Mengelola
Nasionalisme Ekonomi Indonesia
Dian Ediana Rae ; Kepala
Perwakilan Bank Indonesia Bandung
|
KORAN
TEMPO, 04 September 2014
Pemilu
presiden/wakil presiden baru saja berlalu. Selama berlangsungnya kampanye,
kedua kubu, meski dengan jargon yang berbeda, menyampaikan visi pembangunan
ekonomi yang berorientasi pada nasionalisme dan kemandirian ekonomi.
Seandainya visi dan misi "nasionalisme
ekonomi" yang disampaikan akan benar-benar diwujudkan, hal tersebut
tampaknya akan membawa konsekuensi dalam banyak kebijakan perekonomian yang
akan diterapkan.
Dalam
dunia yang mengglobal dan terintegrasi dewasa ini, kesatuan strategi
pembangunan ekonomi domestik dan strategi untuk bersaing secara internasional
mutlak diperlukan. Pemisahan antara strategi domestik dan strategi global
dalam era globalisasi ini tidak relevan. Hal ini antara lain terjadi karena
proses negosiasi dalam berbagai forum internasional telah semakin inklusif,
di mana setiap negara diberi kesempatan yang sama untuk memberi usul,
mendiskusikan, serta menerima atau menolak suatu kesepakatan. Pemberlakukan
dari kesepakatan internasional tersebut juga sudah mengikuti prosedur hukum
dan politik di masing-masing negara.
Isu
kebijakan dan regulasi ekonomi masih banyak diperlakukan sebagai suatu
pekerjaan dalam konteks "kedaulatan
negara yang eksklusif". Globalisasi yang ditandai dengan keterkaitan
keuangan dunia yang semakin dalam, revolusi komunikasi yang membentuk hyper-connected world, serta
pertumbuhan perdagangan dan perekonomian yang sangat tinggi telah mengubah
secara signifikan konsep "kedaulatan
negara" yang dipahami selama ini.
Harus
diakui, Indonesia menghadapi anomali saat proses percepatan globalisasi
perekonomian terjadi. Pada saat terjadinya proses multilateralisasi
perdagangan dan investasi internasional setelah dibentuknya World Trade Organization (WTO) pada
1995, tiga tahun kemudian Indonesia mengalami krisis perekonomian (dan
politik) yang sangat parah, sehingga terpaksa meminta bantuan IMF. Dalam
situasi seperti itu, proses negosiasi multilateral bagi Indonesia tidak lagi
berjalan dengan irama dan strategi yang normal atau yang sesuai dengan
kebutuhan strategis Indonesia, melainkan harus mengikuti berbagai tekanan
bilateral ataupun melalui kesepakatan dengan IMF.Tekanan tersebut telah
mengakibatkan terjadinya percepatan tahapan liberalisasi dan kebijakan
ekonomi yang bersifat emergensi (crisis
mode).
Secara
mendasar, dengan disepakatinya pendirian WTO beserta seluruh perjanjian yang
menyertainya, dunia perdagangan internasional telah menjadi semakin terikat
pada aturan (rule-based). Karena
itu, tentu diperlukan tingkat pemahaman dan ketaatan dari para anggotanya untuk
menegaskan adanya kepastian perdagangan dan investasi global serta adanya level playing fields bagi seluruh
anggota suatu forum internasional, baik pada tingkat bilateral, regional,
maupun internasional. Perlu dipahami, mengingat banyak perjanjian internasional
dilakukan secara paket (balanced
package) dan bersifat single undertaking (seluruh sektor harus
disetujui), ukuran apakah suatu negara dapat atau tidak dapat memanfaatkan
akses pasar kurang tepat jika diukur pada masing-masing sektor. Dalam kenyataan
perekonomian dunia dewasa ini, tidaklah mungkin suatu negara akan dapat
unggul dalam semua sektor.
Data
neraca perdagangan yang masih mengkhawatirkan dan masih ditandai oleh
kelemahan fundamental menunjukkan perlunya pengelolaan nasionalisme ekonomi
dengan lebih cermat dan bijaksana. Dalam kehidupan ekonomi global dewasa ini,
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, serta negara-negara maju masih
membutuhkan modal dan keahlian (expertise)
dari luar negeri dalam upaya mendorong daya saing masing-masing.
Karena
itu, dirasakan perlu untuk memaknai arti nasionalisme ekonomi secara lebih
kontekstual karena tujuan akhir suatu kebijakan membuka pasar domestik harus
diukur dari dampak positifnya terhadap daya saing negara dalam berbagai
bidang untuk jangka menengah dan panjang. Pada dasarnya, kunci dari
globalisasi adalah kerja sama yang saling menguntungkan atas dasar
kesetaraan. Selain itu, diharapkan suatu negara tidak mengarah ke
proteksionisme yang merugikan negara itu sendiri.
Ihwal
apakah Indonesia dapat keluar dari kemelut perdebatan politik
"domestik-asing" dan dapat memanfaatkan akses pasar yang terbuka
secara global, jawabannya sangat bergantung pada strategi dan cara kerja yang
lebih sesuai dengan era globalisasi ekonomi saat ini. Karena itu, perlu
dibangun mentalitas global (global
mentality) yang tidak menafikan upaya multilateralisasi yang sudah
dilakukan dengan membangun semangat tanggung jawab bersama (collective responsibility) demi
keuntungan bersama. Mentalitas global antara lain mencakup keterbukaan
berpikir dan wawasan, pengelolaan perekonomian negara yang cerdas untuk
membangun strategi globalisasi yang koheren dalam industri dan perdagangan,
serta bekerja bersama dengan semangat "Indonesia
Incorporated" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar