Merawat
Janji Poros Maritim
Anton Setyo Nugroho ;
Anggota
Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani)
|
SINAR
HARAPAN, 10 September 2014
Munculnya
ide dan gagasan visi pembangunan dengan mewujudkan negara poros maritim dunia
seperti oase di padang pasir. di tengah pemikiran yang mandek terhadap
terobosan pembangunan ekonomi yang berpihak ke darat.
Poros
maritim memunculkan harapan pengulangan kejayaan kerajaan masa lalu di Ibu
Pertiwi. Untuk itu, mengawal Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara poros maritim dunia menjadi sebuah kewajiban agar
janjinya tidak layu sebelum berkembang.
Sejarah
kejayaan kerajaan masa lalu dengan berbasis kekuatan maritim telah
menggambarkan kepada kita tentang konsep besar agar bangsa ini maju dan kuat.
Setidaknya, kita telah diajarkan pentingnya empat kekuatan yang mendorong
kejayaan sebuah peradaban melalui konsep poros maritim.
Pertama,
kekuatan politik dan pertahanan yang berani menghalau kekuatan asing. Batas
wilayah negara dijaga melalui teknologi modern dan peralatan tangguh. Ocean
leadership dan ocean policy akan dapat menjaga kedaulatan bangsa dengan
terwujudnya visi maritim yang hebat, serta kemampuan diplomasi yang tangguh.
Kedua,
kekuatan sosial dan budaya yang sadar bangsa ini mempunyai lautan yang luas.
Secara sosial dan budaya, kita masih belum menyadarinya. Budaya darat seakan
memarjinalkan kesadaran terhadap luas lautan dengan segala isinya. Kegemaran
makan ikan yang dipengaruhi nilai budaya dan pendidikan, jika terus
digalakkan, akan dapat mengantarkan Indonesia sebagai pengonsumsi ikan per
kapita terbesar di dunia. Ini sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan.
Ketiga,
kekuatan infrastruktur dan perhubungan yang menghubungkan antarpulau dengan
mudah dan murah. Lautan bukan pemisah, tetapi penghubung antarpulau. Jalur
perairan dunia telah menjadikan Indonesia sebagai alur pelayaran dunia sejak
zaman kerajaan. Namun, pelabuhan internasional maupun nasional kita justru
masih bisa dihitung dengan jari. Singapura justru lebih mengambil keuntungan
ekonomi dari persinggahan kapal asing yang merapat.
Keempat,
kekuatan potensi sumber daya alam lautan yang membentang luas dan daratan
yang subur. Nilai total potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan
mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dan mampu menyediakan lapangan kerja
kurang lebih 40 juta penduduk (Rokhmin,
2014). Akan tetapi, konsep poros maritim tidak bisa terlepas dari
kekuatan darat. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan tentunya menjadi
pendukung kejayaan maritim melalui komoditas yang dihasilkan.
Lewat Kabinet
Angin segar kembali ditiupkan Jokowi ketika
berkampanye mewujudkan negara poros maritim yang digdaya. Kembali disadari,
sebuah gagasan besar akan terwujud jika didorong political will yang kuat dan
wadah besar melalui kelembagaan.
Kita
harus belajar dari kemauan kuat presiden Soeharto dalam mewujudkan kedaulatan
pangan dengan pembangungan secara bertahap dan terarah. Begitu juga tidak ada
yang sulit bagi Jokowi untuk menetapkan visi maritim sebagai mainstream
pembangunan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan. Tidak sulit pula
menjabarkan visi tersebut dengan misi dan program kerja yang mendukung ide
dan gagasan besar poros maritim. Ini semua tinggal diwujudkan jika ada
kemauan politik.
Kemauan
politik yang kuat untuk mewujudkan negara poros maritim harus
diimplementasikan dengan membentuk kelembagaan yang bercorak maritim.
Merestrukturusasi kelembagaan dengan menggabungkan beberapa kementerian
menjadi Kementerian Kedaulatan Pangan bukan hal yang gampang. Disadari,
bangsa ini sedang dihadapkan kepada dua masalah yang berat terkait kedaulatan
pangan dan pengadaan energi terbarukan.
Pembangunan
poros maritim diharapkan menjadi salah satu solusi mewujudkan kedaulatan
pangan dan energi, meskipun keinginan tim transisi Jokowi menggabungkan
kementerian sangat mendasar untuk mengefektifkan program kedaulatan pangan
dan energi.
Namun,
Jokowi tidak punya waktu banyak untuk melakukan perombakan besar di struktur
kementerian. Bisa jadi waktu lima tahun akan habis karena disibukkan
merestrukturisasi kementerian baru. Lebih efektif jika penghematan anggaran
dilakukan melalui efisiensi dan efektivitas dengan memperbaiki kinerja
birokrasi. Ini akan mendorong peningkatan pendapatan negara di setiap sektor.
Kementerian
Kelautan dan Perikanan sebagai salah satu penopang kekuatan gagasan poros
maritim seharusnya diperkuat keberadaannya. Meleburkan kementerian ini dengan
kementerian lainnya sama saja mengerdilkan ide dan gagasan yang telah dimulai
sejak era Gus Dur untuk mewujudkan pembangunan maritim. Justru seharusnya,
Jokowi mengupayakan pembentukan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang
Maritim tanpa mengeliminasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pembentukan
kemenko tidak akan memakan biaya tinggi dibandingkan membentuk kementerian
teknis. Kemenko Maritim ini difungsikan sebagai penghubung pembangunan
ekonomi maritim, serta mendorong terwujudnya Bank Agromaritim. Selain itu,
kemenko ini dapat menjembatani kemandekan yang terjadi karena tidak sinkronnya
beberapa kementerian teknis dalam upaya peningkatan kedaulatan pangan dan
penyediaan energi terbarukan melalui sumber daya laut maupun darat.
Alternatif
lain yang dapat diupayakan dalam rangka memperkuat kelembagaan, jika kemenko
maritim tidak dapat diwujudkan dalam rangka efisiensi, adalah membentuk Unit
Kerja Presiden Bidang Maritim yang berada di bawah kendali langsung presiden.
Fungsi unit ini menjadi pengontrol,
evaluator, sekaligus katalisator agar pembangunan poros maritim berjalan
sebagaimana mestinya, sesuai perencanaan. Ini memudahkan presiden mengukur
sejauh mana keberhasilan program maritim karena langsung di bawah koordinasi
maupun pengawasannya.
Kita
berkeyakinan, Jokowi akan terus merawat janji kampanyenya untuk mewujudkan
negara poros maritim dunia. Para perindu kejayaan bangsa, seperti kejayaan
Sriwijaya, telah semringah dengan gagasan negara poros maritim.
Sri
Sultan Hamengkubuwono X bahkan telah mewanti-wanti kepada Jokowi-JK untuk
mewujudkan budaya dan kekuatan maritim jika negeri ini mau bangkit. Ini
sebuah kesempatan emas, tinggal berdasarkan kemauan Jokowi untuk merawat
janjinya atau melupakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar