Menghidupkan
Nalar Politik Maritim
Ali Rif’an ; Peneliti
Poltracking;
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 08 September 2014
Ide
mengukuhkan Indonesia sebagai negara maritim kembali muncul. Gagasan ini
dicetuskan oleh presiden dan wakil presiden (wapres) terpilih, Joko Widodo
dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Mereka berencana membentuk Kementerian
Kemaritiman.
Rencana
tersebut patut disambut positif. Sejak merdeka 69 tahun yang lalu, kita terus
mendengungkan pembangunan yang bervisi daratan ketimbang maritim. Akibatnya,
terjadi kesenjangan luar biasa antara wilayah-wilayah yang didominasi lautan
(Indonesia bagian timur) dengan wilayah-wilayah darat (Indonesia bagian
barat).
Padahal
secara geografis, wilayah lautan Indonesia jauh lebih luas (73 persen)
daripada luas daratan yang hanya 27 persen. Itulah alasan dalam Munas Maritim
1963 Bung Karno mengatakan, “Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera
selama tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.”
Sebagai
Presiden Pertama Indonesia, Bung Karno sadar betul masalah maritim harus
diletakkan dalam domain utama pembangunan bangsa, mengingat Indonesia adalah
negara kepulauan.
Untuk
mewujudkan mimpinya, Bung Karno pernah mengetuk nalar kemaritiman masyarakat
Indonesia dengan menunjuk PM Djoeanda guna membuat deklarasi wawasan
Nusantara pada 13 Desember 1957 dan memperjuangkannya di forum internasional
melalui United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada 1958.
Namun
dalam perjalanannya, saat kepemimpinan diambil alih Orde Baru, gagasan
kemaritiman Bung Karno kandas. Konsentrasi pembangunan lebih mengarah kepada
daratan atau dikenal dengan istilah continental oriented development (COD).
Dengan dibantu IMF dan Bank Dunia, pembangunan infrastruktur jalur darat pada
era Orde Baru benar-benar memukau, sedangkan sektor maritim mengempis, bahkan
minus perhatian.
Nalar
pembangunan maritim kembali hidup saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan sekaligus
menunjuk Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Sayangnya, kepemimpinan
Gus Dur tidak berlangsung lama karena harus lengser dari kursi presiden. Ini
gagasan kemaritiman pun ikut surut.
Setelah
era Gus Dur, wacana pembangunan kemaritiman terdengar sayup-sayup, meskipun
ada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada era Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).
Karena
itu ketika Jokowi menggembar-gemborkan pentingnya pembangunan bervisi
kemaritiman, hal tersebut seperti memberi kabar gembira bagi publik. Gagasan
ini dapat menyembuhkan amnesia sejarah kita dari nalar politik yang bervisi
maritim.
Faktor Penting
Ada
beberapa faktor penting yang menyebabkan nalar politik maritim harus segera
dihidupkan kembali. Pertama, nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Dengan
menghidupkan nalar politik maritim, berarti Indonesia sedang kembali ke jati
diri bangsa.
Dalam
hal ini, sejarawan AB Lapian (1929-2011) pernah mengatakan, Indonesia itu
disatukan oleh laut, bukan dipisahkan lautan sebab perairan itu menjadi
jembatan menyatukan wilayah-wilayah dan pulau-pulau di negeri ini (Munawir
Aziz, 2014).
Kedua,
dari sisi geopolitik, sektor maritim sangat vital, apalagi dalam kasus
Indonesia. Catatan-catatan tragis tentang nasib nelayan kita terus
berserakan. Tak hanya kalah dari sisi diplomasi, para pelaut kita kerap
minder dengan pelaut-pelaut negeri tetangga karena mereka dibekali peralatan
lengkap dan kapal yang memadai.
Tak
heran jika ikan di perairan kita kerap dicaplok negeri tetangga. Sebagai
wilayah maritim, kita masih sangat gagap dibandingkan negara-negara seperti
Singapura, Malaysia, Korea, bahkan Papua Nugini sekalipun.
Masih
segar dalam ingatan kita bagaimana insiden gugus tempur kapal induk USS Carl
Vinson Juli 203 di perairan Bawean, lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, serta
konflik Laut Tiongkok Selatan. Rentetan peristiwa itu menandakan wilayah
maritim sangat setrategis. Di wilayah maritim itulah kekuatan suatu bangsa
dapat dilihat.
Ketiga,
laut dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi. Indonesia harus belajar dari
Tiongkok yang saat ini dengan cepat menjadi negara terdepan di dunia dalam
sektor ekonomi. Usut punya usut, salah satu faktor penting ekonomi Tiongkok
maju adalah keberhasilannya menggarap sektor maritim. Dalam sejarahnya,
Tiongkok dan Indonesia sama-sama memiliki nenek moyang pelaut.
Di
Tiongkok misalnya, setiap 11 Juli diperingati sebagai Hari Maritim. Penetapan
hari besar yang dimulai pada 2005 itu digunakan untuk memperingati 600 tahun
pelayaran Cheng Ho yang membawa 240 kapal dengan 27.400 awaknya mengarungi
samudra. Melalui jalur maritim, Cheng Ho menjalin hubungan dagang dengan
Jawa, India, hingga ke ujung Laut Merah, Afrika, serta Selat Hormuz.
Apalagi
semenjak dipimpin Deng Xioping sekitar akhir 1970, upaya menghidupkan sektor
maritim di Tiongkok semakin besar. Hal itu ditandai dengan pertumbuhan kapal
dagang yang pesat, pengelolaan pelabuhan yang serius, serta ekspansi
perdagangan melalui jalur laut yang semakin marak.
Tak
hanya itu, untuk menunjang industri di laut, pemerintah Tiongkok
mengembangkan angkatan lautnya menuju taraf blue water navy. Itulah yang
menyebabkan ekonomi Tiongkok berkembang pesat.
Nalar Politik Maritim
Karena
itu, menghidupkan nalar politik maritim dengan pembangunan infrastruktur dan
mengelola potensi kekayaan sumber daya alam laut, selain dapat meningkatkan
harga diri bangsa di mata dunia, dapat membuat kekuatan ekonomi baru bagi
Indonesia.
Dengan
luas wilayah laut 5,8 juta kilometer persegi, terdiri atas 17.504 pulau
kecil, serta dikelilingi garis pantai sepanjang 95.161 kilometer, potensi
Indonesia menjadi negara ekonomi terbesar di dunia sebenarnya sudah di depan
mata. Dengan begitu, salah satu gagasan trisakti Bung Karno yang berbunyi,
“berdikari dalam bidang ekonomi” akan benar-benar dapat terwujud.
Seperti
dikatakan Rokhmin Dahuri (2010), setidaknya terdapat sebelas sektor ekonomi
yang dapat dikembangkan dari sektor maritim. Sektor-sektor itu adalah
perikanan tangkap, perikanan budi daya, transportasi laut, pariwisata bahari,
kehutanan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim,
serta sumber daya alam nonkonvensional.
Potensi
total nilai ekonomi sebelas sektor kelautan tersebut diperkirakan mencapai
US$ 800 miliar atau RP 7.600 triliun per tahun. INI lebih dari enam kali
lipat dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia setiap
tahunnya. Itulah takdir geografis yang harus dijemput oleh pasangan
Jokowi-JK.
Karena
itu, sekali lagi, langkah Jokowi-JK yang hendak mengarusutamakan
(mainstreaming) pembangunan di sektor maritim menjadi oase di tengah semakin
senyapnya pembicaraan sektor ini dalam dekade terakhir.
Tentu
langkah tersebut tidak bisa dilakukan sendirian. Membongkar kesadaran akan
sifat pembangunan Indonesia yang bervisi kemaritiman membutuhkan kerja keras
semua pihak dan seluruh elemen bangsa, baik kalangan elite, menengah, maupun
akar rumput. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar