Rabu, 10 September 2014

Kepala Daerah Pilihan Politikus

Kepala Daerah Pilihan Politikus  

Zainal Arifin Mochtar  ;   Pengajar Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta
KORAN TEMPO, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Perjalanan sepuluh tahun pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung sudah meninggalkan jejak berbentuk begitu banyak persoalan. Inilah alasan-alasan yang selalu dikaitkan dengan upaya mengembalikan pilkada ke rezim pemilihan oleh DPRD.

Pertama, beberapa hal yang paling sering disebutkan adalah soal gangguan keamanan yang mengikuti setiap proses pilkada. Sering kali, kekalahan tidak dapat diterima dengan mengagregasi ketidakpuasan menjadi kekerasan dan aksi massa. Data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri perihal rekapitulasi kerugian pascakonflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota melansir begitu banyak korban jiwa dan harta benda akibat kekerasan tersebut.

Kedua, pemilu langsung memicu korupsi di daerah. Pilkada membuat ongkos politik yang sama sekali tidak sedikit. Ada "uang politik" (yang bertendensi negatif) untuk membeli suara dan mempengaruhi pemilih secara langsung. Ada juga "ongkos politik" untuk membeli "perahu" partai, kampanye, maupun ketika bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Tingginya biaya ini membuat kandidat kepala daerah harus mencari sumber dana yang besar, yang biasanya didapat melalui pemodal secara tidak gratis. Akhirnya, jika menang, penyandang dana harus dibayar dengan bayaran yang direkayasa dari anggaran daerah. Belum lagi uang negara yang dikeluarkan karena penyelenggaraan pilkada.

Ketiga, merusak institusi pengawal pemilihan umum. Berapa banyak anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah, Bawaslu Daerah, dan Panwaslu Daerah yang sudah terindikasi ikut dalam permainan uang. Bahkan yang terheboh tentu saja adalah perilaku Ketua MK Akil Mochtar, yang menjual kewenangannya dalam sengketa perselisihan hasil pilkada.

Keempat, meskipun proses panjang telah dilalui hingga sengketa di MK, hal itu tetap tak menjamin pelaksanaan selesai. Masih ada tindakan menguji SK Pengangkatan Kepala Daerah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal yang kemudian memberi kebingungan tersendiri perihal putusan MK yang tidak lagi dianggap final dan mengikat, tapi bahkan bisa diuji dan diberi pendapat hukum oleh hakim PTUN.

Kelima, rusaknya birokrasi di daerah. Perkubuan birokrasi sangat mungkin terjadi pada pilkada. Apalagi jika kandidatnya punya kuasa kuat sebagai petahana yang kembali bertarung. Daya menakutkan mereka kepada pada birokrat di daerah akan sangat kuat dalam mempengaruhi netralitas pegawai daerah.

Tentu saja semua hal tersebut harus dicari jalan keluarnya. Tapi, apakah dengan mengembalikan pilkada ke DPRD adalah solusinya? Sebenarnya, tidak. Bahkan boleh jadi hal itu hanya mengalihkan masalah sementara. Misalnya, tentang kekerasan. Ancaman kekerasan dengan mudah beralih dari kantor-kantor pelaksana pemilu ke kantor DPRD atau kantor partai.

Perihal gugat-menggugat hasil keterpilihan di DPRD akan jauh lebih mudah digugat di PTUN, karena tidak lagi menjadi obyek keputusan yang dikecualikan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Praktek PTUN selama ini, yang menerima permohonan pengujian SK pengangkatan kepala daerah hasil pilkada, sesungguhnya merupakan praktek yang keliru dari hakim PTUN, karena melanggar Pasal 2 huruf e dan g UU Nomor 5 Tahun 1986 tersebut. Makin muluslah perihal gugat-menggugat tersebut.

Begitu pun dengan konsep pemilu berbiaya mahal. Kontestan tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli "perahu" ke partai dan membayar anggota-anggota DPRD dalam pemilihan. Hal yang persis sama terjadi pada masa lalu. Calon-calon tertentu yang sudah menabur uang di DPRD hanya akan dipertandingkan seadanya, seakan-akan penuh warna, akan tetapi sudah ditentukan pemenangnya oleh uang yang sudah dibagi sebelum proses pemilihan. Jika menyangkut soal menghemat uang negara, ide pemilu yang serentak sesungguhnya jauh lebih menarik dalam menyederhanakan pengeluaran negara.

Harus diingat, dengan mengembalikan proses pilkada ke DPRD, banyak potensi terbunuhnya kehidupan demokrasi. Pertama, dengan mengembalikan ke DPRD, akan sulit ada lagi kandidat independen yang tidak terikat ke partai mana pun. Di tengah buruknya kualitas hidup kepartaian di Indonesia, kandidat independen sesungguhnya adalah teguran, sekaligus motivasi bagi partai untuk berbenah.

Juga, dapat dibayangkan bila anggota Dewan pilihan rakyat tak akan ada lagi, dan diganti dengan pilihan politikus. Memang, DPRD adalah perwakilan rakyat, tapi secara realitas, fungsi representasi adalah salah satu yang paling sulit dijalankan oleh partai. Terkhusus jika sudah berhubungan dengan posisi jabatan publik kepala daerah. Keterputusan relasi rakyat dan perwakilan yang selama ini terjadi akan semakin terlanggengkan dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Dengan pemilihan DPRD begini, bisa dibayangkan kualitas demokrasi yang akan terjadi, meskipun hal itu belum tentu melanggar kata demokratis yang dimaksudkan dalam UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar