Kamis, 04 September 2014

Pembelajaran Berkarakter

Pembelajaran Berkarakter

Sidharta Susila  ;   Pendidik di Muntilan, Magelang
KOMPAS, 04 September 2014
                                      
                                                      

ENEK juga menyaksikan perilaku sejumlah penguasa dan politisi di media. Namun, itulah realitas perilaku elite politik dan penguasa. Itu juga yang setiap hari dikonsumsi anak didik kita. Adakah yang lebih berguna daripada hanya mengonsumsinya dengan menggerutu dan geram?

Kita sedang berjuang mewujudkan pendidikan yang kontekstual. Salah satu terjemahannya adalah menjadikan realitas hidup sebagai sarana sekaligus obyek pembelajaran. Tak berlebihan jika realitas perilaku sejumlah penguasa dan elite politik dimanfaatkan sebagai laboratorium pembelajaran. Realitas itu menjadi kesempatan, bahkan anugerah unik, untuk anak didik menjalani proses pembelajaran layaknya para peneliti dunia.

Apa yang bisa dipelajari?

Sesungguhnya tak mudah menemukan media pembelajaran yang bisa membumikan teori-teori rumit yang diajarkan di kelas. Injeksi informasi tak mencukupi ketika peserta didik belum menemukan konteksnya.

Realitas perilaku sejumlah penguasa dan elite politik kita adalah konteks berbagai pembelajaran. Kita bisa memanfaatkannya sebagai tema pembelajaran perilaku, karakter, atau nasionalisme. Pendidik bisa berselancar puas menjelajahi samudra perilaku penguasa dan elite politik kita.

Seperti pagi itu, kami membahas tema peran serta pentingnya aturan dan kebebasan dalam hidup bersama. Obyek pembelajaran adalah perilaku sebagian penguasa dan politisi akhir-akhir ini. Kami berakhir pada pencerahan bahwa peraturan dan kebebasan adalah prasyarat yang penting serta baik dalam hidup bersama.

Namun, ternyata kebebasan pun punya syarat. Kebebasan hanya berguna dan pantas bagi orang-orang yang beretika, bermoral, serta paham filosofi aturan yang mengikatnya. Serentak kami juga belajar bahwa orang yang tidak mampu mengekspresikan hidupnya dengan menjalankan aturan/kesepakatan bersama dengan kebebasan jiwa adalah orang yang kemungkinan lemah etika dan moral serta tak paham filosofi kehidupan.

Lalu, pembelajaran melebar pada kemungkinan penyebab perilaku sejumlah penguasa dan elite politik. Kami belajar dari kisah para tokoh. Dari kecenderungan perilaku penguasa dan elite yang diamati, kami memperoleh rujukan pada kisah hidup pemikir kekuasaan, yaitu Thomas Hobbes. Pada Hobbes, kami belajar bahwa sejarah hidup membentuk gugus pikir, rasa, serta tindak seseorang tentang kekuasaan.

Di ujung pembelajaran, kami menukik pada kebermaknaan hidup. Ini tema spiritualitas yang disarankan menjadi ujung pembelajaran pada Kurikulum 2013. Kami belajar dari Siddharta Gautama yang mewariskan keutamaan lepas bebas. Perilaku sejumlah penguasa dan elite politik itu mengajarkan kepada kami betapa kasihan mereka yang hidupnya tersandera oleh sebab apa pun. Mereka bisa takabur dan dengan dingin melakukan ”penipuan suci” yang ujung-ujungnya melupakan hakikatnya sebagai wakil rakyat.

Rangkaian konflik berkepanjangan bertema perebutan kekuasaan sejak pemilu presiden-wakil presiden hingga yang paling aktual, perebutan kekuasaan kepemimpinan di parlemen, sungguh menjadi berkah bagi pembelajaran tentang kebebasan dan aturan, etika-moral dan filosofi hidup berbangsa-bernegara. Sungguh mengasyikkan menekuni perilaku penguasa dan elite politik sebagai media pembelajaran.

Benarlah tuturan peradaban ini bahwa seorang nabi hanya lahir dari situasi hidup dan peradaban yang kacau. Melakukan pembelajaran dengan memanfaatkan realitas hidup bersama yang kacau adalah bagian pembelajaran berkarakter nabi. Penyadaran akan realitas hidup serta penajaman etika-moral-prinsip hidup universal adalah prasyaratnya.

Prinsip pembelajaran

Pembelajaran berkarakter nabi meniscayakan pendidik yang berpengetahuan luas serta seorang pribadi yang bebas. Orientasi pembelajarannya pada kebermartabatan hidup, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Ia berusaha mencerahkan hidup anak didiknya.

Pendidik juga mesti lihai membuat distingsi antara ekspresi hidup dan subyeknya. Ini perlu agar peserta didik tidak jatuh pada penistaan subyek yang diamati. Bagimanapun, meski sering membuat enek, subyek yang diamati tetaplah manusia yang sedang menziarahi hidupnya. Mereka masih dimungkinkan berubah. Di sinilah pendidik membantu murid untuk memiliki kemampuan memilah ekspresi dan subyek yang berekspresi sebagai pribadi yang tertakdir mulia bermartabat.

Ekspresi penguasa dan elite politik yang sering membuat enek itu memang berguna bagi pembelajaran. Akan lebih berguna bila belajar dari realitas hidup bermartabat, yang mendasarkan pada etika, moral, dan keutamaan universal. Paling elok bila anak kita belajar dari seorang nabi: pecundang petualang politik yang bertobat dan meniti jalan pencerahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar