Kamis, 11 September 2014

“Mengepung” Jokowi

“Mengepung” Jokowi

Karyudi Sutajah Putra  ;   Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA, 10 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

ENTAH apa yang berkecamuk dalam benak politikus yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih sehingga mereka berkesan berupaya menjegal langkah Joko Widodo, presiden terpilih Pilpres 2014.

Mereka seperti terinspirasi strategi perang ala Tsun Tzu (544-470 SM), yakni, “ketika sepuluh lawan satu, kepunglahî, dan, ìkuasai desa untuk mengepung kotaî.

Koalisi Merah Putih, pengusung capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, menguasai 353 dari 560 (63%) kursi DPR, lewat Partai Golkar (91), Partai Gerindra (73), Demokrat (61), PAN (49), PKS (40), dan PPP (39). Sementara Koalisi Indonesia Hebat, pengusung Jokowi-Jusuf Kalla, hanya menguasai 207 (37%) kursi, melalui PDIP (109), PKB (47), Nasdem (35), dan Hanura (16).

Di DPR periode 2009-2014, jumlah kursi Koalisi Merah Putih juga mayoritas, lewat Golkar (106), Gerindra (26), Demokrat (148), PAN (46), PKS (57), dan PPP (38); mengalahkan PDIP (94), PKB (28), dan Hanura (17). Dengan komposisi demikian, berkait upaya ìmengepungî Jokowi, Koalisi Merah Putih sukses membukukan sejumlah kemenangan. Pertama; revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 menjadi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.

Salah satu klausul yang sukses digolkan adalah kursi ketua DPR tidak otomatis jadi milik pemenang pemilu, dalam hal ini PDIP yang memenangi Pemilu 2014. Pemilihan pimpinan DPR dilakukan melalui voting, dan bila tak ada perubahan komposisi kursi di kedua kubu maka hasilnya sudah pasti Koalisi Merah Putih menang.

Pemakzulan Presiden

Kedua; pembentukan Pansus Pelanggaran Pilpres 2014 pada 1 September lalu. Menurut Ketua Komisi II DPR Agun Guandjar Sudarsa, bila Pansus menemukan kejanggalan dan kecurangan yang dilakukan KPU maka bisa berimplikasi kepada Jokowi untuk dimakzulkan. Pemakzulan atau impeachment adalah mekanisme ”pemecatan” presiden (dan wakil presiden) yang diajukan anggota DPR kepada MPR atas rekomendasi Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Menurut pasal ini, usulan pemakzulan dianggap sah bila disetujui 2/3 anggota DPR. Ketiga; revisi UU Nomor 32 Tahun 20014 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang ditargetkan selesai sebelum masa bakti DPR 2009-2014 berakhir pada 1 Oktober 2014.

Salah satu klausul yang diusung Koalisi Merah Putih adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat seperti dilaksanakan sejak 2004. Bila klausul ini disahkan maka Koalisi Merah Putih diprediksi menguasai kabupaten- kabupaten dan kota-kota se- Indonesia, untuk ”mengepung” Jokowi sehingga kebijakannya untuk daerah banyak menemui hambatan.

Upaya Koalisi Merah Putih agar kepala daerah dipilih DPRD merupakan kemunduran dalam berdemokrasi. Namun, barangkali mereka berprinsip bahwa politik memiliki logika sendiri. Mereka pun memaparkan dalih mengapa pilkada langsung ”haram”.

Pertama; membutuhkan biaya besar sehingga hanya bisa diikuti calon bermodal besar. Kedua; sembilan tahun pilkada langsung telah mengantarkan 292 atau 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Ketiga; rawan memunculkan nepotisme dan politik dinasti. Keempat; rawan politik uang.

Kelima; rawan politik balas budi, yakni hanya desa-desa dengan kemenangan kepala daerah terpilih yang umumnya mendapat perhatian dalam program pembangunan. Keenam; rawan konflik horisontal. Mereka pun merujuk sila keempat Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”, yang katanya mengamanatkan demokrasi perwakilan.

Kalau memang sila keempat ditafsirkan demikian, mengapa yang diusulkan dipilih DPRD hanya kepala daerah, tidak sekalian presiden yang akan dipilih oleh MPR seperti sebelum 2004? Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun nyeletuk,’’ Kalau kepala daerah dipilih DPRD, anggota Dewan akan tambah kaya.’’Artinya, money politics akan berpindah ke DPRD.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas pun berpendapat, praktik korupsi kian rentan jika kepala daerah dipilih DPRD. Korporasi akan lebih mudah menyogok anggota DPRD, dan anggota DPRD lebih leluasa ’’memeras’’ kepala daerah.

Pilkada Serentak

Politik uang justru menjadi tanggung jawab politikus dan parpol mengingat rakyat dalam politik uang cenderung hanya jadi korban, dan justru politikuslah pelakunya. Bila alasannya demi menghemat anggaran, bukankah pilkada bisa digelar serentak se- Indonesia dengan biaya dari APBN? Mengutip pendapat Ramlan Surbakti, bila kepala daerah dipilih DPRD maka akan melanggar konstitusi alias inkonstitusional.

Pasalnya, Indonesia adalah negara republik. Konsekuensinya, kedaulatan di tangan rakyat sehingga pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu (Pasal 2 Ayat 1, Pasal 6A, Pasal 18 Ayat 3, Pasal 19 Ayat 1, Pasal 22C Ayat 1, dan Pasal 22E UUD 1945).

Meski Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan gubernur dan bupati/wali kota dipilih secara demokratis, kata ”demokratis” harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai pemilih. Dalam UUD 1945, Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensial (Pasal 6A Ayat 1 dan Pasal 7), yang bercirikan presiden dipilih rakyat.

Hal inilah yang membedakan dari sistem parlementer, yaitu eksekutif dipilih oleh parlemen (DPR/DPRD) berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Jokowi memang harus diawasi karena seperti kata Lord Acton (1834-1902) bahwa kekuasaan itu cenderung korup.

Tapi pengawasan pun perlu dilakukan dengan takaran proporsional, jangan semua dipolitisasi sehingga kebablasan. Sepanjang kebijakan Jokowi baik untuk rakyat, tentu harus didukung, dan sebaliknya bila tak baik untuk rakyat harus ditolak. Jangan sedikit-sedikit politicking.

Politisasi itu sangat kentara, misalnya RUU Pilkada, di mana pada Mei 2014 semua fraksi di DPR masih mendukung kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, namun dalam rapat terakhir Panja RUU Pilkada di DPR, semua parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih berubah haluan. Ngono ya ngono, nanging aja ngono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar