Jumat, 05 September 2014

Panggung Impresi Pemodal Televisi

Panggung Impresi Pemodal Televisi

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

"Dalam pilpres, stasiun-stasiun televisi yang sengaja dibuat partisan itu bergerak mengikuti arah koalisi"

TELEVISI pantas diibaratkan sebuah panggung. Bukan panggung biasa melainkan penuh extravaganza. Panggung itu begitu besar, mahal, dan yang pasti menimbulkan keterpesonaan. Panggung adalah instrumen yang sengaja dibuat lebih menjulang dari ukuran tinggi manusia. Tujuannya adalah membuat tiap orang gampang menyaksikan apa pun yang ditampilkan.

Panggung selalu menampilkan berbagai adegan yang menghibur dan memberikan aneka kesenangan. Panggung televisi menyajikan aneka informasi yang memuat substansi pengetahuan. Tentu saja, itulah yang diharapkan sebagian besar masyarakat. Namun, bersamaan dengan perayaan peringatan Hari Televisi Nasional tiap 24 Agustus, apa yang dipanggungkan televisi adalah kemewahan hiburan itu sendiri. Sejumlah artis ternama ditampilkan, dari Agnes Monica sampai Iwan Fals.

Lagu-lagu dalam aneka irama percintaan hingga pemberontakan demikianmembahana. Para penonton bersorak. Kalangan pemirsa berjingkrak. Terlebih lagi ketika panggung televisi itu menghadirkan drama musikal yang merupakan olahan dari sinetron yang, konon, paling digemari ”Ganteng-Ganteng Serigala” (GGS). Tayangan bergaya ìopera ajaibî itu memeriahkan hari lahir televisi.

GGS adalah episode kecil tentang perjalanan nalar kapital yang menyerang akal waras tontonan. Selalu dikatakan bahwa rating, kalkulasi tentang untung rugi yang mendasarkan sedikit atau banyaknya penonton yang berkonsekuensi dengan limpahan iklan yang direguk adalah nilai keutamaan dari roda usaha audio-visual itu. Kecaman selalu datang dalam wujud caci-maki bahwa rating adalah pembodohan terhadap pikiran masyarakat.

Rating dianggap pula sebagai racun yang mematikan secara perlahan-lahan daya kritis bangsa ini. Tapi apa boleh buat, rating telah menjadi sejenis berhala bisnis televisi yang tidak mungkin disingkirkan lagi. Menempatkan televisi sebagai binatang ekonomi adalah satu sisi fenomenal perjalanan kekinian media pandang-dengar ini. Aspek lain yang tak kalah penting disoroti adalah keberadaan televisi yang digunakan sebagai kendaraan untuk petualangan politik kalangan pemodalnya. Terlebih ketika pemodal itu menjadi tokoh sentral partai politik.

Simaklah yang dilakukan Surya Paloh dengan menempatkan Metrotv sebagai senjata propaganda Nasdem. Kelakuan serupa dilakukan Aburizal Bakrie yang memainkan Antv dan TVOne sebagai perkakas agitasi bagi Golkar. Hary Tanoesoedibjo menggulirkan aksi-aksi secara sistematis untuk memopulerkan Hanura melalui tiga corong media televisinya secara masif, yakni RCTI, Globaltv, dan MNCTV.

Televisi sebagai instrumen untuk merealisasikan hasrat petualangan politik para pemodalnya juga ditentukan oleh situasi-situasi yang melingkupi. Dalam pilpres, stasiun-stasiun televisi yang sengaja dibuat partisan itu bergerak mengikuti arah koalisi pemodalnya mendukung pasangan calon tertentu. Aburizal Bakrie dan Hary Tanoe membuhul pada satu biduk sekutu karena membela Prabowo-Hatta. Capres-cawapres itu disangga oleh lima stasiun televisi. Tidak mengherankan bila keduanya selalu hadir sebagai sosok yang begitu difavoritkan pada lima stasiun televisi itu.

”Serangan Udara”

Pasangan Jokowi-JK ”sekadar” disokong Metrotv. Di sini pun terjadi politik pengemasan pesan untuk tujuan propaganda. Jokowi paham bahwa Prabowo-Hatta didukung stasiun televisi dalam jumlah lebih banyak. Dalam posisi demikian, Jokowi memohon Surya Paloh yang memiliki Metrotv untuk menjalankan ìserangan udaraî, istilah yang merujuk pada kampanye melalui tayangan televisi.

Ada dua jenis serangan udara, yakni iklan dan tayangan program pemberitaan. Ada dua jenis pula muatan serangan tersebut, yaitu aspek yang berisi kebaikan untuk diri sendiri dan aspek kejelekan atau kelemahan bagi kubu lawan. Jika politik adalah persepsi maka produsen yang sempurna bagi aneka persepsi politik tersebut adalah berbagai stasiun televisi.

Merenungkan kembali televisi yang dimetaforakan sebagai panggung maka ada dua jenis sajian yang disodorkan pemodal televisi. Pertama; panggung ekonomi yang bisa menghasilkan impresi (kesan) sebagai mesin yang benar-benar menghibur. Pada posisi ini pemodal televisi bermain di belakang panggung. Mereka cukup memelihara jenis-jenis aktor panggung yang bersetia menghasilkan hiburan yang mendatangkan iklan. GGS, yang berkisah tentang kawanan serigala molek adalah salah satu mesin uang itu.

Kedua; panggung politik yang menghasilkan impresi tentang pemodal televisi yang berdalih berpartisipasi dalam demokrasi. Mereka tampil di bagian depan panggung karena popularitas menentukan kemenangan dalam pertarungan kekuasaan. Mereka tidak cukup sekadar memelihara aktor-aktor pembantu untuk menggapai kemenangan. Mereka harus jadi aktor utama. Tidak seperti GGS yang berkisah tentang kemolekan kawanan serigala, para pemodal televisi menjelma sebagai ”serigala berbulu domba” dalam demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar