Nyata
Memartabatkan Polwan
M Issamsudin ; Peminat Masalah Hukum,
Tinggal di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 01 September 2014
Tugas seorang polisi
wanita (polwan) sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
tidaklah ringan. Apalagi andai dia mendapat ”beban tambahan” akibat tindak
pelecehan, terutama bila dilakukan atasannya berjenis kelamin laki-laki di
tempatnya berdinas. Anggota polwan pada umumnya merasa tak berdaya menghadapi
persoalan itu. Pasti marah, kecewa, dan frustrasi, namun hanya bisa pasrah.
Tak bisa ada
perlawanan lebih lanjut sekalipun sudah diperiksa propam, melapor ke pimpinan
yang lebih tinggi, dan masih ditambah menanggung beban psikologis. Mereka
makin merasa tak berdaya melihat selama ini belum ada polisi laki-laki
(polki) atasan lancung dipecat atau mendapat sanksi tegas terkait dengan
pelecehan. Paling keras dicopot dari jabatannya atau dimutasi.
Padahal perbuatan
oknum tersebut merusak martabat polwan dan Polri, serta harkat perempuan
sesuai jati diri polwan. Sebagai bagian integral institusi, eksistensi polwan
pada dasarnya menyangkut persoalan gender. Namun kedudukan dan tupoksi polwan
sama dengan polki. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri) juga menyebutkan, polwan adalah pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat, serta penegak hukum.
Untuk mendukung
kesuksesan tugas, polwan harus bersinergi dengan polki dan saling
menghormati. Bila selama ini jajaran kepemimpinan Polri lebih banyak dijabat
polki, itu lebih merupakan proporsi yang belum imbang.
Termasuk dalam hal
daftar urut kepangkatan dan keseniorannya. Sekalipun demikian, kepemimpinan
tetap mendasarkan aturan hukum dan norma-norma sosial yang berbingkai kode
etik. Intinya, polki yang menjadi atasan langsung polwan, atau memiliki anak
buah polwan, harus menghormati jati diri anggotanya. Penghormatan itu pun
bersifat kedinasan yang diatur regulasi.
Pendamping
Perlu memahami
pengertian pelecehan mengingat tindakan itu tidak selalu dan tidak harus
berunsur seksual. Artinya, bila polki, terutama atasan tak mau dianggap
melecehkan perempuan, termasuk polwan maka polki atasannya tersebut jangan
pernah memerintah polwan mengerjakan sesuatu yang bukan tugas dan
kewajibannya. Pahami bahwa polwan bukanlah pembantu rumah tangga, ”office boy”, atau sopir atasan.
Jadi, polki yang jadi
atasannya, jangan menyuruh polwan menghidangkan minuman/makanan di meja
kantor, membawakan baju seragam atasan, atau bahkan sepatu atau topi. Bila
harus mengajak polwan menemani kegiatan dinas, ada baiknya mengikutsertakan
pendamping bagi polwan.
Upaya itu minimal
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya anggapan buruk pada diri polwan dan
atasan tersebut. Dalam berkomunikasi pun, jangan ada pembicraan yang
”menggiring” pada sesuatu yang bisa dianggap melecehkan. Kasus pelecehan, apa
pun wujudnya, terhadap polwan yang dilakukan polki atasannya, merugikan citra
korps Bhayangkara. Karena itu, pada Hari Jadi Ke-66 Polwan tanggal 1 September
2014 kasus pelecehan perlu mendapat perhatian lebih serius oleh pimpinan.
Pelecehan polwan oleh
atasan sama halnya dengan tiadanya perlindungan terhadapnya. Semua polki yang
menjadi atasan polwan, sudah seharusnya memahami bahwa polwan memiliki tugas
pokok dan fungsi sekaligus martabat yang harus selalu dihormati. Jangan
pernah sebagai polki menilai dan berperilaku salah terhadap polwan. Terlebih
bila dia anak buah yang seharusnya dilindungi.
Tiap anggota Polri
seharusnya jadi figur yang lebih dulu dan selalu patuh pada hukum. Tiap
anggota, terlebih seorang komandan, harus menggunakan kewenangannya untuk
mencegah (preventief bevoegheid)
terjadinya pelanggaran hukum oleh masyarakat atau oleh diri sendiri dan
anggota lain.
Pada saat bersaman,
semua anggota polwan harus bisa membawakan diri sebaik mungkin, antara lain
supaya tidak ”dikurangajari” oleh siapa pun, termasuk atasan atau kolega
laki-laki. Polwan harus dibebaskan dari segala bentuk pelecehan terhadap
martabatnya sebagai polwan sekaligus martabat sebagai perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar