Senin, 01 September 2014

Memilih Hidup yang Lebih Beruntung, Mungkinkah?

Memilih Hidup yang Lebih Beruntung, Mungkinkah?

Agustine Dwiputri  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       


Ada dua orang yang mengeluhkan persoalan mereka. Pertama, pria dewasa yang merasa tidak juga sukses karena banyak saingan kerja yang mengancam kariernya. Kedua, seorang wanita yang merasa gagal membahagiakan ibunya yang lansia karena terus mengeluh meski sudah diberi fasilitas lengkap di rumah bersamanya.

Tampak adanya persamaan masalah, yaitu keduanya merasa belum puas atau kurang beruntung dengan hidup yang telah mereka jalani selama ini. Masalah semacam ini sebenarnya dialami juga oleh banyak orang, dengan situasi yang bervariasi. Banyak orang sebenarnya memperoleh berbagai kesempatan dan peluang untuk meraih keberuntungan, baik secara kebetulan, melalui suatu pertemuan, dalam bentuk hadiah yang tak terduga, maupun dari adanya kejutan dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi mereka tidak memperhatikan hal itu. Acap kali kita mengabaikannya dan melanjutkan kehidupan seolah-olah tidak ada suatu hal penting yang telah terjadi. Jika kondisi ini memang merupakan hal yang kita pilih untuk diyakini, maka tidak ada artinya antara yang telah terjadi atau akan terjadi.

Sementara menurut Tal Ben-Shahar, PhD, dalam bukunya Choose the Life You Want, the Mindful Way to Happiness (2012), kita sebenarnya telah berutang pada diri kita untuk merebut peluang keberuntungan itu. Dia sangat menyarankan agar kita dapat menciptakan keberuntungan kita sendiri. Tak peduli apakah kita percaya pada ketentuan Tuhan atau tidak, apakah kita percaya atau tidak bahwa pengalaman yang acak tampaknya mengandung pelajaran bermakna yang secara langsung relevan dengan kehidupan kita, terbukti bahwa ada banyak hal yang bisa diperoleh dari memperhatikan ke-jadian yang sifatnya kebetulan saja, yang oleh psikolog Carl Jung disebut sinkronisitas.

Secara jelas, memang ada aspek-aspek kehidupan saat kita tidak memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengendalikannya. Tapi sejauh mana kita memiliki kapasitas untuk membuat keberuntungan kita sendiri adalah hal yang penting. Sebagai contoh, jika kita bekerja pada sebuah perusahaan keluarga yang masih tradisional, tak mungkin kita dapat menggantikan posisi sebagai pimpinan tertinggi di situ. Namun, kita tetap dapat menjadi seseorang yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam mengembangkan perusahaan.

Ciri orang beruntung

Richard Wiseman dari Universitas Hertfordshire mempelajari orang-orang yang beruntung, baik mereka yang menganggap diri beruntung dan mereka yang dianggap orang lain mengalami keberuntungan. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa ada karakteristik yang tampil berupa pola perilaku dan pemikiran, yang membedakan orang yang beruntung dan tidak beruntung.

Salah satu cara orang-orang yang dianggap beruntung secara nyata membuat keberuntungan mereka adalah dengan memperhatikan dan memanfaatkan kesempatan dalam pertemuan yang mereka datangi. Apabila kebanyakan orang melihat suatu kebetulan tak ada artinya, orang beruntung melihat adanya kesempatan yang bermakna. Orang beruntung tidak menunggu keberuntungan datang dengan cara mereka: mereka menciptakannya secara nyata dengan mengubah rutinitas mereka sehari-hari: misalnya surat kabar yang dibaca, arah jalan yang mereka ambil ketika mengendarai mobil ke kantor, kegiatan yang mereka hadiri, orang-orang yang dipilih untuk didekati, dan sebagainya. Perubahan ini meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan menemukan kesempatan yang bermakna.

Karakteristik lain dari orang yang beruntung adalah bahwa mereka cenderung berfokus pada bagian gelas yang terisi, bukan bagian yang kosong. Jika mereka dirampok, mereka mengucap syukur karena tidak disakiti secara fisik; jika mereka kurang berprestasi dalam pekerjaan, mereka cenderung berpikir tentang apa yang telah mereka pelajari dari pengalamannya dan bagaimana mereka dapat terus berkembang; jika ibu banyak mengeluh, dia bersyukur bahwa ibu masih mandiri dalam kegiatannya dan dia punya uang cukup untuk menyediakan berbagai fasilitas bagi ibunya.

Dengan cara ini, melalui interpretasi mereka mengenai suatu peristiwa, mereka mengubah sesuatu yang orang lain mempertimbangkannya secara negatif (uangnya habis, banyak pesaing, ibunya kurang berterima kasih) menjadi sesuatu yang positif (tidak disakiti, kesempatan untuk belajar, uang cukup untuk memfasilitasi kebutuhan ibu). Interpretasi tentang sesuatu yang terjadi di masa lalu ini memengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan. Keyakinan sering berfungsi sebagai self-fulfilling prophecies, sesuatu yang diyakini akan terjadi justru benar-benar terjadi sehingga mereka yang yakin bahwa mereka beruntung jauh lebih mungkin untuk menjadi demikian dalam kehidupan nyata.

Lakukan apa yang ingin dilakukan

Untuk kasus yang kedua, tampaknya kita perlu mempertimbangkan lebih lanjut bagaimana perlakuan wanita tersebut selama ini terhadap ibunya yang lansia. Dalam buku yang sama ada hasil penelitian Ellen Langer dan Judith Rodin terhadap dua kelompok lansia yang berbeda. Satu kelompok menerima semua dukungan dan fasilitas yang mereka butuhkan—semua hal dilakukan untuk mereka, mulai dari mengatur jadwal, menyiapkan makan, hingga menyiram tanaman mereka. Kelompok kedua diberi beberapa tanggung jawab dan pilihan. Misalnya, mereka memilih sendiri tanaman dan merawatnya; mereka memiliki lebih banyak pilihan atas keputusan dalam kehidupan mereka sendiri, seperti kapan mereka akan menonton film dan sebagainya. Mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk memilih hal-hal yang mereka ingin lakukan.

Delapan belas bulan kemudian dilakukan evaluasi, ternyata kelompok kedua secara signifikan lebih sehat, lebih aktif, kurang depresif, dan lebih percaya diri, waspada, dan ceria. Bahkan hasil paling mencolok dari studi ini adalah bahwa tingkat kelangsungan hidup anggota kelompok yang diberi tanggung jawab dan pilihan, dua kali lebih tinggi dari kelompok pertama. Artinya, daripada mencoba untuk membantu orang, baik pada mereka yang berusia muda maupun tua, dengan memberi setiap kebutuhan mereka, kita perlu juga menyediakan pilihan kepada mereka. Kehidupan dapat berubah ketika kita bergerak dari perasaan harus ke perasaan ingin, dari kegiatan yang ditentukan ke kegiatan yang dapat dipilih secara bebas.

Jadi kita perlu mulai menciptakan keberuntungan diri sendiri dengan mengubah rutinitas kita, dengan melakukan hal-hal yang berbeda serta dengan memperhatikan betapa sudah beruntungnya kita dalam menjalani kehidupan. Selamat merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar