Panggung
Impresi Pemodal Televisi
Triyono Lukmantoro ; Dosen
Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 04 September 2014
"Dalam pilpres, stasiun-stasiun
televisi yang sengaja dibuat partisan itu bergerak mengikuti arah
koalisi"
TELEVISI
pantas diibaratkan sebuah panggung. Bukan panggung biasa melainkan penuh
extravaganza. Panggung itu begitu besar, mahal, dan yang pasti menimbulkan
keterpesonaan. Panggung adalah instrumen yang sengaja dibuat lebih menjulang
dari ukuran tinggi manusia. Tujuannya adalah membuat tiap orang gampang
menyaksikan apa pun yang ditampilkan.
Panggung
selalu menampilkan berbagai adegan yang menghibur dan memberikan aneka
kesenangan. Panggung televisi menyajikan aneka informasi yang memuat
substansi pengetahuan. Tentu saja, itulah yang diharapkan sebagian besar
masyarakat. Namun, bersamaan dengan perayaan peringatan Hari Televisi
Nasional tiap 24 Agustus, apa yang dipanggungkan televisi adalah kemewahan
hiburan itu sendiri. Sejumlah artis ternama ditampilkan, dari Agnes Monica
sampai Iwan Fals.
Lagu-lagu
dalam aneka irama percintaan hingga pemberontakan demikianmembahana. Para
penonton bersorak. Kalangan pemirsa berjingkrak. Terlebih lagi ketika
panggung televisi itu menghadirkan drama musikal yang merupakan olahan dari
sinetron yang, konon, paling digemari ”Ganteng-Ganteng Serigala” (GGS).
Tayangan bergaya ìopera ajaibî itu memeriahkan hari lahir televisi.
GGS
adalah episode kecil tentang perjalanan nalar kapital yang menyerang akal
waras tontonan. Selalu dikatakan bahwa rating, kalkulasi tentang untung rugi
yang mendasarkan sedikit atau banyaknya penonton yang berkonsekuensi dengan
limpahan iklan yang direguk adalah nilai keutamaan dari roda usaha
audio-visual itu. Kecaman selalu datang dalam wujud caci-maki bahwa rating
adalah pembodohan terhadap pikiran masyarakat.
Rating
dianggap pula sebagai racun yang mematikan secara perlahan-lahan daya kritis
bangsa ini. Tapi apa boleh buat, rating telah menjadi sejenis berhala bisnis
televisi yang tidak mungkin disingkirkan lagi. Menempatkan televisi sebagai
binatang ekonomi adalah satu sisi fenomenal perjalanan kekinian media
pandang-dengar ini. Aspek lain yang tak kalah penting disoroti adalah
keberadaan televisi yang digunakan sebagai kendaraan untuk petualangan
politik kalangan pemodalnya. Terlebih ketika pemodal itu menjadi tokoh
sentral partai politik.
Simaklah
yang dilakukan Surya Paloh dengan menempatkan Metrotv sebagai senjata
propaganda Nasdem. Kelakuan serupa dilakukan Aburizal Bakrie yang memainkan
Antv dan TVOne sebagai perkakas agitasi bagi Golkar. Hary Tanoesoedibjo
menggulirkan aksi-aksi secara sistematis untuk memopulerkan Hanura melalui
tiga corong media televisinya secara masif, yakni RCTI, Globaltv, dan MNCTV.
Televisi
sebagai instrumen untuk merealisasikan hasrat petualangan politik para
pemodalnya juga ditentukan oleh situasi-situasi yang melingkupi. Dalam
pilpres, stasiun-stasiun televisi yang sengaja dibuat partisan itu bergerak
mengikuti arah koalisi pemodalnya mendukung pasangan calon tertentu. Aburizal
Bakrie dan Hary Tanoe membuhul pada satu biduk sekutu karena membela
Prabowo-Hatta. Capres-cawapres itu disangga oleh lima stasiun televisi. Tidak
mengherankan bila keduanya selalu hadir sebagai sosok yang begitu
difavoritkan pada lima stasiun televisi itu.
”Serangan Udara”
Pasangan
Jokowi-JK ”sekadar” disokong Metrotv. Di sini pun terjadi politik pengemasan
pesan untuk tujuan propaganda. Jokowi paham bahwa Prabowo-Hatta didukung
stasiun televisi dalam jumlah lebih banyak. Dalam posisi demikian, Jokowi
memohon Surya Paloh yang memiliki Metrotv untuk menjalankan ìserangan udaraî,
istilah yang merujuk pada kampanye melalui tayangan televisi.
Ada
dua jenis serangan udara, yakni iklan dan tayangan program pemberitaan. Ada
dua jenis pula muatan serangan tersebut, yaitu aspek yang berisi kebaikan
untuk diri sendiri dan aspek kejelekan atau kelemahan bagi kubu lawan. Jika
politik adalah persepsi maka produsen yang sempurna bagi aneka persepsi
politik tersebut adalah berbagai stasiun televisi.
Merenungkan
kembali televisi yang dimetaforakan sebagai panggung maka ada dua jenis
sajian yang disodorkan pemodal televisi. Pertama; panggung ekonomi yang bisa
menghasilkan impresi (kesan) sebagai mesin yang benar-benar menghibur. Pada
posisi ini pemodal televisi bermain di belakang panggung. Mereka cukup
memelihara jenis-jenis aktor panggung yang bersetia menghasilkan hiburan yang
mendatangkan iklan. GGS, yang berkisah tentang kawanan serigala molek adalah
salah satu mesin uang itu.
Kedua;
panggung politik yang menghasilkan impresi tentang pemodal televisi yang
berdalih berpartisipasi dalam demokrasi. Mereka tampil di bagian depan
panggung karena popularitas menentukan kemenangan dalam pertarungan
kekuasaan. Mereka tidak cukup sekadar memelihara aktor-aktor pembantu untuk
menggapai kemenangan. Mereka harus jadi aktor utama. Tidak seperti GGS yang
berkisah tentang kemolekan kawanan serigala, para pemodal televisi menjelma
sebagai ”serigala berbulu domba” dalam demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar