Selasa, 02 September 2014

Nyata Memartabatkan Polwan

Nyata Memartabatkan Polwan

M Issamsudin  Peminat Masalah Hukum, Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Tugas seorang polisi wanita (polwan) sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidaklah ringan. Apalagi andai dia mendapat ”beban tambahan” akibat tindak pelecehan, terutama bila dilakukan atasannya berjenis kelamin laki-laki di tempatnya berdinas. Anggota polwan pada umumnya merasa tak berdaya menghadapi persoalan itu. Pasti marah, kecewa, dan frustrasi, namun hanya bisa pasrah.

Tak bisa ada perlawanan lebih lanjut sekalipun sudah diperiksa propam, melapor ke pimpinan yang lebih tinggi, dan masih ditambah menanggung beban psikologis. Mereka makin merasa tak berdaya melihat selama ini belum ada polisi laki-laki (polki) atasan lancung dipecat atau mendapat sanksi tegas terkait dengan pelecehan. Paling keras dicopot dari jabatannya atau dimutasi.

Padahal perbuatan oknum tersebut merusak martabat polwan dan Polri, serta harkat perempuan sesuai jati diri polwan. Sebagai bagian integral institusi, eksistensi polwan pada dasarnya menyangkut persoalan gender. Namun kedudukan dan tupoksi polwan sama dengan polki. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga menyebutkan, polwan adalah pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, serta penegak hukum.

Untuk mendukung kesuksesan tugas, polwan harus bersinergi dengan polki dan saling menghormati. Bila selama ini jajaran kepemimpinan Polri lebih banyak dijabat polki, itu lebih merupakan proporsi yang belum imbang.

Termasuk dalam hal daftar urut kepangkatan dan keseniorannya. Sekalipun demikian, kepemimpinan tetap mendasarkan aturan hukum dan norma-norma sosial yang berbingkai kode etik. Intinya, polki yang menjadi atasan langsung polwan, atau memiliki anak buah polwan, harus menghormati jati diri anggotanya. Penghormatan itu pun bersifat kedinasan yang diatur regulasi.

Pendamping

Perlu memahami pengertian pelecehan mengingat tindakan itu tidak selalu dan tidak harus berunsur seksual. Artinya, bila polki, terutama atasan tak mau dianggap melecehkan perempuan, termasuk polwan maka polki atasannya tersebut jangan pernah memerintah polwan mengerjakan sesuatu yang bukan tugas dan kewajibannya. Pahami bahwa polwan bukanlah pembantu rumah tangga, ”office boy”, atau sopir atasan.

Jadi, polki yang jadi atasannya, jangan menyuruh polwan menghidangkan minuman/makanan di meja kantor, membawakan baju seragam atasan, atau bahkan sepatu atau topi. Bila harus mengajak polwan menemani kegiatan dinas, ada baiknya mengikutsertakan pendamping bagi polwan.

Upaya itu minimal untuk mengurangi kemungkinan terjadinya anggapan buruk pada diri polwan dan atasan tersebut. Dalam berkomunikasi pun, jangan ada pembicraan yang ”menggiring” pada sesuatu yang bisa dianggap melecehkan. Kasus pelecehan, apa pun wujudnya, terhadap polwan yang dilakukan polki atasannya, merugikan citra korps Bhayangkara. Karena itu, pada Hari Jadi Ke-66 Polwan tanggal 1 September 2014 kasus pelecehan perlu mendapat perhatian lebih serius oleh pimpinan.

Pelecehan polwan oleh atasan sama halnya dengan tiadanya perlindungan terhadapnya. Semua polki yang menjadi atasan polwan, sudah seharusnya memahami bahwa polwan memiliki tugas pokok dan fungsi sekaligus martabat yang harus selalu dihormati. Jangan pernah sebagai polki menilai dan berperilaku salah terhadap polwan. Terlebih bila dia anak buah yang seharusnya dilindungi.
Tiap anggota Polri seharusnya jadi figur yang lebih dulu dan selalu patuh pada hukum. Tiap anggota, terlebih seorang komandan, harus menggunakan kewenangannya untuk mencegah (preventief bevoegheid) terjadinya pelanggaran hukum oleh masyarakat atau oleh diri sendiri dan anggota lain.

Pada saat bersaman, semua anggota polwan harus bisa membawakan diri sebaik mungkin, antara lain supaya tidak ”dikurangajari” oleh siapa pun, termasuk atasan atau kolega laki-laki. Polwan harus dibebaskan dari segala bentuk pelecehan terhadap martabatnya sebagai polwan sekaligus martabat sebagai perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar