Pemilu
bukan Pesta Wakil Rakyat
Victor Silaen ;
Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SATU
HARAPAN, 15 September 2014
Masih
ingat lagu Mars Pemilu tempo dulu yang di era Orde Baru selalu dinyanyikan
setiap kali menyambut pemilu? Petikan syairnya berbunyi begini: “Pemilihan Umum telah memanggil kita.
S’luruh rakyat menyambut gembira. Hak Demokrasi Pancasila. Hikmah Indonesia
merdeka…” Saya padukan dengan premis tentang hakikat pemilu di Indonesia
sebagai “pesta demokrasi rakyat”, maka berdasarkan itu saya hendak menentang
logika para pengusung dan pendukung RUU Pemilukada yang hari-hari ini ramai
dibicarakan.
Esensi
dari RUU tersebut adalah: pemilihan kepala daerah dilaksanakan melalui
perwakilan partai politik di DPRD. Jadi, pemilu untuk gubernur dan
walikota/bupati yang sebelumnya diserahkan kepada rakyat untuk memilihnya
secara langsung, nantinya (jika RUU tersebut disetujui menjadi UU) akan
diserahkan kepada DPRD untuk memilihkannya bagi rakyat. Itulah maksudnya
pemilukada secara tidak langsung.
Tak
pelak, sejumlah keberatan layak diajukan terhadap RUU tersebut. Pertama,
tahun 2007 Indonesia telah dipuji dan diakui dunia internasional sebagai
Negara Demokrasi ke-3 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India.
Alasannya, karena pemilu demi pemilu pasca-Soeharto yang berhasil
diselenggarakan dengan baik, lancar, dan bebas. Bahkan sejak 2004, pemilu
demi pemilu tersebut, baik di tingkat nasional maupun lokal, baik untuk
memilih anggita legislatif maupun presiden dan kepala daerah, telah
melibatkan rakyat secara langsung. Itulah kemajuan pesat pemilu di Indonesia
yang selama era Soeharto demokrasinya selalu semu.
Pertanyaannya,
setelah demokrasi Indonesia dipuji dan diakui dunia, haruskah kini Indonesia
kembali melangkah mundur dengan menghapuskan hak rakyat untuk memilih secara
langsung?
Kedua,
kalau pemilu merupakan pesta demokrasi, siapakah sesungguhnya yang layak menikmati
pesta tersebut? Tentu saja rakyat, karena demokrasi itu sendiri hakikatnya
adalah “dari, oleh dan untuk rakyat”. Maka jelaslah di sana terkandung hak
rakyat sebagai nilai yang utama, yang tak boleh diganggu-gugat apalagi
dihapuskan. Sekali demokrasi, secara sistemik dan prosedural, sudah melangkah
maju, ia tak sekali-kali boleh melangkah surut ke belakang meski dengan
alasan efisiensi biaya dan atau alasan-alasan lainnya. Justru logikanya,
karena pesta ini berlangsung hanya lima tahun sekali, maka sewajarnyalah jika
pesta tersebut dibuat semeriah mungkin meski ada konsekuensinya dari segi
biaya. Yang penting rakyat gembira dan puas. Tidakkah pesta memang harus
begitu? Dan bukankah pemilu sejatinya adalah pesta rakyat, bukan pesta wakil
rakyat?
Ketiga,
dengan menghapus hak rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung, maka
sesungguhnya UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan
kedaulatan tertinggi di tangan rakyat Indonesia dan menjamin hak setiap warga
Negara, serta UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan hak kepada warga negara untuk memilih kepala daerah.
Keempat,
dengan menyerahkan mekanisme pemilihan kepala daerah ke tangan para anggota
DPRD, maka di sana terbuka celah untuk terjadinya politik transaksional
antara para elit partai di DPRD dengan calon pemimpin daerah. Hal ini kelak
dapat membuat tersanderanya kepala daerah pada kepentingan partai atau
beberapa partai pendukungnya yang dapat berakibat diabaikannya kepentingan
rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kelima,
jika RUU Pemilukada tersebut berhasil disahkan, maka dapat dibayangkan ke
depan kita sulit mendapatkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas dan
berintegritas seperti Jokowi Ahok hanya gara-gara terhambat oleh dukungan
para anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Ingatlah kasus Jokowi-Ahok.
Jika dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012 itu hak memilih berada di tangan DPRD,
maka hampir dapat dipastikan Jokowi-Ahok tak bakal menjadi gubernur dan wakil
gubernur DKI Jakarta. Sebaliknya, pasangan
Foke-Nara yang niscaya keluar sebagai pemenangnya. Sebab, mereka didukung
oleh mayoritas suara di DPRD: 77 suara. Sementara Jokowi-Ahok hanya didukung
minoritas: 17 suara. Tapi syukurlah, karena yang memegang kedaulatan adalah
rakyat, maka rakyat DKI Jakarta telah menjatuhkan pilihannya saat itu:
Jokowi-Ahok terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur.
Keenam,
jangan lupa bahwa berdasarkan hasil revisi kedua UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, pasangan calon independen diperbolehkan mengajukan diri
menjadi calon kepala daerah. Pertanyaannya, jika kelak mekanisme pemilihan
kepala daerah diserahkan kepada para anggota DPRD, bukankah peluang pasangan
calon independen untuk memenangi kontestasi calon kepala daerah ini sangat
kecil – kalau tak mau dibilang nihil?
Inilah
yang kiranya patut dipikirkan berulang kali oleh para wakil rakyat di DPR
yang akan memutuskan nasib RUU Pemilukada “minus hak rakyat” ini. Faisal
Basri, mantan calon gubernur DKI tahun 2012 dari jalur independen itu, benar.
RUU Pemilukada yang sedang dibahas di DPR hari-hari ini hanya menodai
reformasi dan berpeluang menutup kesempatan bagi calon non-partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar