Senin, 01 September 2014

Mencintai Nasib

Mencintai Nasib

Anonim  ;   Kolumnis “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       


Suatu hari, Thomas Hobbes (1588-1679)—seorang wartawan, filsuf, sejarawan, akademisi, dan ilmuwan politik—mengatakan, manusia pada dasarnya secara alamiah kompetitif: ingin tampak lebih baik, lebih perkasa, dan lebih kuat dibandingkan yang lain.

Namun, pada saat bersamaan, manusia secara alamiah pula mudah diserang; bahkan orang-orang yang sangat kuat pun dapat dijatuhkan oleh orang yang sangat lemah. Barangkali cerita pertempuran antara Daud dan Goliath menjadi salah satu contohnya, tentang bagaimana orang yang sangat lemah dapat mengalahkan orang yang sangat kuat.

Oleh karena manusia secara alamiah kompetitif dan sekaligus mudah diserang, maka usaha untuk saling menyerang, saling menjatuhkan, bahkan saling membunuh, senantiasa terjadi. Inilah sebabnya pula, kebanyakan manusia secara alamiah ganas, jahat, karena mereka menikmati kekerasan. Hal itu terjadi karena tidak ada saling percaya di antara manusia.

Ketika orang menginginkan kekuasaan, sifat alamiah itu muncul. Kekuasaan, memang, dapat membuat tertutupnya mata dan hati manusia. Demi kekuasaan, apa pun dilakukan. Sifat dasar manusia yang jahat pun menjadi lebih dominan. Apalagi kalau kegagalan yang disandang terjadi di ujung jalan mengejar kekuasaan itu, maka seperti dikatakan Hobbes, manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lain.

Hal itu terjadi, kalau—menurut istilahnya kaum Stoa, kelompok yang didirikan Zeno pada abad ketiga SM—manusia tidak mencintai nasib. Imanuel Eko Anggun dalam Basis (2014) yang mengutip pendapat Marcus Aurelius Antoninus Augustus (121-180), seorang filsuf, menulis, mencintai nasib itu digambarkan seperti seorang manusia yang tinggal di dunia yang telah melahirkannya. Sadar sepenuh-penuhnya di mana ia berada; benar-benar menginjak bumi; menerima kenyataan. Dengan demikian, akan menerima dan mengalami kebahagiaan karena tak hidup di alam mimpi.

Akan tetapi, dalam praktik politik, ternyata ”mencintai nasib” itu sangat sulit dilakukan. Apa yang dilakukan kandidat presiden Afganistan, Abdullah Abdullah, bisa menjadi salah satu contoh. Menurut berita yang tersiar, Selasa lalu, Abdullah mengancam akan menarik diri dari proses audit suara hasil pemilu yang dikatakan penuh kecurangan secara masif. Ada lebih dari 8 juta suara hasil Pemilu 14 Juni lalu yang harus diaudit. Dua kandidat presiden, Abdullah Abdullah dan Ashraf Ghani Ahmadza, sama-sama mengklaim sebagai pemenang.

Sengketa hasil pemilu biasa terjadi di banyak negara. Pemilu presiden di AS (2000) juga diwarnai sengketa hasil pemilu antara Al Gore dan George W Bush. Sengketa dibawa ke Mahkamah Agung dan hasilnya George W Bush dinyatakan sebagai pemenang. Al Gore menerima putusan itu dan memberikan selamat kepada George W Bush. Ia, dalam bahasa kaum Sota, ”mencintai nasib”-nya.

Tidak mudah ”mencintai nasib”. Menerima apa yang terjadi, tunduk pada kenyataan tersebut, membutuhkan keberanian. Dan, senyatanya, tidak semua orang memiliki keberanian untuk tunduk pada kenyataan, untuk ”mencintai nasib”, dengan sepenuh hati. Legawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar