Selasa, 09 September 2014

Menghidupkan Nalar Politik Maritim

Menghidupkan Nalar Politik Maritim

Ali Rif’an  ;   Peneliti Poltracking;
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ide mengukuhkan Indonesia sebagai negara maritim kembali muncul. Gagasan ini dicetuskan oleh presiden dan wakil presiden (wapres) terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Mereka berencana membentuk Kementerian Kemaritiman.

Rencana tersebut patut disambut positif. Sejak merdeka 69 tahun yang lalu, kita terus mendengungkan pembangunan yang bervisi daratan ketimbang maritim. Akibatnya, terjadi kesenjangan luar biasa antara wilayah-wilayah yang didominasi lautan (Indonesia bagian timur) dengan wilayah-wilayah darat (Indonesia bagian barat).

Padahal secara geografis, wilayah lautan Indonesia jauh lebih luas (73 persen) daripada luas daratan yang hanya 27 persen. Itulah alasan dalam Munas Maritim 1963 Bung Karno mengatakan, “Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera selama tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.”

Sebagai Presiden Pertama Indonesia, Bung Karno sadar betul masalah maritim harus diletakkan dalam domain utama pembangunan bangsa, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan.

Untuk mewujudkan mimpinya, Bung Karno pernah mengetuk nalar kemaritiman masyarakat Indonesia dengan menunjuk PM Djoeanda guna membuat deklarasi wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan memperjuangkannya di forum internasional melalui United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada 1958.

Namun dalam perjalanannya, saat kepemimpinan diambil alih Orde Baru, gagasan kemaritiman Bung Karno kandas. Konsentrasi pembangunan lebih mengarah kepada daratan atau dikenal dengan istilah continental oriented development (COD). Dengan dibantu IMF dan Bank Dunia, pembangunan infrastruktur jalur darat pada era Orde Baru benar-benar memukau, sedangkan sektor maritim mengempis, bahkan minus perhatian.

Nalar pembangunan maritim kembali hidup saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan sekaligus menunjuk Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Sayangnya, kepemimpinan Gus Dur tidak berlangsung lama karena harus lengser dari kursi presiden. Ini gagasan kemaritiman pun ikut surut.

Setelah era Gus Dur, wacana pembangunan kemaritiman terdengar sayup-sayup, meskipun ada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Karena itu ketika Jokowi menggembar-gemborkan pentingnya pembangunan bervisi kemaritiman, hal tersebut seperti memberi kabar gembira bagi publik. Gagasan ini dapat menyembuhkan amnesia sejarah kita dari nalar politik yang bervisi maritim.

Faktor Penting

Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan nalar politik maritim harus segera dihidupkan kembali. Pertama, nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Dengan menghidupkan nalar politik maritim, berarti Indonesia sedang kembali ke jati diri bangsa.

Dalam hal ini, sejarawan AB Lapian (1929-2011) pernah mengatakan, Indonesia itu disatukan oleh laut, bukan dipisahkan lautan sebab perairan itu menjadi jembatan menyatukan wilayah-wilayah dan pulau-pulau di negeri ini (Munawir Aziz, 2014).

Kedua, dari sisi geopolitik, sektor maritim sangat vital, apalagi dalam kasus Indonesia. Catatan-catatan tragis tentang nasib nelayan kita terus berserakan. Tak hanya kalah dari sisi diplomasi, para pelaut kita kerap minder dengan pelaut-pelaut negeri tetangga karena mereka dibekali peralatan lengkap dan kapal yang memadai.

Tak heran jika ikan di perairan kita kerap dicaplok negeri tetangga. Sebagai wilayah maritim, kita masih sangat gagap dibandingkan negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Korea, bahkan Papua Nugini sekalipun.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana insiden gugus tempur kapal induk USS Carl Vinson Juli 203 di perairan Bawean, lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, serta konflik Laut Tiongkok Selatan. Rentetan peristiwa itu menandakan wilayah maritim sangat setrategis. Di wilayah maritim itulah kekuatan suatu bangsa dapat dilihat.

Ketiga, laut dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi. Indonesia harus belajar dari Tiongkok yang saat ini dengan cepat menjadi negara terdepan di dunia dalam sektor ekonomi. Usut punya usut, salah satu faktor penting ekonomi Tiongkok maju adalah keberhasilannya menggarap sektor maritim. Dalam sejarahnya, Tiongkok dan Indonesia sama-sama memiliki nenek moyang pelaut.

Di Tiongkok misalnya, setiap 11 Juli diperingati sebagai Hari Maritim. Penetapan hari besar yang dimulai pada 2005 itu digunakan untuk memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho yang membawa 240 kapal dengan 27.400 awaknya mengarungi samudra. Melalui jalur maritim, Cheng Ho menjalin hubungan dagang dengan Jawa, India, hingga ke ujung Laut Merah, Afrika, serta Selat Hormuz.

Apalagi semenjak dipimpin Deng Xioping sekitar akhir 1970, upaya menghidupkan sektor maritim di Tiongkok semakin besar. Hal itu ditandai dengan pertumbuhan kapal dagang yang pesat, pengelolaan pelabuhan yang serius, serta ekspansi perdagangan melalui jalur laut yang semakin marak.

Tak hanya itu, untuk menunjang industri di laut, pemerintah Tiongkok mengembangkan angkatan lautnya menuju taraf blue water navy. Itulah yang menyebabkan ekonomi Tiongkok berkembang pesat.

Nalar Politik Maritim

Karena itu, menghidupkan nalar politik maritim dengan pembangunan infrastruktur dan mengelola potensi kekayaan sumber daya alam laut, selain dapat meningkatkan harga diri bangsa di mata dunia, dapat membuat kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia.

Dengan luas wilayah laut 5,8 juta kilometer persegi, terdiri atas 17.504 pulau kecil, serta dikelilingi garis pantai sepanjang 95.161 kilometer, potensi Indonesia menjadi negara ekonomi terbesar di dunia sebenarnya sudah di depan mata. Dengan begitu, salah satu gagasan trisakti Bung Karno yang berbunyi, “berdikari dalam bidang ekonomi” akan benar-benar dapat terwujud.

Seperti dikatakan Rokhmin Dahuri (2010), setidaknya terdapat sebelas sektor ekonomi yang dapat dikembangkan dari sektor maritim. Sektor-sektor itu adalah perikanan tangkap, perikanan budi daya, transportasi laut, pariwisata bahari, kehutanan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam nonkonvensional.

Potensi total nilai ekonomi sebelas sektor kelautan tersebut diperkirakan mencapai US$ 800 miliar atau RP 7.600 triliun per tahun. INI lebih dari enam kali lipat dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia setiap tahunnya. Itulah takdir geografis yang harus dijemput oleh pasangan Jokowi-JK.

Karena itu, sekali lagi, langkah Jokowi-JK yang hendak mengarusutamakan (mainstreaming) pembangunan di sektor maritim menjadi oase di tengah semakin senyapnya pembicaraan sektor ini dalam dekade terakhir.

Tentu langkah tersebut tidak bisa dilakukan sendirian. Membongkar kesadaran akan sifat pembangunan Indonesia yang bervisi kemaritiman membutuhkan kerja keras semua pihak dan seluruh elemen bangsa, baik kalangan elite, menengah, maupun akar rumput. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar