“Mengepung”
Jokowi
Karyudi Sutajah Putra ;
Tenaga
Ahli DPR
|
SUARA
MERDEKA, 10 September 2014
ENTAH
apa yang berkecamuk dalam benak politikus yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih
sehingga mereka berkesan berupaya menjegal langkah Joko Widodo, presiden
terpilih Pilpres 2014.
Mereka
seperti terinspirasi strategi perang ala Tsun Tzu (544-470 SM), yakni,
“ketika sepuluh lawan satu, kepunglahî, dan, ìkuasai desa untuk mengepung kotaî.
Koalisi
Merah Putih, pengusung capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
menguasai 353 dari 560 (63%) kursi DPR, lewat Partai Golkar (91), Partai
Gerindra (73), Demokrat (61), PAN (49), PKS (40), dan PPP (39). Sementara
Koalisi Indonesia Hebat, pengusung Jokowi-Jusuf Kalla, hanya menguasai 207
(37%) kursi, melalui PDIP (109), PKB (47), Nasdem (35), dan Hanura (16).
Di
DPR periode 2009-2014, jumlah kursi Koalisi Merah Putih juga mayoritas, lewat
Golkar (106), Gerindra (26), Demokrat (148), PAN (46), PKS (57), dan PPP
(38); mengalahkan PDIP (94), PKB (28), dan Hanura (17). Dengan komposisi
demikian, berkait upaya ìmengepungî Jokowi, Koalisi Merah Putih sukses
membukukan sejumlah kemenangan. Pertama; revisi UU Nomor 27 Tahun 2009
menjadi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.
Salah
satu klausul yang sukses digolkan adalah kursi ketua DPR tidak otomatis jadi
milik pemenang pemilu, dalam hal ini PDIP yang memenangi Pemilu 2014.
Pemilihan pimpinan DPR dilakukan melalui voting, dan bila tak ada perubahan
komposisi kursi di kedua kubu maka hasilnya sudah pasti Koalisi Merah Putih
menang.
Pemakzulan Presiden
Kedua;
pembentukan Pansus Pelanggaran Pilpres 2014 pada 1 September lalu. Menurut
Ketua Komisi II DPR Agun Guandjar Sudarsa, bila Pansus menemukan kejanggalan
dan kecurangan yang dilakukan KPU maka bisa berimplikasi kepada Jokowi untuk
dimakzulkan. Pemakzulan atau impeachment adalah mekanisme ”pemecatan”
presiden (dan wakil presiden) yang diajukan anggota DPR kepada MPR atas
rekomendasi Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal
ini diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Menurut pasal ini, usulan pemakzulan
dianggap sah bila disetujui 2/3 anggota DPR. Ketiga; revisi UU Nomor 32 Tahun
20014 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) yang ditargetkan selesai
sebelum masa bakti DPR 2009-2014 berakhir pada 1 Oktober 2014.
Salah
satu klausul yang diusung Koalisi Merah Putih adalah kepala daerah dipilih
oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat seperti dilaksanakan sejak 2004. Bila
klausul ini disahkan maka Koalisi Merah Putih diprediksi menguasai kabupaten-
kabupaten dan kota-kota se- Indonesia, untuk ”mengepung” Jokowi sehingga
kebijakannya untuk daerah banyak menemui hambatan.
Upaya
Koalisi Merah Putih agar kepala daerah dipilih DPRD merupakan kemunduran
dalam berdemokrasi. Namun, barangkali mereka berprinsip bahwa politik
memiliki logika sendiri. Mereka pun memaparkan dalih mengapa pilkada langsung
”haram”.
Pertama;
membutuhkan biaya besar sehingga hanya bisa diikuti calon bermodal besar. Kedua;
sembilan tahun pilkada langsung telah mengantarkan 292 atau 60% kepala daerah
bermasalah secara hukum. Ketiga; rawan memunculkan nepotisme dan politik
dinasti. Keempat; rawan politik uang.
Kelima;
rawan politik balas budi, yakni hanya desa-desa dengan kemenangan kepala
daerah terpilih yang umumnya mendapat perhatian dalam program pembangunan.
Keenam; rawan konflik horisontal. Mereka pun merujuk sila keempat Pancasila,
”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan”, yang katanya mengamanatkan demokrasi perwakilan.
Kalau
memang sila keempat ditafsirkan demikian, mengapa yang diusulkan dipilih DPRD
hanya kepala daerah, tidak sekalian presiden yang akan dipilih oleh MPR
seperti sebelum 2004? Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun
nyeletuk,’’ Kalau kepala daerah dipilih DPRD, anggota Dewan akan tambah
kaya.’’Artinya, money politics akan berpindah ke DPRD.
Wakil
Ketua KPK Busyro Muqoddas pun berpendapat, praktik korupsi kian rentan jika
kepala daerah dipilih DPRD. Korporasi akan lebih mudah menyogok anggota DPRD,
dan anggota DPRD lebih leluasa ’’memeras’’ kepala daerah.
Pilkada Serentak
Politik
uang justru menjadi tanggung jawab politikus dan parpol mengingat rakyat
dalam politik uang cenderung hanya jadi korban, dan justru politikuslah
pelakunya. Bila alasannya demi menghemat anggaran, bukankah pilkada bisa
digelar serentak se- Indonesia dengan biaya dari APBN? Mengutip pendapat
Ramlan Surbakti, bila kepala daerah dipilih DPRD maka akan melanggar
konstitusi alias inkonstitusional.
Pasalnya,
Indonesia adalah negara republik. Konsekuensinya, kedaulatan di tangan rakyat
sehingga pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara langsung oleh
rakyat melalui pemilu (Pasal 2 Ayat 1, Pasal 6A, Pasal 18 Ayat 3, Pasal 19
Ayat 1, Pasal 22C Ayat 1, dan Pasal 22E UUD 1945).
Meski
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan gubernur dan bupati/wali kota dipilih
secara demokratis, kata ”demokratis” harus dimaknai bahwa kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai pemilih. Dalam UUD 1945,
Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensial (Pasal 6A Ayat 1 dan
Pasal 7), yang bercirikan presiden dipilih rakyat.
Hal
inilah yang membedakan dari sistem parlementer, yaitu eksekutif dipilih oleh
parlemen (DPR/DPRD) berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Jokowi
memang harus diawasi karena seperti kata Lord Acton (1834-1902) bahwa
kekuasaan itu cenderung korup.
Tapi
pengawasan pun perlu dilakukan dengan takaran proporsional, jangan semua
dipolitisasi sehingga kebablasan. Sepanjang kebijakan Jokowi baik untuk
rakyat, tentu harus didukung, dan sebaliknya bila tak baik untuk rakyat harus
ditolak. Jangan sedikit-sedikit politicking.
Politisasi
itu sangat kentara, misalnya RUU Pilkada, di mana pada Mei 2014 semua fraksi
di DPR masih mendukung kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, namun
dalam rapat terakhir Panja RUU Pilkada di DPR, semua parpol yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih berubah haluan. Ngono
ya ngono, nanging aja ngono. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar