Kenapa
Oligarki Ingin Mengakhiri Pilkada Langsung
Irwansyah ;
Dosen
di departemen ilmu politik UI;
Mahasiswa
di Asia Research Center, Murdoch University, Australia
|
INDOPROGRESS,
15 September 2014
PEMILU
presiden (pilpres) 2014 belum lama berselang, tapi rakyat sudah diberi
‘hadiah’ buruk oleh para elit politik di tingkat nasional. Di ujung kekuasaan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pihak DPR dan pemerintah bergegas
menyelesaikan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mereka ingin mengubah
pemilihan kepala daerah yang selama satu dekade dipilih secara langsung oleh
rakyat, menjadi dipilih oleh DPRD. Sebelum itu, tepat di tengah masa
pertarungan pilpres, para anggota DPR dari kubu politik anti Jokowi
meloloskan UU MD3, yang berisikan kuasa untuk mempersulit penindakan hukum
pada anggota parlemen yang melakukan tindakan kriminal, termasuk tindak
pidana korupsi.
Pemerintah
SBY, melalui Kementerian Dalam Negeri, sejak mengajukan usulan RUU Pilkada
pada tahun 2012, menghendaki hanya bupati dan walikota saja dipilih melalui
pemilihan langsung. Gubernur dipilih oleh anggota DPRD provinsi. Alasan yang
menopang usulan ini agar biayanya bisa lebih murah dibanding pemilihan
langsung dan mencegah praktek politik uang. Sebelum berakhirnya pilpres 2014,
hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PPP yang setuju dengan usul
pemerintah tersebut. Kini, setelah Pilpres situasi politik telah berubah.
Hanya fraksi dari partai pendukung koalisi Jokowi yang memilih mempertahankan
pillkada secara langsung. Propaganda menghapuskan pemilukada, tidak hanya
berhenti pada pemilihan Gubernur, tapi juga bupati/walikota. Lagi-lagi dengan
alasan memperjuangkan politik berbiaya murah.
Perkembangan
terbaru ini segera memicu reaksi pro-kontra di antara politisi. Banyak kepala
daerah yang menolak rencana ini. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wakil
gubernur DKI yang akan menggantikan Jokowi sebagai gubernur, mundur dari
partai Gerindra sebagai bentuk penolakannya. Ridwan Kamil, bersama bebarapa
bupati dan walikota lainnya, melakukan unjuk rasa penolakan. Asosiasi kepala
daerah (Apeksi dan Apkasi) pun menyatakan menolak penghapusan pilkada
langsung. Partai-partai pengusung kebijakan ini menyatakan akan memberikan
sanksi kepada kadernya yang menolak penghapusan pilkada langsung. Koalisi
masyarakat sipil juga melakukan protes dan menggelar unjuk rasa, sebagai
perlawanan atas apa yang mereka lihat sebagai upaya memundurkan hak politik
dan demokrasi rakyat.
Mengurut konteks
Semua
hal ada sejarah dan konteksnya. Mengacuhkannya begitu saja bisa membuat kita
gagal menganalisis peristiwa politik saat ini. Bila kita urut mundur dari
perkembangan terkini, maka konteks yang jelas menentukan adalah upaya
pengepungan terhadap pemerintahan Jokowi kelak oleh koalisi ‘oligarki merah
putih’ yang menguasai parlemen. Trend karir politik Jokowi hingga berhasil
mencapai posisi Presiden, adalah sesuatu yang di luar skenario kaum oligarki
yang menguasai semua partai politik parlementer selama 16 tahun ini. Partai
oligarki selama ini fasih memainkan strategi kekuasaannya sebagai hasil dari
warisan politik massa mengambang, yang meniadakan partai berbasis massa yang
disiplin dan ideologis. Sementara kekuasaan di panggung demokrasi dalam era
reformasi ini haruslah melalui kanal dan mandat partai politik. Untuk
menyiasati perubahan politik ini, partai oligarki dengan licik dan teliti
melakukan praktek politik uang secara sistematis, massif dan terstruktur.
Mereka tidak khawatir menjual akses ke kursi kekuasaan selama masih dalam
langgam bermain yang mereka kontrol dan dikte dengan efektif.
Hasilnya,
ajang pilkada tidak banyak memberi peluang perubahan buat rakyat dan juga
menjadi sangat mahal. Tujuannya jelas, untuk mencegah kemungkinan adanya
alternatif di luar cara berpolitik oligarki. Akibat lanjutannya, mayoritas
rakyat menjadi skeptis dengan pilkada yang ditunjukkan dengan tingginya angka
golput dalam rata-rata pilkada yang ada. Hingga akhirnya, ada beberapa
pengalaman pilkada yang menghasilkan kepala daerah dengan profil dan cara
berpolitik yang di luar keseragaman politisi oligarki. Sejumlah kecil pejabat
ini jadi sangat menonjol, karena dalam berbagai kebijakannya bertubrukan
cukup keras dengan bisnis politik para oligarki secara reguler. Misalnya,
politik rente dan kolusi dengan pihak pemodal besar dapat terganggu akibat
ketidakcocokan yang tak diduga-duga oleh partai oligarki tersebut. Operasi
standard, seperti penggusuran rakyat miskin, pembangunan jalan tol dalam
kota, penjarahan bantuan sosial, dan banyak lagi jadi tak semulus biasanya.
Mulai dirasakan pentingnya konsolidasi ulang/baru di tingkat politik lokal di
antara kubu yang pro dan kontra dengan kelanjutan ruang yang disediakan
desentralisasi pilkada langsung
Sejarahnya,
momen pilkada langsung berkaitan dengan kegagalan politik sentralistik dan
otoriter di masa Orde Baru (Orba). Gagal di mata rakyat yang menginginkan
demokrasi, juga gagal mengatasi krisis yang menggulingkan Soeharto. Negara
sentralistis korporatis Orba yang tertata rapi seperti perusahaan dengan
kepatuhan mutlak pada pimpinan, terbukti mengabaikan hak demokratis rakyat.
Rakyat dipaksa hidup dalam proyek dan imajinasi yang dianggap patut oleh
pimpinan di tingkat pusat (sentral). Pertentangan yang terjadi akibat
perbedaan kepentingan rakyat dengan penguasa akan diganjar dengan hukuman dan
tekanan. Itulah sebabnya di masa Orba, politik buat kaum penguasa itu murah,
karena tidak ada ongkos untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat. Harga yang
dikeluarkan hanyalah untuk mempertahankan sistem kepatuhan itu berlanjut dan
berdaur ulang. Kekuasaan aparat kekerasan diterapkan secara teritorial agar
bila ada potensi ancaman, gangguan, halangan, dan tantangan dapat secara
cepat ditangani. Seola-olah itu hanyalah masalah teknis, seperti yang dialami
oleh mesin dalam operasi perusahaan.
Apa
arti dan konsekwensi rencana penghapusan pilkada langsung terhadap kehidupan
politik yang membentang buat seluruh rakyat ini? Politik tentu tidak hanya
berdampak pada para politisi yang mewakili (merepresentasikan) rakyat yang
tidak bisa hadir di kursi kekuasaan formal. Jelas, wacana yang dipilih para
pendukung penghapusan pilkada langsung adalah mencoba menyatakan dirinya di
posisi rakyat yang dirugikan oleh politik yang mahal setiap kali pilkada
berlangsung. Tapi, tentu rakyat tidaklah senaif yang disangka para politisi
sarat retorika atas nama rakyat ini. Walau, harus diakui bahwa rakyat tidak
selalu mampu menghadirkan kepentingan dan perlawanannya seberdaya dan
seterorganisir para politisi yang terlatih dalam jaringan oligarki. Tapi,
yang jelas manuver penghapusan pilkada langsung adalah perangai politisi yang
menganggap rakyat bodoh, buta politik, dan tak boleh berdaya secara politik.
Pertarungan siapa?
Bila
boleh disederhanakan, tulisan ini mencoba mendaftar beberapa sebab penting
yang menjadi konteks didorongnya wacana dan aturan membatasi pilkada
langsung:
Semakin
banyaknya biaya yang ditanggung oleh para oligarki. Biaya untuk berpolitik
datang dari korupsi dan politik rente lainnya. Kompetisi politik
mengakibatkan jatuhnya banyak korban di antara para oligarki yang tertangkap
sebagai koruptor.
Meningkatnya
trend agensi popular yang meningkat di berbagai sektor masyarakat pada
beberapa tahun terakhir dari era SBY. Misalnya, gerakan mendorong jaminan
sosial di tingkat lokal, asuransi sosial oleh para buruh, gerakan anti
korupsi di tingkat lokal, dll.
Berimplikasi
sedikit banyak pada kepentingan ekonomi para oligarki yang terlibat dalam
bisnis, industri, dan perdagangan. Antara kepentingan oligarki di tingkat
nasional, tidak selalu sebangun dengan kepentingan di tingkat lokal.
Di
awal tulisan ini sepintas ditunjukkan bahwa rencana penghapusan pilkada
langsung ini adalah tarik menarik kepentingan antara kubu Jokowi yang baru
saja memenangkan pilpres 2014, dengan koalisi oligarki ‘merah putih’. Bila
kita memperluas bingkai analisis dalam kaitannya dengan dinamika politik
selama 15 tahun kehadiran desentralisasi di era reformasi, maka soal
perkubuan tentu bukan melulu pengelompokkan mereka yang berkontestasi di
momen pilpes yang lalu. Beberapa ahli (Hadiz 2010, Lane 2014) yang meneliti
secara kritis desentralisasi, menggambarkan adanya perkembangan oligarki dan
koalisi sosial yang menguntungkan elit di tingkat lokal. Oligarki di tingkat
nasional tetap beririsan, memiliki kaitan dan berjejaring dengan perkembangan
kekuatan oligarki lokal ini, akan tetapi dalam banyak aspek mulai kehilangan
kendali dan pengaruh langsungnya. Salah satu yang paling terpengaruh adalah
kendali berdasarkan kekerasan, seperti yang dulu fasih dijalankan oleh
komando teritorial dan intervensi militer dalam kehidupan politik.
Max
Lane menyimpulkan desentralisasi mengakibatkan absennya (tidak adanya)
‘agensi politik nasional berbasis kelas yang dapat mengukuhkan agenda politik
mereka berhadapan dengan berlimpahnya kapitalis kecil-menengah yang
beroperasi di tingkat lokal’ (2014, 121). Sementara Vedi Hadiz (2010) telah
mengingatkan adanya kecenderungan untuk melakukan re-sentralisasi sebagai
respon terhadap perkembangan desentralisasi yang merugikan kubu-kubu oligarki
tertentu, yang lebih memiliki kepentingan berskala nasional. Kecenderungan
ini, melalui perbandingan pengalaman politik, juga terjadi di berbagai negara
lain di Asia Tenggara dan Eropa Timur, yang juga menjalani ‘transisi
demokrasi dan desentralisasi.’ Kedua pengamatan ini harus menjadi perhatian
serius, untuk tidak melihat polemik pilkada langsung semata-mata dari
perspektif normatif tentang hak politik rakyat ataupun dari pendekatan
teknokratik yang mengabaikan perkembangan pertarungan dari dinamika
kelompok-kelompok sosial yang berelasi dengan para elit atau oligarki yang
hendak dikekang oleh doktrin ‘good governance’ (tata kelola pemerintahan yang
baik), yang secara naif kadung ditelan bulat-bulat oleh masyarakat sipil
selama ini.
Karena
itu, momen in sangat tepat untuk mendorong transformasi yang radikal dan
signifikan dari evolusi desentralisasi salama ini. Mereka yang posisinya
lemah dalam pertarungan yang ada, memang seperti terpinggirkan dalam kerangka
analisa oligarki (Aspinall 2013b). Aspinall mengamati fenomena ‘agensi
popular,’ (2013a) berbagai kelompok gerakan yang (banyak di antaranya)
berhasil memenangkan kebijakan sosial, yang sebetulnya di luar kepentingan
oligarki ataupun elit lokal. Namun Aspinall mengakui, walaupun ada harapan
pada fenomena bertumbuhnya ‘agensi popular’, namun masih terkendala oleh
karakater kuat ‘aktivisme yang terpecah-pecah’ (fragmented activism).
Faktanya, kelemahan keterorganisiran politik dan keberlanjutan gerakan sosial
yang ada terus menerus jadi ciri yang belum kunjung terobati, sejak anti
klimaksnya gerakan rakyat mendorong reformasi yang sukses melengserkan
Soeharto tahun 1998.
Gerakan
yang sekarang memajukan wacana mempertahankan hak demokrasi rakyat, tidak mungkin
dilakukan tanpa konsolidasi dan keterorganisiran serta tindakan-tindakan
nyata. Artinya, arus balik politik kaum oligarki yang sedang menggelegak saat
ini, jangan sampai membuat kita naif bergantung pada tokoh-tokoh, bahkan,
yang paling populer sekalipun, seperti Ahok, Ridwan Kamil, dll. Tentu saja
mendorong pertentangan posisi yang serius di antara para tokoh itu penting,
tapi seharusnya hal itu berefek pada konsolidasi dan pendidikan politik
kepada rakyat. Momen saat ini hanya mungkin berdampak strategis jika
dimanfaatkan oleh perjuangan membangkitkan partisipasi politik popular di
tingkat lokal, guna mempertahankan elemen-elemen positif dari desentralisasi.
Bersamaan dengannya, mulai melakukan pembongkaran terhadap kerangka
desentralisasi yang selama ini merugikan rakyat pekerja (politik uang,
pengerdilan partisipasi lewat institusi-institusi yang anti politik, serta
koordinasi antar sektor yang memungkinkan blok politik transformasi
tersendat).
Bila
ruang yang disediakan oleh polemik pilkada langsung ini digunakan secara
serius untuk menghasilkan pengetahuan dan tindakan yang tepat, maka sangat
mungkin ada transformasi yang melampaui fantasi kaum neoliberal ataupun versi
pembajakannya oleh para oligarki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar