Spiritualitas
Sehat Vs Terganggu
Kristi Poerwandari ;
Kolumnis “Konsultasi
Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
07 September 2014
Sudah
beberapa bulan ini kita membaca gerakan kelompok yang brutal menyerang,
menghancurkan, dan membunuh siapa pun yang dianggap berbeda atau tidak
sealiran. Apakah ini spiritualitas atau ideologi, atau kedua-duanya?
Bagaimana membedakan spiritualitas sehat dengan gangguan?
Sayang,
psikologi dan psikiatri tampaknya belum memberikan sumbangan yang signifikan
terkait persoalan ini karena pendekatan keduanya yang cenderung terbatas pada
telaah rasional-kognitif, yang menyulitkan kita melakukan analisis secara
komprehensif pada masalah kejiwaan yang sangat kompleks.
Agama
dan spiritualitas dekat satu sama lain, tetapi bisa berbeda. Spiritualitas
mungkin dapat diartikan secara sederhana sebagai ”perasaan, pikiran, dan perilaku yang menyertai pengalaman dan
pencarian, yang dianggap individu sebagai melampaui pengalaman material biasa
atau suci” atau ”upaya-upaya untuk
menjalin hubungan dengan ’suatu keberadaan yang jauh lebih tinggi’, yang
melampaui keterikatan dengan agama, yang memberikan jawaban mengenai ’Yang
Tak Terhingga’”.
Saya
menemukan bahan ajar ”Agama, Spiritualitas,
dan Budaya dalam Psikiatri” yang diberikan di Departemen Psikiatri dan
Ilmu Perilaku, University of Washington. Salah satunya yang ditulis Trantham,
yang menjadi panduan awal cukup bermanfaat mengenai bagaimana membedakan
spiritualitas sehat dari gangguan psikologis.
Ia
mengajukan rangkaian pertanyaan untuk menemukan, apakah pengalaman spiritual
kita, seperti kegiatan doa, keterlibatan dalam kelompok keyakinan, atau
kegiatan lain yang dipengaruhi oleh keyakinan kita, merupakan spiritualitas yang
sehat. Beberapa pertanyaannya.
Apakah
pengalaman spiritual itu memunculkan dukungan sosial, kasih sayang dan
penerimaan, kejelasan mengenai tujuan hidup, hilangnya kecemasan
eksistensial? Apakah memberikan perasaan terhubung dengan diri sendiri, orang
lain, alam, dan keseluruhan kehidupan? Apakah menghadirkan penerimaan,
keberserahan, sekaligus harapan dan kemampuan memaafkan? Apakah menjadi
pedoman bagi pengambilan keputusan moral dan personal?
Membedakan yang
”terganggu” dan yang ”sehat”
Kita
perlu becermin, bertanya pada diri sendiri, sekaligus membantu generasi muda
untuk dapat mengembangkan praktik hidup, termasuk di dalamnya
kegiatan-kegiatan yang dipengaruhi oleh keyakinan, secara lebih positif.
Apakah pemikiran dan praktik berkeyakinan itu sudah dapat dianggap
”terganggu” atau tidak dapat kita renungkan dari beberapa pertanyaan berikut.
•
Apakah kegiatan itu membangun jembatan ataukah justru hambatan atau
permusuhan dengan orang atau kelompok lain?
•
Apakah menguatkan atau melemahkan perasaan dasar saling terhubung dan
kepercayaan (trust) di alam raya?
•
Apakah mampu mengelola energi-energi vital, khususnya seks dan agresi secara
konstruktif dan bertanggung jawab, atau sebaliknya, secara merugikan atau
dengan cara represif?
•
Apakah merangsang atau justru menghambat pertumbuhan kebebasan diri dan
tanggung jawab personal? Apakah menumbuhkan hubungan yang matang dengan tokoh
otoritas, apakah menumbuhkan kedewasaan suara hati?
•
Apakah menyediakan cara-cara yang efektif, atau sebaliknya, cara-cara yang
”memperdaya” (mengelabui, tidak otentik) dalam membantu manusia bergerak dari
perasaan bersalah dan marah menuju pemaafan? Apakah menyediakan pedoman etis
yang universal, ataukah justru menekankan hal-hal tidak penting dan
supervisial saja? Apakah tujuan utamanya pada hal-hal yang di permukaan
ataukah hal-hal terdalam dari kemanusiaan?
•
Apakah mempersulit atau memudahkan kemampuan untuk menikmati hidup? Apakah
membantu individu untuk menghargai berbagai dimensi kehidupan, atau justru
menurunkan penghargaan terhadap kehidupan?
•
Apakah menguatkan pengingkaran dalam menghadapi realitas, atau sebaliknya,
membantu kita bersikap lebih jujur menghadapi realitas? Apakah menumbuhkan
sikap yang terlalu menyederhanakan masalah atau menumbuhkan pemahaman tentang
kompleksitas kehidupan?
Kita
kembali pada pertanyaan: apakah kita sedang berdiskusi mengenai spiritualitas
atau ideologi? Kesimpulan sementara ini: keduanya sangat berbeda, tetapi
tampaknya sekaligus terkait erat. Manusia yang memiliki spiritualitas yang
sehat juga akan mengembangkan ideologi yang ”sehat”. Maksudnya, ideologi yang
tidak memusuhi kelompok lain, ideologi yang menghindarkan diri dari
pembenaran kekerasan, ideologi yang mampu menerima keragaman.
Apakah
yang memiliki spiritualitas ”terganggu” berarti terganggu jiwanya, dan karena
itu, tidak dapat dikenai tanggung jawab hukum atas tindakannya? Kalangan
psikologi dan psikiatri perlu sangat berhati-hati agar tidak menjadi ”naif”
atau ditunggangi kepentingan kelompok sehingga membenarkan kekerasan.
Gangguan jiwa itu sangat luas spektrumnya, sedikit saja yang tergolong parah
dan sepenuhnya tidak mampu berkontak dengan realitas. Lagi pula yang harus
diutamakan adalah rasa aman dan nyaman bermasyarakat dan kedaulatan negara.
Keragaman itu adalah fitrah kehidupan sehingga sejak sedini mungkin generasi
muda perlu dibantu untuk menghormati dan justru membesarkan bangsa, di atas
keragaman yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar