Memilih
Hidup yang Lebih Beruntung, Mungkinkah?
Agustine Dwiputri ;
Penulis kolom “Konsultasi Psikologi”
Kompas
|
KOMPAS,
31 Agustus 2014
Ada
dua orang yang mengeluhkan persoalan mereka. Pertama, pria dewasa yang merasa
tidak juga sukses karena banyak saingan kerja yang mengancam kariernya.
Kedua, seorang wanita yang merasa gagal membahagiakan ibunya yang lansia
karena terus mengeluh meski sudah diberi fasilitas lengkap di rumah bersamanya.
Tampak
adanya persamaan masalah, yaitu keduanya merasa belum puas atau kurang
beruntung dengan hidup yang telah mereka jalani selama ini. Masalah semacam
ini sebenarnya dialami juga oleh banyak orang, dengan situasi yang
bervariasi. Banyak orang sebenarnya memperoleh berbagai kesempatan dan
peluang untuk meraih keberuntungan, baik secara kebetulan, melalui suatu
pertemuan, dalam bentuk hadiah yang tak terduga, maupun dari adanya kejutan
dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi mereka tidak memperhatikan hal itu.
Acap kali kita mengabaikannya dan melanjutkan kehidupan seolah-olah tidak ada
suatu hal penting yang telah terjadi. Jika kondisi ini memang merupakan hal
yang kita pilih untuk diyakini, maka tidak ada artinya antara yang telah
terjadi atau akan terjadi.
Sementara
menurut Tal Ben-Shahar, PhD, dalam bukunya Choose the Life You Want, the
Mindful Way to Happiness (2012), kita sebenarnya telah berutang pada diri
kita untuk merebut peluang keberuntungan itu. Dia sangat menyarankan agar
kita dapat menciptakan keberuntungan kita sendiri. Tak peduli apakah kita
percaya pada ketentuan Tuhan atau tidak, apakah kita percaya atau tidak bahwa
pengalaman yang acak tampaknya mengandung pelajaran bermakna yang secara
langsung relevan dengan kehidupan kita, terbukti bahwa ada banyak hal yang
bisa diperoleh dari memperhatikan ke-jadian yang sifatnya kebetulan saja,
yang oleh psikolog Carl Jung disebut sinkronisitas.
Secara
jelas, memang ada aspek-aspek kehidupan saat kita tidak memiliki kontrol atau
kekuasaan untuk mengendalikannya. Tapi sejauh mana kita memiliki kapasitas
untuk membuat keberuntungan kita sendiri adalah hal yang penting. Sebagai
contoh, jika kita bekerja pada sebuah perusahaan keluarga yang masih
tradisional, tak mungkin kita dapat menggantikan posisi sebagai pimpinan
tertinggi di situ. Namun, kita tetap dapat menjadi seseorang yang mempunyai
pengaruh sangat besar dalam mengembangkan perusahaan.
Ciri orang beruntung
Richard
Wiseman dari Universitas Hertfordshire mempelajari orang-orang yang beruntung,
baik mereka yang menganggap diri beruntung dan mereka yang dianggap orang
lain mengalami keberuntungan. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa ada
karakteristik yang tampil berupa pola perilaku dan pemikiran, yang membedakan
orang yang beruntung dan tidak beruntung.
Salah
satu cara orang-orang yang dianggap beruntung secara nyata membuat
keberuntungan mereka adalah dengan memperhatikan dan memanfaatkan kesempatan
dalam pertemuan yang mereka datangi. Apabila kebanyakan orang melihat suatu
kebetulan tak ada artinya, orang beruntung melihat adanya kesempatan yang
bermakna. Orang beruntung tidak menunggu keberuntungan datang dengan cara
mereka: mereka menciptakannya secara nyata dengan mengubah rutinitas mereka
sehari-hari: misalnya surat kabar yang dibaca, arah jalan yang mereka ambil
ketika mengendarai mobil ke kantor, kegiatan yang mereka hadiri, orang-orang
yang dipilih untuk didekati, dan sebagainya. Perubahan ini meningkatkan
kemungkinan bahwa mereka akan menemukan kesempatan yang bermakna.
Karakteristik
lain dari orang yang beruntung adalah bahwa mereka cenderung berfokus pada
bagian gelas yang terisi, bukan bagian yang kosong. Jika mereka dirampok,
mereka mengucap syukur karena tidak disakiti secara fisik; jika mereka kurang
berprestasi dalam pekerjaan, mereka cenderung berpikir tentang apa yang telah
mereka pelajari dari pengalamannya dan bagaimana mereka dapat terus
berkembang; jika ibu banyak mengeluh, dia bersyukur bahwa ibu masih mandiri
dalam kegiatannya dan dia punya uang cukup untuk menyediakan berbagai
fasilitas bagi ibunya.
Dengan
cara ini, melalui interpretasi mereka mengenai suatu peristiwa, mereka
mengubah sesuatu yang orang lain mempertimbangkannya secara negatif (uangnya
habis, banyak pesaing, ibunya kurang berterima kasih) menjadi sesuatu yang
positif (tidak disakiti, kesempatan untuk belajar, uang cukup untuk
memfasilitasi kebutuhan ibu). Interpretasi tentang sesuatu yang terjadi di
masa lalu ini memengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan. Keyakinan
sering berfungsi sebagai self-fulfilling
prophecies, sesuatu yang diyakini akan terjadi justru benar-benar terjadi
sehingga mereka yang yakin bahwa mereka beruntung jauh lebih mungkin untuk
menjadi demikian dalam kehidupan nyata.
Lakukan apa yang ingin
dilakukan
Untuk
kasus yang kedua, tampaknya kita perlu mempertimbangkan lebih lanjut
bagaimana perlakuan wanita tersebut selama ini terhadap ibunya yang lansia.
Dalam buku yang sama ada hasil penelitian Ellen Langer dan Judith Rodin
terhadap dua kelompok lansia yang berbeda. Satu kelompok menerima semua
dukungan dan fasilitas yang mereka butuhkan—semua hal dilakukan untuk mereka,
mulai dari mengatur jadwal, menyiapkan makan, hingga menyiram tanaman mereka.
Kelompok kedua diberi beberapa tanggung jawab dan pilihan. Misalnya, mereka
memilih sendiri tanaman dan merawatnya; mereka memiliki lebih banyak pilihan
atas keputusan dalam kehidupan mereka sendiri, seperti kapan mereka akan
menonton film dan sebagainya. Mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk
memilih hal-hal yang mereka ingin lakukan.
Delapan
belas bulan kemudian dilakukan evaluasi, ternyata kelompok kedua secara
signifikan lebih sehat, lebih aktif, kurang depresif, dan lebih percaya diri,
waspada, dan ceria. Bahkan hasil paling mencolok dari studi ini adalah bahwa
tingkat kelangsungan hidup anggota kelompok yang diberi tanggung jawab dan
pilihan, dua kali lebih tinggi dari kelompok pertama. Artinya, daripada
mencoba untuk membantu orang, baik pada mereka yang berusia muda maupun tua,
dengan memberi setiap kebutuhan mereka, kita perlu juga menyediakan pilihan
kepada mereka. Kehidupan dapat berubah ketika kita bergerak dari perasaan
harus ke perasaan ingin, dari kegiatan yang ditentukan ke kegiatan yang dapat
dipilih secara bebas.
Jadi
kita perlu mulai menciptakan keberuntungan diri sendiri dengan mengubah
rutinitas kita, dengan melakukan hal-hal yang berbeda serta dengan
memperhatikan betapa sudah beruntungnya kita dalam menjalani kehidupan. Selamat merenung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar