang mereka ambil dalam hidup. Prinsip we
create our character by the choice we make harus dijadikan semacam kredo
guru ketika mengajar, sambil tak lupa dan bosan memberi suri teladan yang
baik.
Memberi sebanyak
mungkin wise saying dalam bentuk
keteladanan merupakan pilihan paling strategis bagi guru dalam membentuk
karakter siswa-siswi mereka sebagai prasyarat utama untuk menjadi warga
dunia.
Penting bagi sekolah
untuk mempraktikkan hal-hal kecil seperti mengucapkan kata maaf, terima kasih,
minta tolong, agar tercipta situasi saling menghargai (respect) satu sama lain. Untuk mengukur ada-tidaknya pendidikan
karakter pada sebuah sekolah, lihatlah bagaimana sekolah menciptakan level of responsibility. Jika di
sebuah sekolah banyak sekali kasus bullying,
praktik kekerasan, dan sejenisnya, dapat dipastikan sekolah tersebut berada
pada level nol karena tak ada perilaku yang bertanggung jawab. Situasi
sekolah tidak sehat karena di antara guru, siswa, dan orangtua begitu banyak
beredar rumor tentang kejelekan seseorang dan saling mengganggu satu sama
lain.
Sebuah sekolah berada
di level 1 menandakan level of
responsibility hanya dilakukan sebagian kecil komunitas sekolah. Di level
2, sekolah telah mencoba melakukan praktik bertanggung jawab tetapi selalu
dalam posisi high alert karena baik
siswa maupun guru baru melakukannya jika diingatkan saja. Pada situasi
tersebut, baik keteladanan maupun praktik saling menghargai baru dirasa ada
jika, misalnya, kepala sekolah atau guru secara berulang kali selalu
mengingatkan.
Sekolah dengan
karakter yang baik berada di level 3 dan 4. Di level 3 telah muncul kesadaran
untuk bertanggung jawab dari sebagian besar komunitas sekolah dan praktik
saling menghargai serta menghormati tecermin pada hampir seluruh siswa dan
guru. Di level 4, suasana sekolah bukan hanya lebih nyaman dan aman, di saat
setiap siswa dan guru secara sadar selalu dalam posisi saling menghargai (respect) dan bertanggung jawab (responsible) pada kewajiban
masing-masing, tetapi juga tampak dari kerukunan dan kekompakan untuk selalu
saling membantu satu sama lain (help
others).
Di ruang tamu Sekolah
Sukma Bangsa Bireuen, ada kalimat menarik yang bisa dibaca seluruh siswa,
guru, dan tamu yang berkunjung ke sekolah. I do not gossip; if I cannot say anything helpful, I do not say
anything at all. Itu merupakan pengingat bahwa sekolah tersebut sedang
mendefinisikan karakter sekolah mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar