Ebola,
dari Hewan ke Manusia
Harjuli Hatmono ;
Ketua
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Jateng I, Sekretaris ex
officio Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (KP3K) Provinsi
Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 10 September 2014
Wabah
Ebola Virus Disease (EVD) telah dinyatakan oleh WHO, organisasi kesehatan
dunia, sebagai keadaan darurat kesehatan internasional.
Apa
respons negara-negara? Spanyol menerima kepulangan dua warganya dari Liberia,
yang terjangkit virus penyakit itu, dengan perlakuan khusus, tandu steril,
kendati kemudian diberitakan meninggal dalam perawatan di Madrid. AS pun
menarik diplomatnya dari Siera Leone, pusat wabah, bersama Liberia dan Guinea
(SM, 16/8/14).
Adapun
Arab Saudi tak menerbitkan visa bagi 7.400 calhaj asal negara terjangkit,
sedangkan Indonesia menyatakan ’’Siaga Ebola’’. Artinya, penyebaran penyakit
itu bukan lagi masalah negara terjangkit melainkan mengharuskan semua negara
waspada.
Kesadaran
internasional menghadapi wabah penyakit diperlukan guna mencegah meluasnya
epidemi menjadi pandemi (wabah raya). Bukan kekhawatiran berlebihan dalam
menghadapi EVD, melihat risiko penyebarannya. Pertama; dalam epidemiologi dikenal
adanya hewan reservoir, yakni yang menyimpan agen penyakit tanpa ia sendiri
menderita penyakit.
Dalam
kasus virus Ebola, reservoir berada pada hewan kelelawar buah, gorila,
simpanse, landak, dan antelop. Hewan itu tersebar di berbagai belahan dunia.
Kontak agen penyakit dengan manusia melalui kelelawar terjadi secara langsung
ataupun tidak. Buah terkotaminasi yang terkonsumsi manusia bisa mengawali
infeksi.
Simpanse
dan gorila walaupun dilindungi undang-undang konservasi, masih terjadi
transportasi dan jual beli. Kontak langsung dapat terjadi pada orang yang
terlibat. Secara tak langsung, agen penyakit dapat tersebar ke sepanjang
garis yang dilalui.
Daging
landak tak jarang ditemukan sebagai ’’menu istimewa’’, antara lain di kawasan
wisata Tawangmangu Karanganyar. Khusus sate landak dijual di Delanggu,
Klaten. Kedua; sifat virus yang immunosuppressive, yaitu menekan pembentukan
zat kebal pada tubuh yang terinfeksi. Hal ini juga menyulitkan upaya lab
menciptakan vaksin.
Penelitian
intensif pada hewan reservoir perlu dilakukan guna mengetahui mekanisme
pengebalan tubuhnya dari infeksi virus Ebola. Ketiga; risiko penyebaran
melalui kontak langsung penderita disertai kontak dengan benda tercemar.
Hubungan internasional melalui lalu lintas udara antarnegara membuka peluang
besar penyebaran virus melalui vektor mekanis ataupun biologis.
Menurut
beberapa referensi; darah, kotoran dan keringat penderita dapat menjadi media
penularan virus. Hubungan seks dengan orang terinfeksi, penanganan jenazah
tanpa alat pelindung memadai dan menyentuh benda terkontaminasi dapat juga
menjadi sumber penyebaran virus.
Tindakan
Arab tidak mau memberi visa calon jamaah haji negara tertular semata-mata
membatasi vektor mekanis dan biologis sekaligus. Andai kasus Ebola sudah terjadi
sejak Maret 2014, apakah jamaah umrah telah memperoleh perlakuan sama? Bila
saat itu lolos, mereka yang berasal dari berbagai negara itu, seharusnya
diperiksa intensif.
Studi Restropektif
Istilahnya,
pada disiplin epidemiologi harus ada studi retrospektif. Katakanlah, tak ada
kasus hingga batas masa inkubasi. Manusia merupakan dead-end kendati 10% dari
kasus dapat selamat.
Meminjam
istilah Bob Knight dalam buku The Power of Negative Thinking, ada baiknya
kata ”jangan-jangan” agen penyakit berada pada kasus yang selamat. Untuk
mencegah masuknya virus Ebola ke Indonesia harus dilakukan pencegahan di luar
negeri.
Sebelum
seseorang terbang ke Indonesia, ia harus negatif EVD. Karena itu, lebih baik
menyediakan posko pemeriksaan kesehatan di pelabuhan dan bandara. Bila hasil
pemeriksaan positif, dan ia bisa masuk maka sama saja dengan mengucapkan
”Selamat Datang Ebola’’. Semoga itu tidak terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar