IS,
Jihad, dan Pendidikan Kita
Husein Ja’far Al Hadarn ;
Penulis
|
KORAN
TEMPO, 20 September 2014
Salah satu ideologi utama dan dasar Negara
Islam Irak dan Suriah, atau Islamic State
(IS), adalah jihad. Abu Mus'ab az-Zarqawi, peletak cikal-bakal IS, berhasil
direkrut dari kehidupannya sebagai pemuda nakal dengan pesona doktrin tentang
jihad. Akhirnya, ia tumbuh menjadi seorang yang hanya memahami Islam sebagai
jihad. Ironisnya, pendidikan kita pun sering kali mengasosiasi Nabi lebih
sebagai pendekar perang yang mengisi hidupnya dengan perang.
Seperti dikemukakan Syaikh Hasan bin Farhan
al-Maliky, ulama moderat Arab Saudi, IS tenggelam dalam lautan keutamaan
jihad, sementara mereka tak memahami sedikit pun tentang prinsip-prinsip
jihad paling dasar. Mereka adalah orang yang menganggap Islam dan kehidupan
Nabi Muhammad hanya perkara perang. Padahal, menurut sebuah penelitian, jika
dikalkulasi, karier kerasulan Nabi kira-kira 23 tahun atau 8.000 hari. Jumlah
hari Nabi berperang hanya 80 hari jika tanpa melibatkan persiapan dan
sebagainya. Artinya, secara total, hari peperangan Nabi hanya 10 persen atau
1 persen dari karier kenabiannya. Ironisnya, yang 90 persen atau 99 persen
inilah yang justru tak dipahami dan diyakini oleh IS dan para pengikut serta
pendukungnya. Itu pula yang kerap diajarkan berulang-ulang tentang Islam dan
Nabi dalam pendidikan anak-anak kita.
Padahal, menurut Nabi, jihad bukan hanya
dilakukan dengan berperang. Justru, Nabi menyebut perang sebagai jihad kecil
(jihâd ashghar) dan melawan nafsu
sebagai jihad besar (jihâd akbar).
Alkisah, saat Nabi pulang dari Perang Tabuk, ketika para sahabat berkata,
"Kita baru saja pulang dari perang besar". Nabi justru berkomentar,
"(Sebaliknya) kita baru pulang dari perang kecil, menuju perang
besar," yakni jihad melawan nafsu. Dan, tak ada orang yang mati syahid
dalam jihad kecil, sebelum dia menang dalam jihad besar. Artinya, kesyahidan
sejati justru bukan didapat dari medan perang saja, tapi juga dari perang
melawan nafsu terlebih dulu. Sayyidina Ali pernah mengurungkan ayunan
pedangnya saat menyadari bahwa ayunan pedang itu disebabkan nafsunya. Nabi
sendiri pun tak syahid di medan perang. Adapun jihad model IS justru karnaval
nafsu: kekejaman, keberingasan, dan kesadisan.
Jihad dalam konteks perang pun tak dipahami
dengan benar dan kadang tereduksi oleh IS dan mungkin oleh sebagian kita.
Jelas-jelas Al-Quran dalam al-Baqarah: 190, an-Nisaa': 75 dan al-Hajj: 40
menjelaskan bahwa yang diperbolehkan-atau diwajibkan-untuk diperangi adalah
orang-orang yang memerangi kita, dan itu pun jangan melampaui batas, serta
berperang dalam rangka membela hak-hak orang-orang tertindas atau terusir
dari kampung halamannya. Adapun yang dilakukan IS justru menindas dan
mengusir orang lain, atau malah saudara muslimnya dari kampung halamannya di
Mosul, Tikrit, dan wilayah-wilayah lain yang dikuasainya, hanya karena
perbedaan mazhab, ideologi, atau pandangan.
Perang IS juga bukan lagi hanya menerobos
etika perang Islam, tapi sangat melampaui batas dengan berlaku sadis terhadap
tawanannya. Kita harus menjauhkan anak-anak dan lembaga pendidikan kita dari
salah kaprah jihad ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar