Minggu, 14 September 2014

Mencederai Hati Rakyat

Mencederai Hati Rakyat

Ali Rif’an  ;   Peneliti Poltracking Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UI
KORAN JAKARTA, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Gagasan beberapa fraksi DPR yang berencana mengembalikan sistem pemilihan langsung kepala daerah ke DPRD dapat dibilang sebagai jalan mundur demokrasi. Sebab, bandul politik akan berubah haluan, dari pemilihan rakyat menjadi oleh elite.

Mereka itu ialah Fraksi Demokrat, PAN, Golkar, PPP, PKS, dan Gerinda. Sementara fraksi yang tetap setia dalam jalur pemilihan langsung kepada daerah ialah Fraksi PDI-P dan Hanura. Adapun Fraksi PKB mengusulkan varian lain, yakni gubernur dipilih langsung, sedangkan bupati dan wali kota dipilih DPRD.

Mereka berargumentasi pemilihan langsung kerap menimbulkan konflik horizontal dan berbiaya mahal. Tetapi, pembalikan arus tersebut justru akan mendatangkan banyak mudarat ketimbang maslahat.

Perubahan itu akan mencederai hati rakyat. Demokrasi akan pincang karena rakyat tidak lagi menjadi pemain utama dalam proses suksesi kepemimpinan daerah. Rakyat akan tidak acuh karena kandidat lebih banyak berkomunikasi dengan anggota DPRD. Orientasi kandidat hanya demi mendapat dukungan 50 persen lebih DPRD. Akibatnya, komunikasi hanya terjadi secara vertikal, sementara ke bawah terputus.

Tak dapat dimungkiri, pemilihan kepala daerah melalui anggota DPRD justru mendatangkan politik transaksional dagang sapi. Konspirasi antarelite membuat pemilihan menyerupai tender ataupun lelang. Yang berani bayar lebih, dipilih. Istilah “mahar politik” benar-benar terjadi. Akibatnya, seorang gubernur, bupati, ataupun wali kota tersandera karena mandat yang dimiliki hanya dari elite, bukan rakyat.

Pembelajaran politik oleh masyarakat jadi tersendat. Pemilihan langsung membuat pembelajaran politik benar-benar terjadi, khususnya akar rumput. Ibu-ibu rumah tangga, para petani kecil di kampung yang sebelumnya cuek politik, semenjak ada pemilihan langsung, mereka ikut berpartispasi. Bahkan omongan di warung kopi soal pemilihan langsung.

Kedewasaan masyarakat dalam menyikapi perbedaan pandangan di dalam politik pun semakin membaik. Dampaknya, masyarakat tak lagi hanya menjadi objek politik, tapi juga subjek. Tradisi yang sudah baik tersebut akan hilang jika pemilihan pilkada langsung dihapuskan.

Suksesi kepemimpinan kepala daerah akan monoton dan cenderung oligarkis, yakni hanya dapat diakses kalangan elite. Berbeda dengan pemilihan langsung, siapa pun dapat mencalonkan diri asalkan punya kapabilitas dan modal sosial. Dengan sempitnya akses publik untuk menjadi kepala daerah, bisa dipastikan peluang terjadinya raja-raja kecil di daerah semakin subur. Tak pelak, kepemimpinan di tingkat lokal cenderung dikuasai para pemburu rente.

Padahal, pemilihan langsung telah menghasilkan para kepala daerah berkualitas seperti Bupati Kebumen (2005–2010), Rustriningsih, yang berhasil melakukan dialog setiap hari dengan warga secara langsung melalui televisi lokal yang dibangunnya. Begitu pula Wali Kota Yogyakarya (2006–2012), Herry Zudianto, yang sukses menata ruang publik dan menjadikan Yogyakarta meraih penghargaan Juara I Penataan Permukiman Kumuh untuk kategori Kota Besar.

Bupati Bantaeng (2008–2013), Nurdin Abdullah, berhasil meningkatkan APBD dari 260 miliar rupiah pada 2008 menjadi 559,7 miliar rupiah pada 2013. Bupati Banyuwangi (2010–2015), Abdullah Azwar Anas, berhasil menjadikan kota itu salah satu tujuan wisata favorit dengan slogan “The Sunrise of Java”. Begitu pula Wali Kota Surabaya (2010–2015), Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung (2013–2018), Ridwan Kamil, yang punya segudang prestasi.

Bahkan presiden terpilih, Joko Widodo, juga berasal dari kepala daerah produk pemilihan langsung. Dengan kata lain, hasil pilkada langsung oleh rakyat telah melahirkan kepala-kepala daerah berprestasi.

Memperkuat Demokrasi

Maka, gagasan penghapusan pilkada langsung harus dikaji ulang. Seharusnya fraksi di Senayan berjuang menguatkan demokrasi, bukan merongrong. Selain itu, demokrasi tidak hadir sekonyong-konyong, bahkan dibayar dengan tetesan darah. Sistem demokrasi langsung baru berumur sewindu, masih butuh “bimbingan dan arahan”, bukan dimusnahkan.

Apalagi, tersiar kabar bahwa gagasan penghapusan pilkada langsung ini kental sekali muatan politis. Sebab, partai penghapus dulunya merupakan penggagas pilkada langsung. Pada titik inilah perubahan sikap agaknya sangat didasari pada situasi mutakhir sebagai barisan Koalisi Merah Putih (KMP).

Kuat dugaan manuver politik demikian merupakan upaya menjegal pemerintahan Jokowi kelak dengan strategi menguasai pos-pos eksekutif daerah. Hal itu sangat realistis mengingat KMP gemuk dibanding koalisi Jokowi-JK.

Benarlah kata Max Stirner dalam The Ego and His Own (1845) bahwa tujuan negara selalu sama: membatasi individu, menjinakkan, dan menyubordinasikan. Sebab, dengan pengubah pilkada langsung, pelan-pelan kembali ke Orde Baru yang represif dan oligarkis. Akibatnya, demokrasi akan dibajak. Maknanya terdistorsi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadi “dari saya, oleh saya, dan untuk saya.”

Dengan wajah DPR yang sangat buram, adalah sebuah ilusi pilkada oleh DPRD akan mampu menghasilan pemimpin-pemimpin daerah berkualitas. Pemimpin-pemimpin daerah bisa jadi hanyalah robot perpanjangan partai-partai pengusung.

Maka, gagasan penghapusan pilkada langsung yang justru membuat jalan mundur demokrasi tersebut harus dipikirkan kembali. Alasan bahwa pilkada melalui DPRD akan dapat memutus konflik horizontal, menghemat biaya, serta menangkal ajang politik uang agaknya terlalu simplistis. Ini tidak terlalu kuat, bahkan tidak sebanding dengan buah manis yang diberikan demokrasi langsung.

Jika problemnya hanyalah konflik horizontal, solusinya memperkuat penegakan hukum dan kepolisian. Begitu pula jika alasannya agar menghemat biaya, solusinya bisa diselenggarakan pilkada serentak atau ada pembatasan jumlah biaya untuk menjadi kepala daerah. Jika alasannya politik uang, dapat dicegah dengan memperketat peraturan atau regulasi di dalam pilkada. Solusi-solusi semacam itulah yang seharusnya didiskusikan anggota Dewan, bukan malah mengikuti libido politik semu dengan cara menghapus pilkada langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar