Pilkada
Tak Langsung Rusak Otda
Agus Riewanto ;
Dosen
Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
|
KORAN
JAKARTA, 12 September 2014
Hari-hari
belakangan publik dikejutkan rencana DPR mengubah mekanisme pemilihan kepala
daerah (pilkada) gubernur, bupati, dan wali kota dari langsung dipilih rakyat
dikembalikan ke DPRD. RUU Pilkada ini akan mengganti UU No 32 Tahun 2004 dan
UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan UU Pilkada
selama 2005–2013.
Menurut
DPR, pengesahan RUU sangat mendesak sebagai payung hukum pilkada awal tahun
2015 bagi 202 daerah. Tahapannya sudah akan dimulai akhir tahun ini. Maka,
kendati masa kerja DPR 2009–2014 tinggal menghitung hari, mereka tetap bersikeras
menuntaskan RUU tersebut. Revisi terhadap UU Pilkada memang perlu karena
penyelenggaraan belum sempurna.
Namun,
realitasnya alih-alih memperbaiki kualitas pilkada, malah memundurkan karena
mengubah mekanisme dari langsung menjadi tidak langsung melalui pintu DPRD.
RUU Pilkada ini bukan saja akan mengudeta kedaulatan rakyat, tapi juga
berpotensi merusak bangunan sistem otonomi daerah (otda) dan sistem
presidensial. Esensi politik otda melalui UU No 22/1999, UU No 32/2004 dan UU
No 12/2008 tentang Pemerintah Daerah, mengubah pemerintah dari sentralisasi
ke desentralisasi.
Ini
akan memperkuat dan memperluas kewenangan daerah mengelola atau menata
pemerintahan sendiri, tanpa campur tangan pusat. Salah satu upayanya,
mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dari DPRD ke rakyat secara
langsung. Tujuannya untuk memperkuat legitimasi kepemimpinan dan agar
kebijakan publiknya lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan
DPRD. Dengan cara itu pemerintah daerah dapat terselenggara secara lebih
partisipatif, terbuka, transparan, dan akuntabel. Kalau kini DPR hendak
mengembalikan ke DPRD jelas sebagai langkah mundur otda. DPR juga hendak
memutar haluan otda ke sentralisai sebagai model orde baru.
Sistem
pilkada melalui pintu DPRD ini akan menumbuhkan oligarki politik seperti
menciptakan model hanya segelintir elite politik daerah. Mereka juga akan
membuat rakyat tak lagi memiliki akses langsung terhadap isu, program, dan
kebijakan daerah. Di titik ini akan terjadi pembajakan demokrasi elite lokal.
Pada akhirnya, hanya segelintir orang yang berani mengajukan diri menjadi
kepala daerah. Akibatnya, kelak publik tak akan lagi dapat menjumpai pemimpin
daerah yang progresif, inovatif, sederhana, dan merakyat.
Dipastikan
dengan pilkada melalui DPRD (andai digolkan) hanya akan menghasilkan kepala
daerah yang mengabdi kepada DPRD ketimbang rakyat. Persekongkolan Jahat Lebih
dari itu, kelak dengan pilkada tak langsung akan membuat korupsi kian
sistematis. Di sinilah awal mula perselingkuhan dan persekongkolan jahat yang
mengarah pada prilaku korupsi antara DPRD dan kepala daerah. DPRD merasa
memiliki otoritas atas kepala daerah dan akan menyandera. Kebijakan dan
kinerjanya diganggu tirani mayoritas DPRD.
Atas
nama pengawasan kepala daerah akan sangat mudah diancam untuk diberhentikan
di tengah jalan melalui pemakzulan (empeachment) jika program
kerjanya tak sama dengan keinginan DPRD. Ketika kepala daerah takut
dimakzulkan DPRD, terjadilah kompromi politik dengan cara membagi
proyek-proyek ekonomi kepada para anggota DPRD.
Meminjam
ungkapan James C Scott (1972) dalam Patron
Client, Politics and Political Change in South East Asia, maka kelak di
daerah akan menguat budaya politik patronase (patronage) atau patron-client antara DPRD dan kepala daerah.
Inilah ihwal dari korupsi politik itu dimulai. Akhirnya, kekayaan daerah
melalui APBD menjadi alat korupsi berjemaah DPRD dan kepala daerah. Rakyat
sulit mengawasi. Pilkada lewat DPRD menyuburkan praktik politik uang dan
transaksi jual-beli suara. Pilkada tak langsung ini akan melahirkan
diskoneksitas sistem penyelenggaraan pemerintah presidensial. Kelak akan
dijumpai fakta hukum ketatanegaraan yang tak lazim.
Seolah-olah
pemerintah daerah menganut sistem pemerintahan parlementer karena kepala
daerah dipilih parlemen daerah (DPRD). Sementara pusat menganut sistem
prersidensial murni karena presiden dipilih langsung rakyat, bukan parlemen
pusat (DPR). Padahal secara teoritik, menurut Arent Liphart (1992), dalam
sistem negara republik dan bersifat negara kesatuan (NKRI), bukan federal,
maka antara pusat dan daerah harus satu sistem. Ciri utama sistem
presidensial, kepala pemerintahan dipilih secara langsung rakyat. Di antara
kedua lembaga negara ini tidak dapat saling menjatuhkan. Kedudukannya sama
untuk dapat saling kontrol (checks and
balances) dalam skema politik yang mandiri.
Dengan
kepala daerah dipilih DPRD, berarti mencerminkan sistem daerah yang
parlementer. Ini berarti posisi DPRD lebih tinggi dari kepala daerah.
Akibatnya, dewan merasa lebih memiliki legitimasi politik karena dipilih
rakyat melalui pemilu legislatif (pileg). Sebaliknya, kepala daerah lemah
legitimasi politiknya karena hanya dipilih DPRD.
Sesugguhnya,
dari kacamata hukum ketatanegaraan, mengembalikan pilkada ke DPRD kesalahan
fatal yang tak bisa dimaafkan. Memang banyak kelemahan pilkada 2005–2013
seperti biaya mahal, banyak konflik, korupsi untuk mengembalikan dana, dan
budaya politik uang. Tapi, untuk membenahi bukan dengan mengubah mekanisme
pilkada, tapi lewat perancangan peraturan teknis yang lebih spesifik,
sistematis, dan tegas. Perlu ada seleksi yang demokratis di internal parpol
dan kampanye murah. Juga harus ada rincian praktik pelanggaran politik uang.
Calon kepala daerah dalam harus dihentikan, jika melanggar aturan teknis
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar