Selasa, 02 September 2014

Global Citizenship Education

Global Citizenship Education

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PERKEMBANGAN pasar dan perekonomian global yang didukung sebaran teknologi informasi yang demikian cepat dan tak terduga membawa implikasi serius pada definisi kewarganegaraan. Jika dahulu ikatan kewarganegaraan ialah batas geografis, saat ini batasan tersebut relatif menjadi kurang berperan jika dilihat dari keikutsertaan warga dunia untuk terlibat dalam setiap urusan negara lain. Apalagi dengan cepatnya media sosial diterima masyarakat dunia, kekuatannya bisa memengaruhi keputusan sebuah negara dengan batas wilayah tertentu.

Ide dasar dari kewarganegaraan global (global citizenship) ialah seseorang yang mudah mengerti orang lain di belahan dunia mana pun, yang pada waktu bersamaan, dia bisa menunjukkan simpati dan empatinya sekaligus. Kepedulian dan menghargai atau menghormati (caring and respecting others) merupakan kata kunci dan prasyarat utama seseorang untuk dianggap sebagai warga dunia. 

Tentu saja kepedulian dan menghargai orang tidak muncul seketika pada diri seseorang. Kepedulian dan respek tumbuh dari suatu proses penetrasi diri melalui hubungan timbal balik antara pola pikir, pola perilaku, dan pola asuh seseorang. Ini artinya setiap warga global/dunia pasti harus memiliki pengetahuan yang cukup, dengan pendidikan sebagai domain utamanya.

Pertanyaannya ialah, jenis pendidikan apa yang memungkinkan seseorang bisa menjadi warga dunia sekaligus kepedulian dan menghargai orang secara baik? Doret de Ruyter dalam After All, How Small is the World? Global Citizenship as an Educational Ideal (2010) setidaknya merekam dua kata kunci yang dibutuhkan untuk menjadi warga global, yaitu moralitas dan jiwa pengabdian. Dalam bahasa De Ruyter, “Having to balance moral demands and self-serving qualities is an enormous challenge, particularly at a global scale.“ Dengan bahasa yang lebih sederhana, itu ialah karakter, setiap warga dunia membutuhkan karakter.

Mengapa karakter menjadi penting? Lihatlah kondisi sekeliling kita akhir-akhir ini yang dipenuhi karakter jahat dan buruk seperti sifat koruptif dan manipulatif. Sekolah dan pendidikan kita seakan tak berdaya melawan semangat materialisme yang ditawarkan teknologi media. Guru seakan tak memiliki kemampuan untuk menanamkan karakter baik yang ramah dan hormat kepada sesama. Nilai-nilai kebaikan yang selama ini tertera dalam buku teks seakan hampa dan pergi entah ke mana dari pusaran budaya berketuhanan Pancasila.

Tony Devine dalam Cultivating Heart and Character (2008) menyetujui bahwa hampir seluruh budaya di belahan bumi mana pun mengonfirmasi tiga hal yang membuat manusia berbahagia (happiness). Pertama, seorang manusia pasti akan mengalami kematangan karakter (maturity of character) ketika mereka merasa telah menjadi manusia yang baik. Kedua, semua budaya di dunia mencintai hubungan yang baik (loving relationships) terutama dalam perkawinan dan keluarga. Ketiga, semua orang pasti berpikir bahwa hidupnya harus bermanfaat bagi orang lain meskipun faktanya setiap orang berbeda. Karena itu, memaknai perbedaan secara positif merupakan syarat bagi setiap orang untuk menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat sekitarnya, kepada warga dunia tanpa memandang perbedaan etnik, suku, budaya, dan agama.

Tergantung pilihan

Dengan dasar ini sesungguhnya tugas seorang guru di sekolah menjadi amat penting untuk melakukan transfer ilmu dan membuat jiwa serta pikiran siswa mereka juga mengalami transformasi ke arah pertumbuhan karakter yang baik. Guru yang baik harus memiliki kemampuan mentransformasi keyakinan bahwa tak ada yang mampu membentuk karakter seseorang untuk kita (nobody can build your character for you). Karakter merupakan tanggung jawab pribadi orang per orang, dan karena itu karakter merupakan pembeda satu dengan lainnya.

Selain itu, guru harus mampu membimbing, memberi peluang dan kesempatan kepada siswa-siswi mereka untuk meyakini bahwa karakter seseorang sangat tergantung pilihan-pilihan yang mereka ambil dalam hidup. Prinsip we create our character by the choice we make harus dijadikan semacam kredo guru ketika mengajar, sambil tak lupa dan bosan memberi suri teladan yang baik.

Memberi sebanyak mungkin wise saying dalam bentuk keteladanan merupakan pilihan paling strategis bagi guru dalam membentuk karakter siswa-siswi mereka sebagai prasyarat utama untuk menjadi warga dunia.

Penting bagi sekolah untuk mempraktikkan hal-hal kecil seperti mengucapkan kata maaf, terima kasih, minta tolong, agar tercipta situasi saling menghargai (respect) satu sama lain. Untuk mengukur ada-tidaknya pendidikan karakter pada sebuah sekolah, lihatlah bagaimana sekolah menciptakan level of responsibility. Jika di sebuah sekolah banyak sekali kasus bullying, praktik kekerasan, dan sejenisnya, dapat dipastikan sekolah tersebut berada pada level nol karena tak ada perilaku yang bertanggung jawab. Situasi sekolah tidak sehat karena di antara guru, siswa, dan orangtua begitu banyak beredar rumor tentang kejelekan seseorang dan saling mengganggu satu sama lain.

Sebuah sekolah berada di level 1 menandakan level of responsibility hanya dilakukan sebagian kecil komunitas sekolah. Di level 2, sekolah telah mencoba melakukan praktik bertanggung jawab tetapi selalu dalam posisi high alert karena baik siswa maupun guru baru melakukannya jika diingatkan saja. Pada situasi tersebut, baik keteladanan maupun praktik saling menghargai baru dirasa ada jika, misalnya, kepala sekolah atau guru secara berulang kali selalu mengingatkan.

Sekolah dengan karakter yang baik berada di level 3 dan 4. Di level 3 telah muncul kesadaran untuk bertanggung jawab dari sebagian besar komunitas sekolah dan praktik saling menghargai serta menghormati tecermin pada hampir seluruh siswa dan guru. Di level 4, suasana sekolah bukan hanya lebih nyaman dan aman, di saat setiap siswa dan guru secara sadar selalu dalam posisi saling menghargai (respect) dan bertanggung jawab (responsible) pada kewajiban masing-masing, tetapi juga tampak dari kerukunan dan kekompakan untuk selalu saling membantu satu sama lain (help others).

Di ruang tamu Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, ada kalimat menarik yang bisa dibaca seluruh siswa, guru, dan tamu yang berkunjung ke sekolah. I do not gossip; if I cannot say anything helpful, I do not say anything at all. Itu merupakan pengingat bahwa sekolah tersebut sedang mendefinisikan karakter sekolah mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar