Langkah
Mundur Pemilihan Kepala Daerah
Sabam Leo Batubara ;
Pengamat
politik; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
|
KORAN
TEMPO, 18 September 2014
Penyelesaian
pro-kontra pemilihan kepada daerah (pilkada)-tetap langsung oleh rakyat atau
oleh DPRD-akan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR pada 25 September 2014.
Posisi terakhir, Koalisi Merah Putih yang beranggotakan Fraksi Partai
Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional,
Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrat, ngotot mengubah aturan
pilkada, dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD.
Sementara itu, PDIP, PKB, dan Hanura berpendapat rakyat harus tetap memilih
langsung pemimpinnya dalam pilkada.
Untuk
menemukan pilihan terbaik, kesembilan Fraksi DPR itu diasumsikan masih
konsisten terhadap tujuan bernegara kita, yaitu melindungi segenap bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Persoalannya, dalam mengupayakan tujuan nasional itu, siapa sebaiknya yang
berdaulat dalam pilkada dan pilpres? Selama 69 tahun terakhir, tercatat ada
tiga jawaban.
Pertama,
penguasa rezim. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, penguasa rezimlah penentu
kepala daerah. Terkonsentrasinya kekuasaan di tangan penguasa rezim sesuai
dengan doktrin Machiavelli, yang dalam buku The Prince mengatakan perhatian
utama seorang penguasa untuk memenangi perjuangan politik secara efisien
adalah dengan sistem otoriter.
Kedua,
penguasa partai. Gerakan reformasi mengakhiri tirani eksekutif Orde Baru.
Tapi yang muncul adalah daulat partai. Penguasa partai berhasil menjatuhkan
Presiden Habibie. Pemilihan Umum 1999 menghasilkan PDIP sebagai peraih suara
rakyat terbanyak. Kemudian muncul performa partai yang tidak menunjukkan
kematangan dan fairness dalam berdemokrasi. Pemenang ketiga pemilu, PKB,
mengusung figur Gus Dur, yang menjadi Presiden. Megawati (PDIP), pemenang
pertama, menjadi wapres. Amien Rais dari PAN, pemenang kelima, menjadi Ketua
MPR, dan Akbar Tanjung dari Golkar, pemenang kedua, menjadi Ketua DPR. Hasil
pemilihan tersebut merupakan buah dari kedaulatan koalisi partai pecundang
yang berhasil menghadang peraih legitimasi terbesar dari rakyat sebagai
pemilik kedaulatan. Ketidakmatangan dan unfairness partai berlanjut.
Partai-partai pecundang bukannya sibuk membantu Presiden Gus Dur memajukan
dan menyejahterakan rakyat, melainkan sibuk menjatuhkannya.
Ketiga,
kedaulatan rakyat. Indonesia telah merdeka sejak 1945, tapi rakyatnya baru
merdeka dari daulat penguasa rezim dan penguasai partai pada 2004. Lewat
amendemen konstitusi, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat.
Hasil
gerakan reformasi itu melahirkan presiden dan kepala daerah yang sesuai
dengan kehendak rakyat, seperti SBY, Jokowi, Ahok, Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Wali Kota Bandung Ridwan
Kamil. Kepala-kepala daerah itu amat fokus dalam melayani kepentingan rakyat.
Sebagian besar kepada daerah pilihan rakyat diduga, didakwa, atau telah
dipidana dengan hukuman penjara akibat korupsi. Hal itu bukan karena sistem
pilkada yang memihak rakyat, melainkan karena partai pengusung memasok
calon-calon yang memang berbakat korupsi.
Kenapa
pilkada oleh DPR harus ditolak? Pertama, paparan di atas memproyeksikan
pilkada via DPRD bukan saja sebagai langkah mundur, tapi juga mengkhianati
perjuangan gerakan reformasi untuk mengubah sistem pilkada dan pilpres dari
sistem tak langsung ke sistem langsung oleh rakyat. Fakta-fakta empiris
menunjukkan, meski pilpres dan pilkada oleh MPR/DPR dan DPRD lebih efisien
dan hemat, hal itu bukan saja telah memposisikan rakyat sebagai burung beo,
tapi juga telah melupakan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Kedua,
dari temuan saya ketika berkunjung ke Parlemen Inggris di London, Edinburg,
dan Canberra, saya menemukan bahwa pemilihan pimpinan nasional dan daerah di
negara itu dilakukan oleh anggota dewan mereka. Pemilihan itu memenuhi
prinsip demokrasi dan didukung oleh rakyat karena anggota parlemen tidak ada
yang (1) malas menghadiri sidang; (2) tidak memahami tugas pokoknya sehingga
menghasilkan UU yang menentang konstitusi; (3) memperdagangkan fungsi
anggaran, legislasi, dan pengawasannya; (4) ramai-ramai dipidana dengan
hukuman penjara akibat kasus korupsi. Dalam diskusi saya dengan beberapa
anggota Dewan, dinyatakan bahwa demokrasi diakui tidak efisien dan berbiaya
mahal, tapi demokrasi-lah yang paling efektif mendengar suara rakyat.
Ketiga,
Pasal 1 ayat 2 UUD 45 asli menyebutkan, "Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR."
Sebelumnya, berlandaskan pasal itu, pilpres dan pilkada dilakukan oleh
penguasa rezim dan atau penguasa partai. Karena dalam prakteknya, MPR/DPR dan
DPRD tidak tampil sebagai wakil rakyat, melainkan wakil penguasa rezim dan
atau penguasa partai. Karena itu, pada era reformasi ini, pilkada harus
berlandaskan amendemen konstitusi.
Berlandaskan
Pasal 18 ayat 4, pilkada harus dipilih secara demokratis. Demokrasi yang
bagaimana? Demokrasi terpimpin Sukarno atau demokrasi Pancasila Soeharto?
Pasal 1 ayat 2 Amendemen II menegaskan bahwa demokrasi harus memastikan bahwa
"kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar