Ulang
Tahun Penanda Bencana
Hendro Sangkoyo ; Peneliti
di School of Democratic Economics
|
KOMPAS,
24 September 2014
PADA 2014,
genap sudah 20 tahun usia Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim atau
UNFCCC. Jangka waktu cukup lama untuk sebuah instrumen dan mekanisme
pengerahan kesepakatan pada masa krisis. Strategi utama UNFCCC adalah
menciptakan mekanisme finansial kompensasi emisi gas rumah kaca setara karbon
untuk memudahkan dapur emisi industri terbesar mengatasi batasan kuota emisi
lewat perdagangan jatah emisi atau perdagangan karbon. Mekanisme ini telah
membangkitkan ekonomi kompensasi karbon senilai lebih dari 100 miliar dollar
AS pada puncaknya tahun 2011.
Sejak awal
2000-an, mempertahankan serapan karbon dari hutan tropis dan lahan
pelan-pelan menggantikan pengecilan emisi karbon industrial sebagai fokus
mitigasi. UNFCCC mendorong negara-negara berwilayah hutan mengonversi stok
karbon di wilayahnya menjadi aset finansial. Di Indonesia, Dewan Nasional
Perubahan Iklim diresmikan dengan pernyataan pers bahwa tugas utamanya
mendorong perdagangan karbon di Indonesia. Pengurangan emisi dari perusakan
hutan dan pembongkaran lahan menjanjikan prospek alir pendapatan dana publik
lebih mudah daripada upaya pengecilan emisi karbon dari sektor energi,
industri, dan transportasi.
Di atas
kertas, fokus pada perlindungan hutan dan lahan juga berpotensi melindungi
dan menciptakan pendapatan bagi masyarakat pengampu hutan lewat program hibah
atau transaksi komersial. Di bawah rezim mitigasi perubahan iklim itu, setiap
negara diharapkan bisa mengemas strategi mitigasi yang pas dengan kondisi
sosial-ekologis setempat, dalam aksi mitigasi yang secara nasional tepat
(NAMA).
Pertemuan puncak darurat
Pekan depan,
Sekjen PBB menggelar ”pertemuan puncak darurat” perubahan iklim di markas
PBB, yang kesannya jauh dari perayaan ulang tahun. Dua tahun terakhir memang
muncul serangkaian berita baru perubahan iklim yang tak satu pun
menggembirakan. Tahun lalu, jumlah emisi karbon dan suhu atmosfera tertinggi
sejak 1984. Dekade 2001-2010 adalah yang terpanas dalam tiga dekade terakhir,
dengan suhu rata-rata permukaan laut dan pertemuan daratan-udara 0,47 derajat
celsius di atas suhu rata-rata 1961-1990. Pada 2012, luas dataran es Arktik
di musim panas, penunjuk penting krisis perubahan iklim, mengerut 3,3 juta
kilometer persegi (seluas India) dari luas minimum rata-rata 1979-2000. Di
dekade yang sama, muka air laut naik 3,2 milimeter per tahun, dua kali
kecepatan kenaikan sepanjang abad XX.
Dengan tingkat
penurunan laju emisi sekecil sekarang, diperkirakan kenaikan suhu muka bumi
3,6 derajat celsius pada 2050 atau lebih awal lagi. Tanda-tanda naiknya
entropi ekologis di skala planeter itu tak mengusik pertimbangan
profitabilitas ekonomi karbon. Masalah juga menghantui sisi kapital keuangan,
medan utama penerapan strategi mitigasi perubahan iklim lewat finansialisasi
kompensasi emisi karbon. Perilaku korporasi dan turbulensi ekonomi global
meniadakan kemungkinan regulasi efektif terhadap pasar karbon.
Setelah
skandal politik di COP-15 UNFCCC di Kopenhagen 2009, rezim kesepakatan UNFCCC
terus memudar daya geraknya. Australia menutup pasar karbonnya. Negara-negara
peratifikasi UNFCCC tak lagi bisa menempatkan diri dalam blok politik
mitigasi dan adaptasi mana pun. EU-ETS, penyerap 86 persen perdagangan karbon
dunia, harus mengatasi rangkaian rontoknya harga karbon sampai 2013. Pada
COP-15 di Kopenhagen, Presiden RI mengumumkan target penurunan emisi 26 persen
pada 2020, 41 persen dengan bantuan dana internasional.
Pekan lalu,
PricewaterhouseCoopers menerbitkan laporan tentang jurang di antara ambisi
dan realitas dalam ekonomi karbon. Sementara intensitas emisi karbon dari
pertumbuhan ekonomi dunia turun 0,6 persen, Indonesia justru naik rata-rata
1,7 persen per tahun, 2008-2013. Beberapa tahun terakhir bahkan telah
dihitung-hitung dana mitigasi dari serapan karbon di lautan Indonesia. Dana
mitigasi tidak akan menjawab absennya kendali atas telapak sosial-ekologis
dari rerantai ekonomik. Dalam rangkaian cuaca ekstrem tahun ini, petani dan
nelayan mengatasi keadaan darurat dengan tindakan adaptasi kalang kabut,
tanpa panduan. Sejak 2011, pembaca koran belajar mengeja kata
interconnectivity dalam konteks ambisi percepatan pembangunan infrastruktur
ekonomi di seluruh kepulauan lewat Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia, sementara fragmentasi pengurusan publik sudah
menjurus pada keadaan macet total (gridlock).
Pengantar
laporan perubahan iklim Organisasi Meteorologi Dunia justru mengingatkan
menguatnya teleconnections, pertautan berbagai tampilan krisis ekologis dalam
perilaku atmosfera dan samudra. Indonesia tak punya kemewahan membesarkan
sirkuit industri dan keuangannya tanpa memenuhi syarat keselamatan warga
negara dan mengatasi krisis perubahan iklim sekaligus. Pada usia 20 tahun,
pendekatan dan strategi mitigasi UNFCCC terbukti justru memperpanjang
rerantai masalah dalam krisis perubahan iklim. Keangkuhan visi ekonomistik
atas perubahan sosial-ekologis barangkali harus segera tunduk kepada hukum
alam yang mengendalikan zona kehidupan di muka bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar