Kamis, 04 September 2014

Merajut Kembali Kemerdekaan Kita

Merajut Kembali Kemerdekaan Kita

Ayipudin  ;   Peneliti di Institute for Education, Clture & Information
(IECI Jakarta) & Asa Fatiha Faundation
HALUAN, 03 September 2014

Artikel ini telah dimuat di OKEZONENEWS 29 Agustus 2014
                                                                                                                       
                                                      

Hari kemerdekaan ibarat lahirnya sang fajar ketika awan gelap mem­bung­kus negeri ini dengan pesimisme. Bagimanapun nikmat kemer­dekaaan membangkitkan sang fajar untuk terus berdiri dengan tegak, menengadahkan wajah, dan menghormat bendera merah putih yang lusuh akibat terjangan badai konflik SARA dan intrik politik.

Di saat bersamaan negeri ini dihadapkan pada kenyataan bahwa generasi penerus bangsa kian dice­maskan oleh identitas yang makin tidak jelas. Serbuan budaya luar dan gaya hidup yang semakin he­donis bahkan kasar telah menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk segera diperhatikan oleh elit negeri ini.

Salah satu caranya ialah menyemai kembali karakter bangsa yang berkebudayaan adalah dengan pendidikan. Pen­didikan menurut Ki Hadjar Dewantara sebagai proses pembudayaan ha­rus mampu mengem­bangkan “trisakti” insani dengan memberdayakan segala potensi inderawi. Melalui pembelajaran olah pikir, olah rasa, dan olah raga, pendidikan sepanjang hayat dalam kerang­ka me­manusiakan manusia. 

Dalam proses belajar menjadi manusia sebagai makhluk berkebudayaan, setiap individu me­miliki tiga potensi besar sebagai kreator kebudayaan yang disebutnya sebagai trisakti insani: cipta (pikiran), yang membuahkan penge­tahuan, pendidikan, dan filsafat; rasa yang mem­buahkan keindahan, kelu­huran batin, seni, adat istia­dat, penyesuaian sosial, nasio­nalisme, keadilan, dan keaga­maan; serta karsa (ke­mauan) yang menimbulkan per­buatan dan buatan ma­nusia, seperti industri, per­tanian, dan ba­ngunan (ar­sitektur).

Selain mengembangkan potensi pribadi sebagai per­wujudan khusus dari alam, proses pendidikan harus mampu menghubungkan kapa­sitas individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia. Karena itu, pendidikan harus ter­kait dengan visi trans­formasi bangsa bukan memaksakan konsep kuri­kulum tanpa dengan mem­perhatikan visi besar bangsa ini.

Sudah 69 tahun negeri ini merdeka namun fitrah kemer­de­kaan masih belum bisa di­­ra­sakan se­ca­ra menye­luruh. Bah­kan kon­flik po­litik dan perebutan kekuasaan sema­kin bar­bar dan meng­halal­kan segala cara. Ma­ka tak he­ran ha­sil pe­mi­lu kemarin ma­sih menyi­sa­kan ser­pi­han-ser­pi­han noda yang ma­­sih membekas serta menim­bulkan kecemasan.

Untuk mengubah kece­masan menjadi harapan, pemimpin terpilih ha­rus sungguh-sungguh men­­jamin kebe­basan sipil dan plu­ralitas de­ngan merealisasikan negara ke­ke­luar­gaan yang da­pat me­lin­du­ngi se­genap bang­sa dan se­luruh tum­­pah darah. Pemim­pin ter­pilih juga ha­rus sung­guh-sung­­guh berusaha men­ciut­kan kesen­ja­ngan sosial dan me­ngem­­­bangkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara kesejahteraan.

Dalam mengarungi jalan terjal politik harapan itu, sikap opti­mistis harus terus dipelihara. Orang boleh ke­cewa terhadap pelaksanaan de­mokrasi, tetapi mesti ber­sabar untuk memper­tahankan rezim demokratis. Berbeda dengan ledakan harapan, pemerin­tahan demo­kratis baru sering diha­dapkan dengan aneka masalah dan ke­kece­wa­an. Ka­rena itu, be­tapa­pun legitimasi ki­nerja me­­main­kan peranan pen­ting bagi kelang­sungan pe­me­rin­tahan de­mo­kratis, yang lebih menen­tukan bu­kanlah ke­sang­­gupan mereka dalam menun­taskan ma­sa­lah-masalah itu, me­lainkan cara pemimpin politik itu me­nang­­gapi ketidakmampuannya.

Suatu pemerintahan demo­kratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama lintas batas, bukan menyulut perti­kaian, sambil mengu­pa­yakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional. Para pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan opti­misme dengan cara mema­hami kesaling­tergan­tungan realitas serta kesediaan mene­robos batas-batas politik lama.

Kekuasaan digunakan un­tuk memotivasi dan memberi inspirasi yang dapat mendorong partisipasi dan tang­gung jawab warga untuk ber­­go­tong royong merealisasikan kebajikan bersama. Dalam menguatkan gotong royong ini, pluralitas harus dikembangkan secara jujur, tidak dipolitisasi sebagai siasat demi me­nguntungkan go­longan sen­diri. Sang fajar harus tetap menyingsing memberi harapan dan angin segar agar bendera merah putih selalu berkibar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar