Kartu
Indonesia Sehat dan SJSN
Sulastomo ; Ketua
Tim SJSN 2001-2004
|
KOMPAS,
04 September 2014
INDONESIA
baru saja mengimplementasikan Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.
Implementasinya dikatakan merupakan amanat UU No 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
Sesuai
dengan UU No 24/2011, PT (Persero) Askes Indonesia ditransformasikan menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara
program jaminan kesehatan. Ditargetkan pada 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercakup dalam
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Setelah
Joko Widodo memenangi pemilihan umum presiden, muncul gagasan baru untuk
mengembangkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), sebagaimana Kartu Jakarta Sehat
bagi penduduk DKI. Apakah KIS kelanjutan JKN, sejalan dengan JKN, atau
program baru yang berbeda meski tujuannya sama: memberi jaminan kesehatan kepada
setiap warga negara Indonesia?
Jawabannya
mungkin akan dapat kita lihat setelah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
terbentuk. Apa pun namanya, yang terpenting adalah program itu harus
berkelanjutan, tidak boleh berhenti di
tengah jalan dengan alasan apa pun sebab jaminan kesehatan terkait kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi semua warga negara.
Terkait
program Jaminan Kesehatan, UU No 40/2004 mengatakan bahwa setiap peserta akan
memperoleh jaminan pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sesuai dengan kebutuhan medik
tanpa membedakan besaran iuran/premi yang dibayar, termasuk bagi pelayanan
kesehatan dengan biaya tinggi, seperti cuci darah, operasi jantung, dan
kanker. Ini sesuai dengan asas kemanusiaan , salah satu asas dalam
penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Meski
demikian, dengan prinsip asuransi sosial yang diterapkan, manfaat yang
diterima peserta harus sesuai dengan besaran iuran/premi. Hal ini diakomodasi
dalam manfaat pelayanan nonmedik, kelas perawatan, atau kenyamanan lain di
dalam pelayanan kesehatan.
Jaminan
Kesehatan dalam UU SJSN diharapkan mampu memberi manfaat kepada semua peserta
program jaminan sosial pada segala tingkat sosial masyarakat.
Meski
bersifat wajib, manfaat layanan kesehatan yang diperoleh akan sesuai dengan
kebutuhan dasar hidup yang layak. Dengan pendekatan seperti itu, peluang
seluruh warga negara menjadi peserta program terbuka lebar (meski bersifat
wajib, bukan paksaan).
Tanpa diskriminasi
Dalam
UU SJSN juga diterapkan asas manfaat bahwa secara operasional, program
jaminan kesehatan itu sudah layak diselenggarakan dalam arti mampu memberi
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik kepada semua pesertanya tanpa
diskriminasi. Karena itu, jaminan kesehatan harus diselenggarakan secara
bertahap. Penahapan itu antara lain disarankan dimulai dari kelompok pekerja
formal agar keseimbangan kemampuan dana (iuran) dan beban pelayanan dapat
berkelanjutan.
Yang
juga perlu dikemukakan adalah bahwa peserta program jaminan sosial adalah
yang sudah membayar iuran. Dalam UU SJSN, dengan merujuk Pasal 34 UUD 1945,
diperkenalkan peserta penerima bantuan iuran (PBI), yaitu kelompok masyarakat
yang tidak mampu membayar iuran. Iuran PBI dibayar negara/pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun daerah. Dengan pendekatan seperti ini, asas ketiga
penyelenggaraan program jaminan sosial, keadilan sosial, terpenuhi. Seluruh
warga negara Indonesia memperoleh peluang sama jadi peserta program jaminan
kesehatan sehingga universal coverage akan dapat dicapai pada 2019.
UU
SJSN juga memberi arahan bagaimana mencapai tujuan penyelenggaraan jaminan
sosial. Khusus mengenai
penyelenggaraan jaminan kesehatan, perlu diwaspadai kemungkinan inefisiensi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan mengingat sifat alami pelayanan kesehatan
yang cenderung berlebihan menimbulkan pemborosan. Biaya besar belum tentu
berdampak meningkatnya kualitas kesehatan. Hal ini antara lain ditunjukkan
dengan penyelenggaraan jaminan
kesehatan di Amerika Serikat.
Meski
AS mengeluarkan biaya dua kali lipat dibandingkan dengan Jepang, status
kesehatan rakyat AS tak lebih baik daripada Jepang dilihat dari usia harapan
hidup ataupun kematian pada bayi. Terakhir, menurut majalah Fortune, AS
dikabarkan mengeluarkan sekitar 17 persen produk domestik bruto (PDB)-nya
untuk kesehatan sehingga industri kesehatan merupakan industri nomor satu di
AS. Angka itu mungkin sudah mencapai 8.000 dollar AS per kapita per tahun.
Karena
itu, di dalam UU SJSN direkomendasikan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang
efisien berdasarkan pada apa yang dikenal sebagai managed healthcare concept, yang mengintegrasikan sistem
pelayanan dan pembiayaan kesehatan sehingga pelayanan kesehatan yang
berlebih, pelayanan kesehatan yang tak perlu, bahkan penyalahgunaan pelayanan
dapat dicegah. Di dalam konsep itu, sistem pembiayaan dan kendali mutu
diintegrasikan melalui sistem pembiayaan pradana/prospektif, misalnya sistem
anggaran dan pelayanan yang terstruktur melalui introduksi konsep dokter keluarga, sistem
rujukan, konsep wilayah, serta daftar dan plafon harga obat (mengingat biaya
obat merupakan sekitar 40 persen biaya pelayanan kesehatan), di samping
paling rawan pemborosan mengingat spektrum harga obat sejenis pun terlalu
jauh.
Semua
itu diperlukan agar program jaminan kesehatan dapat berkelanjutan, terhindar
dari kebangkrutan, dan tak terlalu membebani ekonomi rakyat dan negara,
termasuk beban PBI dalam APBN. Keberhati-hatian ini sangat ditekankan di
dalam UU No 40/20014 agar program jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan,
tak jadi beban berat bagi negara dan masyarakat sebagaimana terjadi di
beberapa negara lain, khususnya AS.
JKN dan KIS
Sejak
1 Januari 2014, pemerintah telah memberlakukan JKN sebagai pelaksanaan
jaminan kesehatan, sesuai dengan UU No 40/2004. Termasuk dalam hal ini
introduksi INA CBG dalam pembayaran klaim pelayanan kesehatan. JKN telah
mengintegrasikan program Jamkesmas yang selama ini diselenggarakan pemerintah
daerah, termasuk Kartu Jakarta Sehat, jaminan kesehatan PT (Persero)
Jamsostek, dan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun
PNS/TNI/Polri yang dikelola PT (Persero) Askes.
Dengan
terpilihnya Jokowi sebagai presiden, KIS muncul menjadi wacana di kalangan
penggiat jaminan kesehatan. Sepintas menimbulkan pertanyaan apakah keduanya,
antara JKN dan KIS, saling terkait, sejalan, atau program yang berbeda?
Apalagi kalau kita pertanyakan, apakah semua itu dalam rangka pelaksanaan UU
No 40/2004?
Di
saat seperti ini mungkin kita perlu melihatnya dari aspek konstitusi yang
berlaku. Secara konstitusional mestinya semuanya harus merujuk ke UU No
40/2004. Apakah JKN merupakan wujud implementasi jaminan kesehatan sesuai
dengan UU No 40/2004? Apakah KIS merupakan implementasi jaminan kesehatan
sesuai dengan UU No 40/2004?
Kita
bisa berdebat apa arti sebuah nama. Namun, sebagai warga negara yang taat
hukum, yang terpenting adalah landasan konstitusi. Kalau berbeda, apakah
diperlukan UU baru? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar