Bahaya
Pilkada Tidak Langsung
Agus Riewanto ;
Dosen
Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 10 September 2014
HARI-HARI
ini publik dikejutkan oleh keinginan sejumlah anggota DPR mengubah mekanisme
pemilihan kepala daerah (pilkada) dari secara langsung menjadi tak langsung
atau kembali dipilih oleh DPRD.
Upaua
itu dilakulan melalui pengesahan RUU Pilkada yang merupakan revisi atas UU
Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemda yang berlaku
mulai September 2014. Sesungguhnya, selama ini sejumlah efek negatif dari
pilkada langsung ”tak seberapa” bila dibanding efek positifnya.
Kita
bisa mencontohkan kemunculan pemimpin politik yang progresif dan merakyat
seperti Jokowi, kemenguatan iklim politik, perekrutan calon kepala daerah
yang akuntabel dan transparan, kemeningkatan partisipasi masyarakat, dan
program kerja kepala daerah yang bisa langsung dikontrol oleh rakyat
pemilihnya.
Lebih
dari itu, titik berat politik otda 1999-2014 adalah pada model perekrutan
kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam praktik politik
sentralisasi semasa era Orba, rakyat tidak memiliki akses langsung untuk
memilih kepala daerah sehingga gubernur dan wali kota/bupati cenderung loyal
kepada DPRD yang memilihnya, ketimbang kepada rakyat.
Itulah
sebabnya semasa Orba pilkada dianggap hanya sebagai isu elite dan berlingkup
terbatas. Artinya, hanya mereka yang memiliki jejaring politik dengan elite
kekuasaan politik lokal, terutama DPRD, yang terlibat dalam proses pilkada.
Akibatnya, para kandidat yang akan dipilih pun hanyalah mereka yang dekat
dengan DPRD.
Kemunduran Demokrasi
Pengalihan
model pilkada, dari secara langsung oleh rakyat ke sistem perwakilan lewat
DPRD, sesungguhnya mencerminkan kemunduran demokrasi.
Masyarakat
diajak untuk kembali ke model pilkada era Orba dan hal itu berbahaya bagi
upaya pelembagaan demokrasi di daerah yang mulai membaik, akhir-akhir ini.
Bila pilkada secara langsung dianggap melahirkan ekses negatif, penyikapannya
bukan dengan cara mengembalikan mekanisme pilkada oleh DPRD. Solusi cerdasnya
adalah cukup membenahi regulasi teknis pilkada.
Misalnya
kembali mengatur cara pencalonan yang lebih demokratis dan transparan,
membatasi biaya kampaye dan sosialisasi, dan tegas menghukum pelaku politik
uang. Bila konteksnya untuk menghemat anggaran, pemerintah bisa mencoba
menggelar pilkada serentak secara nasional, atau mengembangkan model pilkada
dengan teknologi E-voting.
Bila
pilkada langsung dianggap membebani keuangan daerah, solusi pembiayaannya
tidak lagi melaibatkan APBD, tapi penuh melalui APBN, seperti pilpres.
Memang, ongkos pilkada pilkada tidak langsung melalui DPRD ”relatif murah”
mengingat spektrumnya hanya di seputar gedung DPRD. Tapi itu tak menjamin
bebas dari praktik politik uang bila mental anggota DPRD belum berubah.
Realitasnya,
anggota baru DPRD yang terpilih dalam Pileg 2014 adalah produk sistem pemilu
proporsional dengan suara terbanyak. Kebanyakan dari mereka dipilih bukan
berdasarkan kualitas moral, kapasitas kepemimpinan politik, dan pengalaman
sebagai politikus melainkan lebih mendasarkan pada kepopuleran dan uang.
Karena
itu, andai kembali diberi kepercayaan memilih kepala daerah, dipastikan
mereka hanya memilih calon yang bersedia diajak berkonspirasi politik lewat
barter proyek dan kebijakan.
Bila
itu yang terjadi berarti pilkada lewat DPRD justru menyuburkan praktik
korupsi sistemik di daerah. Jadi, ’’murahnya’’biaya pilkada melalui DPRD
tidak sebanding dengan ekses negatif jangka panjangnya, terutama berkait
jalannya pemerintahan di daerah. Mekanisme pilkada oleh DPRD bukan saja
mematikan partisipasi politik rakyat dalam menentukan pemimpin politik
melainkan juga menyuburkan politik oligarki yang merupakan musuh demokrasi.
Bahaya
lain bila kepala daerah dipilih oleh DPRD adalah posisi kepala daerah lebih
rendah dari yang memilih, padahal sistem politik otda menempatkan keduanya
dalam posisi sejajar. Artinya, DPRD tak bisa mengganti kepala daerah di
tengah jalan (impeachment), dan
sebaliknya kepala daerah tak bisa membubarkan DPRD. Keduanya justru harus
saling mengontrol dan melengkapi, bukan saling memusuhi, apalagi berbenturan.
Andai
kepala daerah dipilih DPRD, kebijakan publik yang dirancang kepala daerah
berisiko kerap diganggu oleh politik tirani mayoritas legislatif. Bahkan
kinerja dan pertanggungjawaban kepala daerah cenderung disandera oleh
kepentingan ekonomi-politik anggota DPRD. Itulah sebabnya pilkada melalui DPRD
hanya akan menciptakan ketidakstabilan politik di daerah.
Bahaya
berikutnya andai kepala daerah dipilih oleh DPRD adalah terjadi diskoneksitas
sistem pemerintahan presidensial murni antara pemerintah pusat dan daerah
yang dianut sejak amendemen UUD 1945 yang berciri utama presiden dan kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat. Jika yang dipilih langsung hanya
presiden, sementara kepala daerah dipilih oleh DPRD maka terjadi anomali
sistem pemerintahan presidensial.
Hal
itu mengingat yang memiliki legitimasi politik kuat hanyalah presiden,
sedangkan kepala daerah justru lemah. Di titik ini dipastikan pemerintahan
tak efektif dan tak efisien karena kepala daerah tak lagi loyal kepada
presiden dan rakyat tapi lebih loyal kepada DPRD yang telah memilihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar