Kepala
Daerah Pilihan Politikus
Zainal Arifin Mochtar ;
Pengajar
Ilmu Hukum FH UGM Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 09 September 2014
Perjalanan
sepuluh tahun pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung sudah
meninggalkan jejak berbentuk begitu banyak persoalan. Inilah alasan-alasan
yang selalu dikaitkan dengan upaya mengembalikan pilkada ke rezim pemilihan
oleh DPRD.
Pertama,
beberapa hal yang paling sering disebutkan adalah soal gangguan keamanan yang
mengikuti setiap proses pilkada. Sering kali, kekalahan tidak dapat diterima
dengan mengagregasi ketidakpuasan menjadi kekerasan dan aksi massa. Data
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri perihal
rekapitulasi kerugian pascakonflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan
kota melansir begitu banyak korban jiwa dan harta benda akibat kekerasan
tersebut.
Kedua,
pemilu langsung memicu korupsi di daerah. Pilkada membuat ongkos politik yang
sama sekali tidak sedikit. Ada "uang politik" (yang bertendensi
negatif) untuk membeli suara dan mempengaruhi pemilih secara langsung. Ada
juga "ongkos politik" untuk membeli "perahu" partai, kampanye,
maupun ketika bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Tingginya biaya ini membuat
kandidat kepala daerah harus mencari sumber dana yang besar, yang biasanya
didapat melalui pemodal secara tidak gratis. Akhirnya, jika menang,
penyandang dana harus dibayar dengan bayaran yang direkayasa dari anggaran
daerah. Belum lagi uang negara yang dikeluarkan karena penyelenggaraan
pilkada.
Ketiga,
merusak institusi pengawal pemilihan umum. Berapa banyak anggota Komisi
Pemilihan Umum Daerah, Bawaslu Daerah, dan Panwaslu Daerah yang sudah terindikasi
ikut dalam permainan uang. Bahkan yang terheboh tentu saja adalah perilaku
Ketua MK Akil Mochtar, yang menjual kewenangannya dalam sengketa perselisihan
hasil pilkada.
Keempat,
meskipun proses panjang telah dilalui hingga sengketa di MK, hal itu tetap
tak menjamin pelaksanaan selesai. Masih ada tindakan menguji SK Pengangkatan
Kepala Daerah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal yang kemudian
memberi kebingungan tersendiri perihal putusan MK yang tidak lagi dianggap
final dan mengikat, tapi bahkan bisa diuji dan diberi pendapat hukum oleh
hakim PTUN.
Kelima,
rusaknya birokrasi di daerah. Perkubuan birokrasi sangat mungkin terjadi pada
pilkada. Apalagi jika kandidatnya punya kuasa kuat sebagai petahana yang
kembali bertarung. Daya menakutkan mereka kepada pada birokrat di daerah akan
sangat kuat dalam mempengaruhi netralitas pegawai daerah.
Tentu
saja semua hal tersebut harus dicari jalan keluarnya. Tapi, apakah dengan
mengembalikan pilkada ke DPRD adalah solusinya? Sebenarnya, tidak. Bahkan
boleh jadi hal itu hanya mengalihkan masalah sementara. Misalnya, tentang
kekerasan. Ancaman kekerasan dengan mudah beralih dari kantor-kantor
pelaksana pemilu ke kantor DPRD atau kantor partai.
Perihal
gugat-menggugat hasil keterpilihan di DPRD akan jauh lebih mudah digugat di
PTUN, karena tidak lagi menjadi obyek keputusan yang dikecualikan dalam UU
Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Praktek PTUN selama ini, yang menerima
permohonan pengujian SK pengangkatan kepala daerah hasil pilkada,
sesungguhnya merupakan praktek yang keliru dari hakim PTUN, karena melanggar
Pasal 2 huruf e dan g UU Nomor 5 Tahun 1986 tersebut. Makin muluslah perihal
gugat-menggugat tersebut.
Begitu
pun dengan konsep pemilu berbiaya mahal. Kontestan tetap harus mengeluarkan
uang untuk membeli "perahu" ke partai dan membayar anggota-anggota
DPRD dalam pemilihan. Hal yang persis sama terjadi pada masa lalu.
Calon-calon tertentu yang sudah menabur uang di DPRD hanya akan
dipertandingkan seadanya, seakan-akan penuh warna, akan tetapi sudah ditentukan
pemenangnya oleh uang yang sudah dibagi sebelum proses pemilihan. Jika
menyangkut soal menghemat uang negara, ide pemilu yang serentak sesungguhnya
jauh lebih menarik dalam menyederhanakan pengeluaran negara.
Harus
diingat, dengan mengembalikan proses pilkada ke DPRD, banyak potensi
terbunuhnya kehidupan demokrasi. Pertama, dengan mengembalikan ke DPRD, akan
sulit ada lagi kandidat independen yang tidak terikat ke partai mana pun. Di
tengah buruknya kualitas hidup kepartaian di Indonesia, kandidat independen
sesungguhnya adalah teguran, sekaligus motivasi bagi partai untuk berbenah.
Juga,
dapat dibayangkan bila anggota Dewan pilihan rakyat tak akan ada lagi, dan
diganti dengan pilihan politikus. Memang, DPRD adalah perwakilan rakyat, tapi
secara realitas, fungsi representasi adalah salah satu yang paling sulit
dijalankan oleh partai. Terkhusus jika sudah berhubungan dengan posisi
jabatan publik kepala daerah. Keterputusan relasi rakyat dan perwakilan yang
selama ini terjadi akan semakin terlanggengkan dengan pemilihan kepala daerah
melalui DPRD.
Dengan
pemilihan DPRD begini, bisa dibayangkan kualitas demokrasi yang akan terjadi,
meskipun hal itu belum tentu melanggar kata demokratis yang dimaksudkan dalam
UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar